Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Akrobat Pajak?

15 Januari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SERENTETAN tuduhan serius sedang terarah ke orang terkaya Indonesia, Sukanto Tanoto. Pemilik perusahaan Raja Garuda Mas ini diduga telah melakukan tindak pidana manipulasi pajak yang merugikan negara lebih dari Rp 1 triliun. Dugaan ini bukan dilontarkan sembarangan. Segepok dokumen keuangan dan data digital telah berada di tangan aparat hukum. Tampaknya tinggal pembuktian di meja hijau saja yang ditunggu orang ramai.

Pihak Raja Garuda Mas berkilah dokumen-dokumen itu tidak benar karena merupakan rekayasa seorang bekas karyawannya yang telah dilaporkan ke polisi karena menggelapkan dana perusahaan. Karyawan itu bahkan sekarang meringkuk di tahanan polisi setelah menyerahkan diri sambil menggembol data penyelewengan pajak di Asian Agri Group (AAG), kelompok usaha milik Sukanto Tanoto di bidang agrobisnis.

Informasi yang diserahkan Vincentius Amin Sutanto ke pejabat hukum Indonesia ini sangat lengkap dan terperinci. Maklum, posisinya di AAG sangat strategis, group financial controller. Ia malah sempat menyalahgunakan jabatan tingginya itu untuk mentransfer dana perusahaan senilai US$ 3,1 juta di Bank Fortis, Singapura, ke rekening rekan SMP-nya di Bank Panin, Jakarta. Upaya pencairan dana yang tergesa-gesa kemudian memicu kecurigaan, sehingga upaya penggelapan ini terbongkar dan Vincent pun kabur.

Vincentius mengontak wartawan Tempo ketika berada dalam pelarian. Sempat mengatakan akan bunuh diri, pria yang mengaku masih heran mengapa mentransfer uang perusahaan ke temannya ini akhirnya bersedia menyerahkan diri ke aparat hukum Indonesia. Perilaku kriminal Vincentius, yang telah tujuh tahun bekerja di AAG, juga mengherankan setidaknya bagi dua pejabat teras PT Raja Garuda Mas yang bertemu dengan Tempo, yang bahkan menduga Vincentius mungkin menderita waham ''pribadi ganda''.

Awalnya Vincentius mencoba menyelesaikan upaya penggelapannya itu secara internal perusahaan tapi ditolak. Ia kemudian kabur ke Singapura dan menyusun rencana untuk melaporkan semua kegiatan penggelapan pajak AAG yang diketahuinya itu kepada pemerintah Indonesia. Data tersebut kini sedang diperiksa dengan seksama. Sebuah upaya yang seharusnya tak terlalu sulit karena melibatkan berbagai transaksi perbankan yang mudah dilacak, setidaknya jika pemerintah Singapura dan penguasa Hong Kong melaksanakan kebijakan mutual legal assistance seperti yang telah dicanangkan dalam kesepakatan upaya pemberantasan korupsi Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Tanpa kerja sama luar negeri pun seharusnya tak terlalu sulit mengecek kebenaran sebagian besar pengakuan Vincentius. Soalnya, posisi sang pelapor dalam manajemen keuangan perusahaan cukup tinggi-ia malah mengaku sangat terlibat dalam menyusun dan melaksanakan rekayasa penggelapan pajak itu-hingga mempunyai akses pada dokumen transaksi keuangan perusahaan. Lagipula banyak transaksi yang dilaporkan ternyata dilakukan oleh bank di Indonesia, sehingga sepatutnya amat mudah bagi aparat hukum nasional untuk melacaknya. Terbukti pelacakan yang sempat dilakukan wartawan Tempo pun ternyata telah menghasilkan sejumlah konfirmasi atas kesahihan beberapa dokumen tersebut.

Bila kebenaran dokumen tersebut telah terverifikasi, ini berarti AAG telah melakukan berbagai tindak pidana penggelapan pajak yang merugikan negara lebih dari Rp 1 triliun dan menguntungkan Sukanto Tanoto beserta keluarganya. Ini bukan jumlah yang sedikit, karena cukup untuk membayar kompensasi bulanan kenaikan BBM bagi satu juta keluarga miskin di Indonesia atau membuat PT Dirgantara mampu meluncurkan pesawat N250 ke pasar komersial. Jika dipakai untuk mendirikan gedung, dana ini cukup untuk membangun sekitar 2.500 puskesmas atau 1.500 sekolah dengan enam kelas.

Selain penggelapan pajak, terdapat juga dokumen lain yang menunjukkan aksi pembelian kembali aset kelompok usaha ini yang telah disita BPPN. Ini berarti pelanggaran terhadap Undang-Undang Penyehatan Perbankan Nasional. Tindakan yang masuk pidana korupsi ini diduga merugikan negara lebih dari Rp 8 miliar, sehingga layak disidik KPK.

Dengan berbagai indikasi awal yang kuat seperti ini, penyidikan pada dugaan penggelapan pajak dan korupsi oleh AAG harus dilakukan selekasnya dan secara agresif agar upaya penghilangan bukti dapat dicegah. Perlindungan atas keselamatan pelapor di tahanan maupun keluarganya juga harus dilakukan dengan serius. Presiden bahkan perlu mempertimbangkan untuk memberikan grasi pada pelapor jika pengakuan dan dokumen yang diserahkan kepada pemerintah terbukti valid. Kebijakan seperti ini akan membangun iklim baru yang akan merangsang lebih banyak karyawan melaporkan kegiatan pelanggaran hukum-seperti penggelapan pajak atau pembayaran suap-yang dilakukan perusahaan tempat mereka bekerja.

Iklim seperti ini akan menderaskan kucuran uang ke pundi-pundi pajak, sehingga pemerintah lebih mampu mengentaskan rakyat yang masih sangat miskin. Kemampuan ini sangat perlu ditingkatkan mengingat masih sekitar 108 juta penduduk Indonesia yang-dalam skala internasional-masuk golongan miskin, yaitu yang hidup dengan ongkos di bawah US$ 2 sehari.

Kita jauh lebih bangga jika mampu membebaskan mereka dari kemiskinan ketimbang menambah nama orang Indonesia dalam daftar seribu orang terkaya dunia di majalah Forbes. n

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus