Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hapus Kesenjangan Intelektual
Sulit dimungkiri bahwa taraf pendi-dikan masyarakat kita masih jauh panggang dari api. Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut, antara lain kemiskinan dan budaya masyarakat. Kemiskinan telah menyebabkan masyarakat tidak mampu menyekolahkan putra-putrinya. Semangat untuk menyekolahkan anak-anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan mencerdaskan anak-anak bangsa terpaksa kandas akibat tidak adanya uang (untuk membayar SPP).
Di sisi lain, sebagian masyarakat kita masih memandang pendidikan dengan sebelah mata. Mereka menganggap pendidikan tidak penting karena tak memberikan harapan bagi masa depan kehidupannya. Sekolah bagi sebagian masyarakat hanya membuang waktu dan umur. Persepsi ini tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Sebab, pada kenyataannya banyak lulusan sekolah, bahkan para sarjana, yang menganggur. Kenyataan ini tentu membuat sebagian masyarakat ciut untuk menyekolahkan anak-anaknya lebih tinggi karena biayanya makin mahal. Masyarakat lebih senang kalau anaknya sejak kecil sudah membanting tulang untuk membantu orang tua dengan segala cara.
Dua kenyataan di atas telah membuat taraf intelektual masyarakat kita tidak merata. Bahkan, sebagaimana disinggung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, saat meresmikan 220 gedung sekolah di Tangerang, Banten, awal Januari lalu, kini sedang terjadi kesenjangan intelektual (intellectual gap) dalam masyarakat Indonesia. Hal ini sekaligus membuat risau Presiden karena pendidikan atau intelektualitas suatu bangsa menjadi tolok ukur kemajuan peradabannya. Dengan kata lain, selama tingkat intelektualitas suatu bangsa masih rendah, peradaban bangsa tersebut rendah pula. Kenyataan ini sulit dibantah.
Saya kira Presiden tidak bisa berhenti pada kerisauan. Langkah yang lebih konkret—sebagaimana menjadi komitmennya pada 2007 ini—perlu dijalankan. Hal ini penting karena kesenjangan intelektual dapat mempengaruhi keberlangsungan program yang hendak dijalankan oleh pemerintah. Kesenjangan intelektual di kalangan masyarakat bisa menyebabkan disinformasi, bahkan miskomunikasi atas suatu informasi. Karena itu, satu-satunya cara untuk menghindari terjadinya kesenjangan tersebut adalah memperkuat dasar pengetahuan, yaitu menyukseskan wajib belajar sembilan tahun dalam pendidikan dasar.
Masalah pendidikan bukan hanya menyangkut budaya, namun juga terkait dengan tingkat taraf hidup masyarakat. Karena itu, pemerintah harus berupaya memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk mengenyam pendidikan, termasuk dengan membebaskan SPP. Hal itu mulai dirintis pada tingkat sekolah dasar. Mudah-mudahan kebijakan tersebut bisa berlanjut untuk jenjang-jenjang berikutnya.
ISMA RAHMAWATI Jalan Ir H. Juanda 95, Ciputat Jakarta Selatan
Nilai Kontrak Kemahalan
Dari tahun ke tahun, Provinsi DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Gubernur Sutiyoso terus melakukan pembangunan sarana dan prasarana, baik proyek berskala besar (busway, monorel, banjir kanal) maupun proyek berskala kecil (peningkatan jalan, atau pemasangan lampu jalan). Di tempat kami, RW 06, Kompleks Polri Ragunan (AKRI) juga mendapat perhatian dari Pemerintah Daerah DKI Jakarta melalui proyek peningkatan/pengaspalan Jalan N.
Proyek pengaspalan jalan tersebut telah dikerjakan pada Senin, 11 Desember 2006, pukul 19.00—21.00. Pada waktu melakukan pengaspalan, pelaksana di lapangan tidak menginformasikan terlebih dahulu kepada ketua RT/RW setempat tentang kegiatan yang akan dilakukan, atau menunjukkan surat perintah kerja.
Selanjutnya, warga mendesak kepala proyek di lapangan untuk menunjukkan surat perintah kerja. Dari surat itu, warga mengetahui bahwa proyek tersebut dari Suku Dinas Pekerjaan Umum Jalan, Jakarta Selatan. Di situ tercantum surat perintah mulai kerja (SPMK) No. 575/1.712.34, tanggal 21 November 2006, atas nama Hardi Ridwan Fauzi, Direktur PT Susuganan Hasil Mandiri, beralamat di Jalan Tanjung Barat 121, Pasar Minggu. Nilai kontrak yang tertera sebesar Rp 45.166.000.
Menurut gambar situasi pekerjaan yang menyertai SPK No: 575/1.712.34 di atas, diketahui ketebalan pelapisan jalan dengan hotmix adalah tiga sentimeter padat. Adapun jalan yang diaspal adalah Pr.0 – Pr.1 = 50 x 3,5 meter, Pr.1-PPr.2 = 50 X 3,5 meter, dan dan Pr.2 – Pr.3 = 55 x 3,5 meter.
Kenyataan di lapangan, jalan yang dilapis hotmix di Jalan N, panjang 70 meter dan lebar 3,5 meter, dengan nilai proyek Rp 45.166.000. Jika dihitung, harga per meter perseginya mencapai sekitar Rp 215.076. Pengaspalan dikerjakan pada malam hari dengan bantuan penerangan seadanya. Terkesan, pengerjaannya terburu-buru sehingga kualitasnya juga tidak maksimal.
Perlu kami informasikan bahwa RT 10 di lingkungan RW 06, Kompleks Polri Ragunan, secara swadaya telah melakukan pengaspalan Jalan Q. Spesifikasinya, ketebalan aspal hotmix 3 sentimeter dengan biaya per meter persegi hanya Rp 40.000. Pengerjaannya dilakukan pada siang hari, tidak terburu-buru sehingga hasilnya maksimal.
Apabila nilai kontrak pekerjaan peningkatan Jalan N yang dikerjakan oleh PT Susuganan Hasil Mandiri dibandingkan dengan pengaspalan Jalan Q secara swadaya, menurut hemat kami, peningkatan Jalan N sangat mahal sekali. Hitungannya, itu tadi, per meter persegi di Jalan N biayanya mencapai Rp 215.076, sementara di Jalan Q per meter persegi biayanya Rp 40.000 dengan kualitas yang lebih bagus.
Gubernur Sutiyoso mendorong jajarannya mewujudkan good governance dan clean government di instansinya masing-masing. Tapi tampaknya ajakan Gubernur tersebut belum diikuti oleh aparat di bawahnya. Salah satunya, hal itu tercermin dari mahalnya nilai kontrak dengan kualitas seadanya seperti yang terjadi di Jalan N, Kompleks Polri Ragunan.
Sehubungan hal tersebut, dengan segala kerendahan hati, mohon kiranya Suku Dinas Pekerjaan Umum Jalan, Pemerintah Kota Madya Jakarta Selatan, atau pihak yang berwenang di lingkungan Pemda DKI Jakarta, bersedia memberikan penjelasan tentang komponen-komponen yang dimasukkan dalam kontrak. Sebab, untuk pekerjaan yang sama, harga nilai kontrak pengaspalan Jalan N tersebut lebih mahal lima kali lipat dibanding dengan biaya pengerasan jalan yang dikerjakan secara swadaya oleh warga RT 10/ RW 06.
AKBP (PURN) S. WIJONO Wakil Ketua RT 06, Kompleks Polri Ragunan Jalan M No. 64, Pasar Minggu Jakarta Selatan
Penipuan PT Duta Pertiwi
Telah 15 tahun lebih kami membeli unit Apartemen Mangga Dua Court (MDC) dengan sistem hak milik strata title dari PT Duta Pertiwi Tbk. Pada Juli 2006, ketika hendak memperpanjang sertifikat hak guna bangunan (HGB) tanah bersama yang akan berakhir pada 19 Juli 2008, kami baru tahu bahwa status tanah bersama Apartemen MDC bukan HGB murni, melainkan berstatus HGB di atas hak pengelolaan lahan (HPL) milik Pemda DKI Jakarta.
Walhasil, untuk perpanjangan sertifikat tanah tersebut, kami dikenai biaya tambahan yang sangat besar. Hitung-hitungannya, yakni 5% x nilai jual obyek pajak (NJOP) tanah x luas tanah, yang nilainya mencapai sekitar Rp 4,5 miliar, yang setiap tahun akan naik sesuai dengan nilai NJOP. Itu berarti, kami tidak memiliki tanah sehingga harus sewa tanah kepada pemilik tanah, yaitu Pemda DKI Jakarta.
Masalah ini timbul karena sejak dari pembelian unit apartemen, PT Duta Pertiwi tidak pernah memberitahukan, baik lisan maupun tertulis, kepada calon pembeli bahwa status tanah bersama Apartemen MDC adalah HGB di atas HPL Pemda DKI Jakarta, dan di dalam PPJB (perjanjian, pengikatan jual-beli), AJB (akta jual-beli), dan sertifikat hak. Milik kami sama sekali tidak pernah dicantumkan adanya status HGB di atas HPL Pemda DKI Jakarta.
Bagaimana mungkin sertifikat yang tidak pernah tertulis bahwa status HGB di atas HPL Pemda DKI Jakarta ternyata berstatus HGB di atas HPL? Siapa pun pasti akan tertipu dengan kejadian ini. Kepada siapa kami harus menuntut ganti rugi? Dan siapa yang harus digugat, PT Duta Pertiwi Tbk, Badan Pertanahan Nasional (BPN), atau Pemda DKI Jakarta? Adakah sanksi hukum yang jelas atas kejadian ini? Bagaimana tanggapan Menteri Perumahan Rakyat, Gubernur DKI Jakarta, dan Kepala Dinas Perumahan DKI Jakarta?
Perlu diketahui masalah penipuan oleh Developer PT Duta Pertiwi Tbk. (Sinar Mas Group) telah kami laporkan ke pihak kepolisian dengan Laporan Pengaduan (LP) No. Pol. 3212/K/VIII/2006/SPK Unit ”II”, tanggal 25 Agustus 2006.
Pengurus Perhimpunan Penghuni Apartemen Mangga Dua Court FIFI TANANG (Ketua) TJANDRA WIDJAJA (Sekretaris) MARIA AGUSTINA (Bendahara) PAN ESTHER (Pengawas)
Handphone, Sebuah Dilema
Kecanggihan teknologi komunikasi saat ini telah merambat ke segala lapisan masyarakat. Secara lebih khusus, kecanggihan alat komunikasi berupa telepon seluler, telepon genggam alias hand phone (HP). Pemakainya tidak hanya orang kaya, kalangan miskin pun sudah bisa memiliki dan menggunakannya. Harganya relatif mahal, juga relatif murah, karena bisa disesuaikan dengan kemampuan kantong pribadi. Kini, dari kota sampai ke pelosok desa sudah bisa memanfaatkan teknologi ini. Sebab, sinyalnya sudah merambat dan melakukan penetrasi sampai ke sudut negeri. Hasilnya, hubungan atau komunikasi ke segala penjuru lancar. Luar biasa!
Masalah muncul karena handphone berhubungan dengan harta pribadi. Jadi, pemakaiannya terserah pada pribadi-pribadi itu pula. Walhasil, dari anak SD sampai SMP, tidak pagi atau sore, mereka sibuk main handphone. Kini sudah menjadi pemandangan umum, di sekolah-sekolah para siswa sibuk bermain peranti telekomunikasi itu. Tak hanya saat istirahat atau keluar main, sewaktu belajar pun ada siswa yang mencuri-curi bermain handphone. Perpustakaan yang seharusnya ruang untuk membaca dijadikan arena lomba mengirim pesan singkat dan main game. Sepertinya memang banyak remaja kita yang terpesona dan terperdaya oleh handphone. Hasilnya, sudah ada sekolah yang mengeluarkan larangan membawa handphone ke sekolah. Tentu ini masalah baru lagi.
Kalau dilarang membawa handphone ke sekolah dikatakan menghambat kemajuan. Sebaliknya, jika dibiarkan jadi keterlaluan, dan akan membuat mereka kehilangan masa depan. Sebab, pesona peranti itu bisa membuat siswa kita lupa belajar.
Jadi, sebaiknya bagaimana supaya tidak ada pihak yang merasa dirugikan atau privacy-nya terganggu? Biarkan saja mereka membawa handphone ke sekolah. Syaratnya, alat itu tidak boleh dibuka atau dimainkan selama jam sekolah, kecuali setelah para siswa pulang, atau di luar pagar sekolah. Alat itu akan berguna, misalnya untuk menghubungi orang tua seandainya mobil carteran mogok atau terlambat menjemput. Atau, bagi siswa yang sedang dalam perawatan dokter karena baru saja operasi jantung, handphone perlu sebagai alat komunikasi jika ada kelainan pada jantungnya.
Lembaga pendidikan memang harus segera membuat kebijakan tentang pemakaian handphone bagi anak didik agar kita tidak menyesal di kemudian hari. Negara Finlandia sebagai produsen handphone juga membuat aturan di tempat-tempat mana saja alat itu boleh digunakan.
PANDU SYAIFUL Kompleks Johand Dimalouw Balairaja, 28884, Riau
Kata Graha Salah Kaprah
Membaca harian Kompas khusus berita Yogyakarta tentang acara Matchmaking Pengembangan Investasi dan Sosialisasi Kesepakatan Kerja Sama Internasional, yang menunjuk Mbah Marijan sebagai duta wisata Kabupaten Sleman ke Jerman, menarik dikomentari. Di situ tertulis acaranya bertempat di Graha Sarina Vidi (edisi 6 Desember 2006).
Sebagai anggota Rotary Club of Yogya Tugu yang secara berkala menyelenggarakan arisan sosial di gedung tersebut, saya tahu betul tulisan di papan nama gedung bukan Graha Sarina Vidi tetapi Grha Sarina Vidi. Menurut Kamus Jawa Kuno, karya P. J. Zoetmulder bersama S.O. Robson, cetakan keempat, Agustus 2004 (halaman 309), makna ”grha” adalah rumah, kediaman, gedung. Sedangkan ”graha” artinya buaya, ikan hiu, ular, roh jahat (halaman 307).
Dulu gedung tempat Presiden menjalankan tugas sehari-hari di Jakarta bernama Bhina Graha. Karena ”bhina” berarti menakutkan (kamus halaman 125), maka secara harfiah Bhina Graha berarti buaya, ikan hiu atau roh jahat yang menakutkan.
Kini penggunaan kata ”graha” sudah salah kaprah. Banyak penggunaan kata itu untuk perusahaan pengembang, perkantoran, bank BUMN yang khusus melayani KPR, dan sebagainya. Bahkan, di kompleks bangunan sebuah perguruan tinggi negeri di Yogyakarta ada gedung yang nama depannya juga memakai kata ”graha”. Pendapat saya, walaupun sudah kaprah, yang salah, ya, tetap saja salah.
F.S. HARTONO Purwosari RT/RW.04/59 Sinduadi, Yogyakarta
Manuver GKIR Menodai Konstitusi
Gerakan Kebangkitan Indonesia Raya (GKIR), Jenderal (Purn.) Try Sutrisno, Hariman Siregar, dan kawan-kawan melakukan manuver politik dengan mendatangi DPR. Mereka menyampaikan pernyataan keras terkait dengan kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla (JK), yang dia nilai telah gagal. GKIR mengirimkan sinyal kuat agar DPR mencabut mandat SBY-JK dalam memimpin tampuk pemerintahan.
Mencermati argumen GKIR, rasanya masih terlampau dini untuk dilakukan pencabutan mandat SBY-JK. Sebab, parameter yang mereka sampaikan amat lemah, cenderung menggeneralisasi, tanpa alasan jelas, dan tak menyodorkan solusi. Karena itu, patut disayangkan, tokoh seperti Try Sutrisno dan Hariman Siregar dalam GKIR terkesan tidak arif dalam mengemukakan persoalan tersebut.
Selain itu, wacana pencabutan mandat amat sensitif. Selama menjadi wacana, kata pencabutan mandat memang tidak menjadi persoalan. Tetapi, ketika berubah menjadi gerakan yang sistematis, hal itu bukan saja tidak fair, tetapi juga secara otomatis akan menuai resistensi sosial, bahkan akan berhadapan dengan hukum.
Manuver politik seperti yang dilakukan Try dan GKIR bukan bagian solusi, sebaliknya justru menjadi bagian integral dari masalah, yang notabene memperumit masalah. Dinamika politik menjadi amat tidak sehat, mengingat yang mengemuka adalah manuver dan intrik, bukan persaingan kualitatif dan solutif.
Ketika politik semata diartikan sebagai upaya merebut kekuasaan yang jauh dari pendekatan demokrasi, maka fatal akibatnya. Hal seperti itu hanya menempatkan posisi bangsa di bibir jurang kehancuran. Konstruksi masa depan Indonesia tidak dapat didekati secara instan, sekadar merespons masalah yang bersifat mendesak, melainkan harus lebih bersifat mendasar.
Menurut saya, Try dan GKIR telah gagal dalam memahami kompleksitas masalah, cenderung apriori, dan yang lebih berbahaya: memunculkan efek krisis politik yang fatal.
DYAN YUSTISI SH Pokja Praktisi Hukum Bogor Jalan Roda 54, Bogor
Klarifikasi Bukit Serpong Mas
Menanggapi surat pembaca majalah Tempo edisi 1-7 Januari 2007 berjudul ”Bukit Serpong Mas Mengecewakan”, yang disampaikan Ibu Desi Desriyanti, pembeli rumah di Blok F2/8 Bukit Serpong Mas (BSM), kami sebagai pihak developer Bukit Serpong Mas menjelaskan beberapa hal sebagai berikut:
- Bahwa kami dan Ibu Desi Desriyanti telah sepakat melakukan jual-beli tanah dan bangunan yang sudah siap huni secara KPR bank sesuai dengan surat pesanan dan perjanjian pengikatan jual-beli tanah dan bangunan, dengan jadwal pembayaran yang telah disepakati yaitu:
- Tanggal 15 Agustus 2006 pembayaran DP I 20 persen
- Tanggal 29 Agustus 2006 pembayaran DP II 20 persen
- Tanggal 07 September 2006 pelunasan
- Dalam proses permohonan KPR bank telah disetujui oleh bank pertama pada 8 September 2006. Namun, karena ditolak Ibu Desi Desriyanti, maka Ibu Desi menunggu proses permohonan KPR bank kedua. Pada saat itu, kami telah mengingatkan adanya batas tanggal pelunasan yang harus diperhatikan. Sebab, jika terlewat akan timbul konsekuensi denda sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Namun Ibu Desi memilih proses KPR bank kedua, yang baru disetujui pada 27 September 2006.
- Penandatanganan akad kredit dengan pihak bank kedua dilakukan pada 18 Oktober 2006, dan saat itu juga sisa pelunasan kami terima. Karena ada kemunduran 38 hari dari jadwal pelunasan yang telah disepakati, maka berdasar perjanjian pengikatan jual-beli yang telah dibuat, yang bersangkutan dikenai denda keterlambatan. Namun, diputuskan oleh pihak manajemen bahwa denda keterlambatan hanya dikenakan 20 hari, dan keputusan tersebut merupakan kewajiban yang harus dibayar/dipenuhi oleh Ibu Desi sesuai dengan perjanjian.
- Adapun berkaitan dengan serah-terima kunci, kami telah menjelaskan kepada Ibu Desi bahwa dikarenakan adanya kewajiban yang belum dipenuhi mengenai pelunasan/pembayaran denda keterlambatan, serah terima kunci belum bisa dilaksanakan.
Kami telah mengkonfirmasi kejadian yang dialami Ibu Desi pada 21 Desember 2006 dengan staf-staf kami dimaksud. Ternyata mereka sangat terkejut dan kecewa atas pemberitaan yang ada. Para staf merasa dituduh dan difitnah oleh keterangan Ibu Desi. Karena itu mereka berjanji akan meminta pelurusan terkait dengan pemberitaan yang dibuat Ibu Desi yang dimuat di media cetak.
Kami sebagai pengembang menyadari sepenuhnya—sesuai dengan prinsip dasar kami—untuk selalu melayani konsumen sebaik-baiknya. Juga, memberikan kenyamanan tinggal di Perumahan Bukit Serpong Mas tanpa ada rasa kekhawatiran, serta senantiasa menjaga hubungan baik dengan konsumen.
VICKY ZULFIKAR Marketing Manager, Bukit Serpong Mas
Soal Perda Kawasan Bandung Utara
Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam waktu dekat akan mengesahkan Peraturan Daerah tentang Kawasan Bandung Utara (KBU). Perda KBU adalah jawaban dari makin terdegradasinya kondisi lingkungan di Bandung Utara, akibat pembangunan fisik yang tidak terkendali. Daerah yang seharusnya menjadi kawasan konservasi itu kini rusak parah. Dan pihak yang paling bertanggung jawab terhadap kerusakan itu adalah: Bupati Kabupaten Bandung , Wali Kota Madya Bandung dan DPRD dari masing-masing daerah tingkat II tersebut yang tidak melakukan kontrol.
Walikota Bandung dan Bupati Bandung secara gamblang dan terang-terangan menjadi pelopor perusak lingkungan dengan menerbitkan izin-izin pemanfaatan lahan bagi perumahan mewah, resort dan hotel secara tidak terkendali. Banyak proyek perumahan muncul tanpa dilengkapi amdal (analisis mengenai dampak lingkungan). Kalaupun ada itupun asal-asalan. Ribuan rumah villa dibangun tanpa mematuhi koofisien lahan atau tidak dilengkapi IMB (Izin Mendirikan Bangunan). Bahkan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung Nomor 2 tahun 2004 dilanggar oleh Wali Kota Dada Rosada berserta DPRD Kota Bandung dengan diterbitkan revisi Perda yang menguntungkan pihak pengusaha developer.
Alhasil Kawasan Bandung Utara saat ini benar-benar carut-marut, kritis dan mengancam kehidupan masyarakat di cekungan Bandung. Banjir, polusi dan kekeringan akibat penurunan air tanah sudah menjadi bencana rutin warga Bandung.
Terbitnya Perda KBU diharapkan bisa memberikan intervensi yang kuat untuk perbaikan lingkungan. Mampu menjangkau pelanggaran-pelanggaran yang sudah berlangsung. Dan menghentikan kiprah para penguasa lokal seperti Wali Kota dan Bupati untuk bertindak sesuka hati.
H. Mulyana Turangga, Bandung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo