Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Akronim Gaya Mahasiswa

24 Maret 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kasijanto Sastrodinomo*

Tak ingin terlambat, Popo bergegas menuju ruang kelasnya. "Kuliah apa, Po?" tanya temannya yang berpapasan di selasar Gedung II kampusnya. "Semprak," jawab singkat mahasiswa sastra Jerman itu. "Di mana?" tanya temannya lagi. "Geli, eh, gempa," setengah berlari Popo masih sempat menjawab. Si teman pun berlalu sambil berujar, "Aku (kuliah) di gelap." Bagi yang bingung menangkap arah pembicaraan itu, inilah penjelasannya: semprak adalah akronim "Semantik dan Pragmatik Bahasa", nama salah satu mata kuliah program studi linguistik; geli adalah ringkasan "gedung lima" (Gedung V), lokasi ruang kelas; sedangkan gempa adalah "gedung empat"; dan gelap itu "gedung delapan".

Percakapan bertabur akronim tersebut jamak terdengar di kalangan mahasiswa Kampus Kuning, Depok, saat ini—juga di kampus lain tampaknya. Selain semprak, nama mata kuliah yang cukup panjang, Sejarah Kuno Asia Tenggara, mereka lipat jadi sekuteng. Andai ada mata kuliah Sejarah Kota Asia Tenggara mungkin saja diseduh jadi sekoteng—seperti jenis minuman hangat khas Betawi. Sebutan mata kuliah Pengantar Manajemen yang terkesan prestisius itu ditekuk jadi pengamen; dan Pengantar Ilmu Sejarah disulap jadi penjarah. Kerumitan Aljabar Linier diromantisasi jadi aline—supaya terbayang sosok model foto seksi itu. Ada kuliah seminar tentang maling yang ternyata singkatan dari Manajemen Lingkungan.

Akronimisasi ini meluas ke mana-mana. Saat jam istirahat siang tiba, biasanya terjadi keriuhan memilih tempat makan favorit: kansas "kantin sastra", yang selalu ramai cewek cantik; kancil "kantin cikologi", julukan imut kantin Fakultas Psikologi; atau kancut, kantin yang atapnya berbentuk kerucut. Lokasi kampus Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya dan Fakultas Teknik dihubungkan oleh jembatan teksas "teknik-sastra" yang melintang di atas danau kecil. Buku dan alat tulis murah dijual di barel "balik rel", kumpulan lapak kaki lima di sekitar stasiun kereta api Universitas Indonesia. Mahasiswa senior sering mengingatkan juniornya agar tidak ketinggalan jakun "jaket kuning", dan naik bikun "bis kuning" bila tak ingin capek berjalan.

Kebiasaan mahasiswa berakronim itu berbeda dengan pendahulunya. Mahasiswa angkatan 1970-1980-an agak jauh dari kebiasaan memenggali kata, setidaknya tak pernah terdengar "mempermainkan" nama mata kuliah. Di antara sedikit akronim yang dikenal di kampus kala itu adalah purek "pembantu rektor", pudek "pembantu dekan", dan kajur "ketua jurusan", istilah yang resmi dibuat oleh institusi. Bahkan terdapat kelompok mahasiswa yang, secara mental, "merasa beroposisi" terhadap akronim yang dianggap sebagai bahasa kekuasaan otoritarian. Akronim manipol, usdek, dan nasakom, misalnya, adalah jargon politik Demokrasi Terpimpin. Perasaan beroposisi terus berlanjut ketika produksi akronim menjadi-jadi pada masa Orde Baru—ingat kopkamtib, laksus, koramil, dan lain-lain—yang dianggap cermin praksis represif rezim Orde Baru.

Tak perlu mencari "unsur politis" dalam akronim kreasi mahasiswa masa kini. Sebagian besar mahasiswa generasi sekarang bahkan tak paham tentang "akronim politik" masa lalu itu. Alasan mereka gemar berakronim semata-mata demi keintiman komunikasi sehari-hari antarteman atau sekadar pengiritan berbahasa. Dengan akronim, mereka juga mencari cara untuk, secara psikologis, mengurangi beban berat belajar yang cukup padat. Mengakronimkan nama mata kuliah mereka akui sebagai kiat untuk mengakrabkan diri dengan pelajaran tertentu, terutama yang mereka anggap serem baik bahan ajar maupun pengajarnya.

Sekian tahun yang lalu, Profesor Slamet Iman Santoso (almarhum), tokoh pendidikan itu, pernah mengkritik penggunaan akronim yang berlebihan sebagai sikap tidak menghargai bahasa dan mencerminkan kemalasan pemakainya. Kritik itu benar adanya bila dialamatkan kepada mereka yang tak tahu empan-papan dalam berakronim. Semestinya akronim hanya berlaku untuk keperluan khusus di lingkungan terbatas dan bersifat tak resmi. Nyatanya, cukup banyak instansi pemerintah, sebagai contoh kasus, yang menggunakan akronim pada teks surat resmi (bahkan surat keputusan), papan nama, dan kepala kertas surat. Sering kali akronim "dinas" itu tidak didahului oleh kata atau istilah lengkap yang diakronimkan.

Lain halnya dengan mahasiswa kos-kosan di Yogyakarta. Sebagian dari mereka menjadikan akronim sebagai "indeks sosial-ekonomi" mereka. Seloroh kirman, "kiriman ora tekan-tekan" (kiriman tak kunjung datang), adalah refleksi kecemasan ketika wesel dari orang tua belum tiba. Dalam situasi seperti itu, biasa terjadi KKN "kiri-kanan ngutang" ke sesama teman atau ke pemilik warung langganan supaya tetap bisa makan. Menu intel "indomi telur", teroris "tempe rong iris" (tempe dua potong), atau stereo tante "sega tempe loro tanpa telur" (nasi dan tempe dua potong tanpa telur), memerikan asupan gizi di bawah kecukupan. Dan, tante susi (tanpa susu/sirop) adalah minuman serba tawar—air putih atawa teh pahit. Dalam situasi cingkrang, akronim gaya mahasiswa itu terasa sebagai relaksasi yang melonggarkan, atau semacam optimisme saat mereka menghadapi "rintangan hidup" selama di rantau.

Melalui akronim pula mahasiswa membangun tipologinya. Mahasiswa kupu "kuliah-pulang" adalah sebutan untuk yang bertipe konvensional; yang kurap "kuliah-rapat" adalah tipe aktivis. Mereka yang kunang "kuliah-nangkring" tergolong tipe gaul; dan kulat "kuliah-salat" adalah tipe saleh. Di sini, akronim menjadi ekspresi "tafsir diri"—meminjam istilah Norbert Wiley dalam The Semiotic Self (1994)—tentang siapakah aku.

*) Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus