Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

'Ribuan Tawon' di Emperan Teater

Teater Tanah Air akan menggelar pentas di Festival Teater Anak Internasional di Maroko. Bagaimana Jose Rizal Manua mengajarkan teater kepada anak-anak?

24 Maret 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JOSE Rizal Manua, penyair dan teaterwan asal Padang, duduk santai di "kursi kebesaran"-nya, sebuah kursi plastik hijau rendah yang biasa teronggok di depan toko bukunya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Rambut perak gondrongnya terkucir rapi. Ia mengenakan blangkon. Senin malam pekan lalu, Jose melatih anak-anak asuhannya untuk persiapan pentas di Festival Teater Anak Internasional Taza Ke-14 di Taza, Maroko, 25-27 April 2013.

Kelompok teater anak-anak Teater Tanah Air pimpinan Jose akan membawakan kembali lakon Spectacle Peace, A Visual Theatre Performance karya Putu Wijaya. Karya ini meraih penghargaan sebagai pertunjukan terbaik dalam Festival Teater Anak Sedunia Ke-10 di Moskow, Rusia, Juli 2008. Pada akhir tahun itu, mereka juga diundang untuk menampilkan lakon yang sama di markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jenewa, Swiss, dalam perayaan Hari Anak Universal PBB.

Jose lalu memanggil 11 anak berusia 9-12 tahun yang akan terlibat dalam pementasan itu agar berkumpul di emperan gedung teater Graha Bhakti Budaya, persis di sebelah toko bukunya. Ini tempat mereka biasa berlatih, karena setelah seperempat abad berdiri, kelompok itu tak pernah punya gedung tempat latihan.

"Coba kamu bayangkan jadi monyet yang berusaha melompati pagar untuk mendapatkan makanan, tapi ia tak pernah berhasil. Dua tiang ini jadi batas pagarnya. Mulai!" ujar Jose, berteriak. Ia mengamati latihan sembari mengunyah duku. Bagong, satu dari sepuluh kucing peliharaannya yang berkeliaran di situ, meloncat ke pangkuan tuannya.

Anak-anak itu pun bergerak seperti monyet di ubin teras gedung. Ada yang sambil menggaruk-garuk kepala, ada yang menari-nari seperti balerina. Ada juga yang berteriak-teriak menirukan suara kera. Beberapa pengunjung melintasi mereka dengan tak begitu acuh, karena pemandangan demikian lazim terjadi di sana.

"Di sini banyak sekali makanan dan ia sudah tiga hari tidak makan," kata seniman yang pernah menerbitkan kumpulan puisi Menghayal Jadi Presiden itu. Anak-anak pun berjingkrak-jingkrak penuh semangat seakan-akan benar-benar kelaparan.

"Kira-kira kalau monyet bergerak dan berdiri seperti apa? Coba tunjukkan," kata Jose. Murid-muridnya lalu berjalan setengah bungkuk sambil menggaruk-garuk atau memegang kepala. Mereka meloncat-loncat ke sana-kemari. Ada yang meloncat tinggi, ada yang rendah saja. "Nah, nanti anak-anak raksasa itu seperti itu jalannya," ujar seniman kelahiran 14 September 1954 ini.

Lakon Spectacle Peace mengisahkan seorang pemburu yang mencuri telur dinosaurus. Tapi beberapa anak raksasa berambut gimbal berhasil merebutnya. Di perjalanan, anak raksasa bertemu dengan anak-anak dari lima benua yang sedang berkemah. Mereka mengira kaum raksasa itu mencuri telur tersebut, dan berusaha menghalanginya. Sang pemburu pun mengadu domba kedua kelompok anak-anak itu. Pertunjukan selama satu jam ini membawa pesan moral tentang perdamaian dan kejahatan yang selalu kalah oleh kebaikan.

Pertunjukan itu nanti disampaikan dengan banyak bayangan di layar putih seperti wayang dan iringan musik garapan Donny Irawan, yang selama ini aktif di kelompok itu. Karena tak punya gedung latihan, Jose tak bisa menggelar geladi resik dengan seluruh perlengkapan panggung. Dia hanya menceritakan kira-kira apa yang nanti terjadi di panggung dan memperlihatkan contoh kostumnya kepada anak-anak itu. Mereka baru tahu macam apa pertunjukannya setelah nanti benar-benar di atas panggung. Hal ini tentu membuat banyak sutradara cemas, tapi tidak bagi Jose karena begitulah dia biasa lakukan dalam setiap pementasan.

Pentas mereka tak banyak berubah dibanding saat tampil pada 2008, kecuali beberapa unsur diganti agar lebih segar dan aktual, terutama gerak tari. "Ini teater visual. Kalau kita berbicara dengan orang asing secara verbal, mereka tidak paham. Simbol-simbol yang saya hadirkan berdasarkan ingatan kolektif manusia sehingga orang di seluruh dunia mengerti," kata Jose.

Setelah berguru teater di Teater Mandiri pimpinan Putu Wijaya, Bengkel Teater asuhan W.S. Rendra, Teater Kecil bimbingan Arifin C. Noer, dan Teater Populer arahan Teguh Karya, dosen teater dan film di Institut Kesenian Jakarta itu mendirikan sendiri Teater Tanah Air pada 1988. Pada awalnya Jose mementaskan baik naskah untuk dewasa, seperti Hamlet karya Shakespeare dan Sekda karya Rendra, maupun naskah anak-anak. Keadaan berubah setelah mereka meraih 10 medali emas, termasuk untuk penampilan terbaik dan sutradara terbaik, dalam Festival Teater Anak Asia-Pasifik di Toyama, Jepang, pada 2004. "Setelah pentas itu, kok saya lihat yang dapat kesempatan main di luar malah teater anak-anak, ya? Ya sudah, saya konsentrasi ke anak-anak sejak itu," ujarnya.

Jose melihat kebanyakan kelompok teater anak memperlakukan anak-anak seperti orang dewasa. Mereka langsung diajak membaca naskah dan berakting ala metode Stanislavsky. Hal ini membuat anak-anak menjadi orang dewasa di panggung. Jose lalu berusaha mencari metode yang tepat. Metode itu dia temukan pelan-pelan. "Kuncinya adalah latihan yang bisa membuat mereka berimajinasi," katanya.

Jose menemukan apa yang disebutnya "masuk ke alam, keluar dari kebudayaan". "Di dalam kebudayaan, kita terkekang oleh aturan-aturan, tata krama, dan sopan santun. Anak-anak akan malu berbuat seperti tadi itu (berakting jadi monyet) kalau berdasarkan kebudayaan. Tapi, karena masuk ke alam, mereka bisa begini, bisa begitu," ujarnya.

Metode yang dipraktekkannya bukan melatih anak-anak jadi aktor ulung, melainkan menjadikan teater sebagai media untuk mengeksplorasi kekayaan yang tersimpan dalam diri setiap anak, sehingga membuat mereka percaya diri serta berkembang daya imajinasi, asosiasi, dan tanggung jawabnya. "Selalu saya katakan kepada mereka bahwa pementasan itu hanya bonus. Yang utama adalah bagaimana mereka menemukan dirinya, mampu mengaktualisasikan dirinya," kata Jose. "Saya bahkan tak ingin mereka jadi aktor, tapi jadilah seperti yang mereka kehendaki." Metode Jose semacam terapi bagi sebagian muridnya.

Beberapa orang tua mengaku senang karena anaknya berubah sejak ikut kelompok ini. Ada anak yang tertutup dan agak terbelakang mentalnya, misalnya, tapi kemudian bisa tampil meyakinkan saat ikut pentas Malin Kundang oleh Teater Tanah Air di Graha Bhakti Budaya pada Sabtu-Minggu dua pekan lalu. Simak pengalaman Sri Sulastri, ibu Jonathan Laskar Simatupang, yang akan turut bermain dalam pentas di Maroko. Ibu tiga anak yang tinggal di Kramat Pulo ini menilai bahwa latihan itu membuat tiga anaknya yang ikut kelompok Teater Tanah Air menjadi lebih berdisiplin dan mandiri. "Sebelumnya, bangun tidur untuk sekolah saja susah. Sekarang disenggol saja sudah langsung bangun," ujarnya.

Jose mengaku bahwa latihan yang dia ciptakan kadang lahir karena ada tantangan tertentu pada beberapa anak. Misalnya ada anak yang kesulitan menggerakkan tangannya, maka Jose menciptakan latihan agar semua anak melatih gerakan tangan itu. Hal ini membuat sang anak bisa memperbaiki gerakannya tanpa merasa jadi pusat masalah.

"Anak-anak itu jangan dipatahkan semangatnya," kata Jose. Dia kerap meminta mereka membuat tiga kelompok dan setiap kelompok mementaskan satu tema yang sama. Setelah itu, Jose akan menilai mereka—tentu saja ada pentas yang bagus dan tidak, tapi ia akan memutuskan bahwa semua pentas itu bagus.

Prinsip utama dalam metodenya adalah orisinalitas. Semua gerakan anak dianggap benar selama itu keluar dari inisiatif mereka sendiri. "Yang harus dihindari adalah menjiplak, memberikan contoh, atau meniru orang lain. Itu yang salah," ujarnya. Dengan cara ini, gerakan dan akting para pemain jadi bermacam-macam. Saat latihan "ditiup angin yang keras", ada anak yang berlari-lari seperti tersaput badai, tapi ada yang menari berputar-putar seperti menikmati tiupan angin.

Hal ini pula yang membuat akting para pemain di panggung kadang tak terduga, bahkan bagi Jose sendiri yang melatih mereka berbulan-bulan. Misalnya Muhammad Farhan Irsya, yang tampil ganjil saat memerankan ayah Malin Kundang dalam lakon Malin Kundang karena muncul dengan headphone di telinga. "Saya tidak menyalahkan. Mungkin, bagi dia, ayah Malin Kundang itu, ya, begitu," kata Jose.

Bagi Jose, dia dan orang dewasa lain dalam kru pementasan hanyalah fasilitator bagi anak-anak itu. Bahkan penyutradaraan pun kadang diserahkan kepada anak-anak. "Kami harus jadi anak-anak. Harus bertolak dari kacamata anak-anak untuk menggarap pementasan ini," ujarnya.

Malam itu Jose masih duduk di kursi kebesarannya. Dia memanggil anak-anak asuhannya untuk berkumpul. "Sekarang kamu jalan dari tiang ini ke tiang sana dan ada seekor tawon yang menyerang kamu dan kamu jago menghindar sehingga tawon itu tidak sempat menyengat kamu," katanya. Ini salah satu metode yang sering digunakan Jose. Anak-anak itu pun bergerak meliuk-liuk seperti dikerubuti tawon.

"Sekarang tawonnya lima puluh. Mulai!" kata Jose. Anak-anak itu pun bergerak heboh.

"Sekarang tawonnya lima ribu. Mulai!" Mereka bergerak makin heboh dan bertabrakan.

"Sekarang kamu jadi tawonnya!" Anak-anak itu pun saling menyergap temannya.

Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus