AL-E-AHMAD hampir setiap pekan tampak di Cafe Firuz, di bagian Kota Teheran yang dulu pernah jadi pusat kehidupan. Di pertengahan tahun 1960-an itu, ia sudah salah satu tokoh intelektuil Iran pengarang novel, cerita pendek, dan esei yang memesonakan dan mengagetkan. Di cafe yang dibangun dari batu bata merah itu ia memimpin pertemuan, sebuah dowreh, dan di sekelilingnya orang mendengarkan. Pada mulanya, ia memang seorang guru dengan "k". Duduk di Cafe Firuz itu dengan secangkir kopi di dekatnya dan asap rokok yang rimbun di sekitar mulutnya, laki-laki kurus yang seakan sebuah himpunan siku dan segi itu, bicara, sebagai "Guru" dengan "G". Fasih, pintar mencemoohkan diri, dan dengan gaya remang-remang basa yang juga jadi ciri tulisan-tulisannya. ia akan menyentuh tiap soal - seraya kadang-kadang menggertak pendengarnya yang tampak hadir hanya buat sekadar iku datang. Begitu besarkah sastrawan Iran ini, yang meninggal kena serangan jantung pada umur 4 tahun, di bulan September 1969, tanpa banyak dikenal di luar tanah airnya, dulu dan kini ? Tapi besar atau tidak mungkin bukan ukuran satu-satunya. Ketika saya menemukan cerita hidupnya dalam buku Roy Mottahedeh, The Mantle of the Prophet, sebuah karya yang unik tentang sejarah pemikiran Iran - dengan memakai seorang mullah muda sebagai tokoh utama - saya tiba-tiba sadar: Al-e-Ahmad ternyata sebagian dari kita. "Kita", tentunya, siapa saja yang menemukan nasibnya di Dunia Ketiga kini dan bergulat dengan pelbagai sikap dan pelbagai pemikiran dari pelbagai penjuru. Dan itulah kurang lebih yang terjadi dengan Al-e-Ahmad. Ia, yang bernama Jalal, tumbuh dalam keluarga ulama Syiah di Kota Teheran. Selesai sekolah dasar ia dikirim untuk sekadar mencari nafkah di bazaar besar kota, seraya belajar agama di Madrasah Marvi. Tapi pada saat yang sama, ia juga ikut sekolah malam di Politeknik, sebuah sekolah menengah terbaik saat itu. Ia melakukan itu tanpa diketahui ayahnya: suatu awal perpisahan dengan sang ayah, dengan masa lalu, jauh sebelum Jalal bergabung dengan Partai Komunis. Al-e-Ahmad melukiskan dirinya pada saat lulus di tahun 1943 dengan kocak tapi sekaligus sayu: seorang anak muda jangkun dengan cincin karnelia di kelingkingnya, dengan gundul di kepalanya, dan dengan perpindahan dunia yang cepat dalam kesadarannya - dari suatu "suasana keagamaan, kelintang-pukangnya masa Perang Dunia Ke dua". Bagi seorang anak Iran, perang itu tak menampakkan pembunuhan, puing, dan bombardemen. Namun, tak urung ia ikut menyaksikan, dan mengalami, "kelaparan, tifus, rasa bingung, dan kehadiran tentara pendudukan yang menusuk-nusuk hati." Dari kalimat itu ke sebuah paham yang radikal tak akan jauh jaraknya. Al-e-Ahmad kemudian masuk Partai Komunis. Ia sebelumnya memang pernah mencoba meneruskan belajar agama, di Najaf, kota suci umat Syiah di wilayah Irak. Selama tiga bulan ia memutuskan tinggal di sana, di rumah kakaknya. Tapi tiga bulan saja si anak yang mulai hilang itu mencoba balik ke tradisi keluarga. Pada suatu hari, tiba-tiba ia pulang ke Iran. Di Najaf itu, tulisnya kemudian, ia melihat masa depannya: dalam "sebuah jerat yang berbentuk jubah". Maka. ia pun jadi guru. Hubungannya dengan keluarganya patah. Ia kemudian menemukan seorang tokoh ayah dalam Partai Komunis, Khalil Maleki, yang pernah dipenjarakan Reza Syah di tahun 1937. Tapi dalam Partai itu pun, Al-e-Ahmad tak tenteram. Bersama Maleki ia kemudian memprotes tak adanya demokrasi dalam Partai, dan mereka keluar. Hatinya memang tidak dalam politik di sekitar kekuasaan. 'Bagi saya,' tulisnya suatu ketika, "berada dekat kekuasaan tak pernah menerbitkan daya pikat yang sepatutnya" Daya pikat apa yang patut baginya, jika demikian? Al-e-Ahmad sadar apa kekuatan Islam Syiah bagi bangsanya - dan juga bagi dirinya sendiri. "Semua kita menunggu Sang Imam Zaman . . . semua kita menunggu, dan memang begitulah benarnya, sebab tak ada pemerintah yang fana yang telah menyelesaikan kerja dan janjinya barang sedikit, dan karena penindasan di mana-mana, bersama ketidakadilan, pencekikan, dan diskriminasi ...." Toh pada saat yang sama, khas bagi Al-e-Ahmad, ia tak lepas dari sikap mengambil jarak. Ia tetap berbicara tentang fanatisme, kewungkulan, dan kebekuan kaum ulama, justru berdasarkan pengala mannya sendiri waktu kecil. Ia pernah dinyatakan "tak beragama" oleh ayahnya sendiri, ketika ia tak membawa bingkal tanah liat dari Karbela waktu salat, sementara ia menganggap hal itu semacam penyembahan "berhala". Tapi bagi Al-e-Ahmad, masa silam seorang Iran tak pernah bisa hilang. Ia tetap naik haji, datang ke Qom, ketika ayahnya wafat tempat ia bersua dengan seorang ulama lain bernama Khomeini. Sayang, Al-e-Ahmad mati muda, dan tak sempat bertanya adakah masa silam bisa menjawab masa depan. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini