Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Berita Tempo Plus

Tak cuma belajar ibadat

Sekilas sekolah diniyah yang menerapkan pola baru, di selenggarakan yayasan humaniora medan. Tak hanya mengajarkan quran, hadis, tarikh & tata cara peribadatan, tapi juga memperkenalkan elektronika, dll.

13 Februari 1988 | 00.00 WIB

Tak cuma belajar ibadat
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
YANG laki-laki mengenakan celana panjang dan kopiah. Yang perempuan memakai jilbab. Mereka adalah murid-murid sekolah diniyah, yang hari itu mendapat pelajaran praktek membuat sirene. Semuanya siap dengan peralatannya masing-masing. Guru kelas kemudian menyalakan komputer. Dari monitor komputer inilah cara-cara pembuatan sirene diberikan. Setelah sirene yang dibuat anak-anak itu berhasil mengeluarkan bunyi, guru kelas di sini disebut pemandu - membuka pertanyaan: mengapa sirene itu bisa berbunyi? Tanya Jawab yang bersifat santal itu tak melulu mengacu kepada pelajaran arus listrik yang jelimet. Arah pelajaran sedikit-sedikit dibawa ke masalah tauhid. Misalnya, jika penjelasan mentok pada hal-hal yang rumit di kepala anak-anak umur sepuluhan tahun itu, pemandu itu pun lalu mengaitkan pada kebesaran Allah. Inilah gambaran sehari-hari sekolah diniyah di Jalan Pulau Harapan, Medan, Sumatera Utara. Diniyah pola baru yang diselenggarakan Yayasan Humaniora Medan, sejak pertengahan bulan lalu, mengambil alih Sekolah Diniyah Muhammadiyah yang ditinggal murid-muridnya. Diniyah ini menerapkan cara belajar siswa aktif. Pelajaran diberikan dengan diskusi dan peragaan, yang sepintas lalu seperti bermainmain. Apalagi dipergunakannya komputer, video, dan proyektor film. Suasana menjadi hidup. Murid-murid betah di kelas. Diskusi pun biasanya ramai. "Pendapat dan argumentasi anak-anak itu macam-macam, Iho. Menggelikan," kata kepala sekolah diniyah itu, Dokter Rizali Harris Nasution. Sebagai sekolah agama, diniyah pola baru ini tak hanya mengajarkan Quran, Hadis, Tarikh, dan tata cara peribadatan. Tapi juga mcmperkenalkan mata pelajaran perpustakaan, pencak silat, dan bahkan elektronika praktis, seperti membuat sirene tadi. Ini penting, karena selama ini diniyah dianggap kurang laku. "Karena ada kesan paling banter lulusannya menjadi guru ngaji," kata Rizali, 35 tahun, ahli gizi lulusan FK Universitas Sumatera Utara. Padahal menurut Rizali, tamatan diniyah punya masa depan, setidak-tidaknya membekali ketrampilan. Pendiri Yayasan Humaniora ini juga menyebutkan kemunduran diniyah disebabkan pola pengajarannya tidak berubah sejak 30 tahun lalu. Pelajarannya pun berlangsung dari pukul dua sampai enam sore, setelah murid-murid itu selesai belajar di SD. Dan pembagian kelas-kelasnya juga mengikuti SD artinya ada kelas I sampai kelas VI. "Ini melelahkan, apalagi sistem pelajarannya juga sama, mendengar dan mencatat," kata Rizali. Kemudian ditambah lagi adanya anggapan bahwa diniyah itu sekolah agama yang gratis, sehingga dianggap enteng. Di Kecamatan Medan Teladan dan Kecamatan Medan Kota saja ada 10 diniyah yang hidupnya megap-megap . Diniyah yang dipimpin Rizali ini hanya tiga tahun. Yang diterima adalah murid-murid yang sudah dapat baca tulis. Minimal yang sudah duduk di sekolah dasar kelas III. Bahkan waktu belajarnya pun cuma tiga hari dalam seminggu. Senin, belajar jus Amma dan hadis-hadis Mi'ah. Rabu, belajar teori dan praktek ibadat. Jumat, pelajaran terpadu: perpustakaan, kesehatan, elektronika, dan sebagainya. Tahun kedua dan ketiga ada pelajaran bahasa Inggris, melengkapi pelajaran bahasa Arab yang diberikan sejak tahun pertama. Lalu semua murid diharuskan belajar silat, seminggu sekali setelah sembahyang subuh. Ada 8 tenaga pengajar yang bekerja "sukarela" dengan gaji Rp 15 ribu sebulan. Kemunduran diniyah diakui juga oleh Syafruddin Ahmad, 33 tahun, pembantu Kepala Sekolah Diniyah Al Ulum, Medan. Lulusan Universitas Imam Muhammad bin Saud, Riyadh, ini mengatakan terus terang tak bisa mencontoh diniyah pola baru yang diterapkan Rizali. "Semuanya itu karena keterbatasan dana," katanya. Selain itu, minat orangtua menyekolahkan anaknya di diniyah juga kurang. "Sekolah ini 'kan hanya mitra SD," kata Syafruddin. Lulusan diniyah tanpa mengantungi STTB SD, walau sekolah ini juga enam tahun, tak bisa meneruskan ke SMP. "Diniyah adalah tempat kita mendidik anak-anak agar berakhlak baik," kata Syafruddin lagi. Sekolah Diniyah Al Ulum sekarang ini punya 279 murid, merosot terus tiap tahun. Di sekolah diniyah gaya baru Rizali murid hanya 35 orang. Masih ditunggu apakah pola barunya ini mampu menarik minat anak-anak usia SD, karena baru saja dimulai. Agus Basri (Jakarta) dan Mukhlizardy Mukhtar (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus