"SAYA nggak nukar." Kata-kata itu dengan spontan meluncur dari mulut Nyonya Nuraini 30 tahun, ketika Jaksa Nyonya Tiangsa beru Karo, Rabu pekan lalu, menuduhnya sengaja menukar bayi di Rumah Bersalin Pembina (RBP) Puskesmas Cilandak, Jakarta. Nuraini, yang mengaku tak pernah mengenyam pendidikan itu, terpaksa duduk di kursi pesakitan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, karena bersikukuh bahwa Dewi adalah bayinya dan enggan mengembalikan kepada pemiliknya Nyonya Kartini. Padahal, berdasarkan pemeriksaan darah, banyak orang menganggap bayinya adalah Cipluk, yang kini tertinggal di puskesmas tadi. Di persidangan pertama itu terlihat raut wajah Nuraini, yang mengenakan baju putih dan memangku tas tangan warna hitam, agak tegang Pandangan mata wanita itu menatap lekat ke arah Jaksa Tiangsa, yang membacakan dakwaan dengan tekanan suara meninggi. Sekitar lima belas orang . kerabatnya ikut menyaksikan jalannya persidangan di ruang sidang utama yang dipadati pengunjung hingga melimpah ke luar ruang sidang. Perkara itu memang terhitung menarik perhatian masyarakat, juga ahli-ahli hukum. Maklum, baru kali inilah dalam sejarah peradilan Indonesia ada kasus bayi tertukar (lihat Dewi dan Cipluk di Silang Pendapat). Pada 28 Maret 1987 itu, demikian dakwaan Jaksa di hadapan majelis hakim yang diketuai Nyonya Reni Retnowati, Nyonya Nuraini, istri Ambam Hidayat, melahirkan bayi perempuan di puskesmas Cilandak. Beberapa jam kemudian di tempat yang sama, Nyonya Kartini, istri Suripno, melahirkan pula, juga seorang bayi wanita. Ketika perawat lagi sibuk mengurus Kartini, menurut Jaksa, Nuraini masuk ke kamar bayi secara diam-diam tanpa izin suster jaga. Padahal, pasien tidak diperkenankan masuk sembarangan, sesuai dengan pengumuman yang tertempel di dinding. "Setelah terdakwa melihat bayi lain di boks nomor 1, timbul niatnya untuk menukar, padahal bayi terdakwa berada di couvis (tempat pemanas bayi)," tuduh Jaksa Tiangsa lagi. Nuraini mengambil sendiri bayinya di couvis (inkubator), dan kemudian meletakkannya di boks nomor 2. Selanjutnya, kata Jaksa, ia mengambil bayi di boks I, dan menyusuinya di ruang perawatan. Kesengajaan Nuraini juga digambarkan Jaksa dengan penolakan wanita itu melakukan pengecekan ulang bayinya, termasuk pemeriksaan darah - walau akhirnya ia terpaksa juga memeriksakan ulang bayi itu dengan ditimbang, diukur panjangnya, dan diperiksa darahnya. Selain itu, kata Jaksa lagi, Nuraini telah mengetahui bahwa label bayi yang diambilnya itu atas nama Nyonya Kartini, tapi tetap ingin memiliki bayi itu . Akibat perbuatan tersebut, "Asal-usul bayi Dewi dan Cipluk menjadi tidak tentu," ujar Nyonya Tiangsa melanjutkan dakwaannya. Padahal, berdasarkan kesimpulan hasil tes darahnya, Dewi tidak mungkin berasal dari pasangan Nuraini-Ambam. Begitu juga Cipluk tidak mungkin berasal dari pasangan Kartini--Suripno. Nuraini, yang berbadan kecil dan berambut agak panjang, kelihatan berang sekali karena dituduh Jaksa mempertukarkan bayinya. Begitu sidang pertama itu selesai, ia langsung menghampiri Kartini, yang terlambat menghadiri sidang, ketika turun dari mobil pengacaranya, A. Bakar. Nuraini mendamprat wanita itu. "Jelek, lu," makinya. Untung, keributan bisa dilerai pengunjung yang lain. Tuduhan Jaksa Tiangsa memang belum tentu benar. Sepuluh bulan yang lalu, tepatnya tanggal 28 Maret 1987, pukul 04.05, Nuraini melahirkan seorang bayi perempuan di RBP Cilandak. Persalinannya dilakukan Bidan Siti Suparmi dan Suster Emi Supriyani. Bayi pertama buah perkawinan Nuraini dengan Ambam Hidayat, 34 tahun, itu berkulit putih, dahi lebar, dengan panjang badan 48 cm dan berat 3,1 kilogram. Karena kurang sehat, bayi itu dimasukkan ke inkubator. Hari itu juga, pukul 12.15, di tempat yang sama, seorang ibu bernama Kartini, 24 tahun, melahirkan pula seorang bayi perempuan. Bidan Indaryanti serta dr. Nyonya Mursiamsih dan Suster Salbiah menyelenggarakan persalinan Kartini. Setelah melahirkan bayi dengan berat 3,3 kilogram dan panjang badan 49 cm, Kartini pingsan. Tapi menurut Kartini, ia hanya tak sadar beberapa saat, ketika baru saja selesai melahirkan. Setelah itu, ia ingat seorang perawat menunjukkan bayinya sebelum diletakkan di boks. Bayi itu, seingatnya, berambut tipis dan berdahi lebar. Sekitar pukul 14.00, masih di hari yang sama, Nuraini mendengar tangis bayi di kamar bayi yang menurut dia suara bayinya. Ketika itu para bidan dan perawat sedang mengurusi Kartini, sementara di kamar bayi sudah ada dua bayi. "Saya tidak tega mendengar bayi saya terus menangis," kata Nuraini, ibu tiga anak dari suami pertamanya. Lalu Nuraini mengambil bayi yang menangis di boks nomor I itu. Ia jug menemukan secarik kertas di dekat bayi tersebut tapi hanya disimpannya karena ia, buta huruf. Nuraini membawa bayi itu ke ruang perawatan untuk disusuinya. Setelah itu bayi dikembalikan lagi ke boks nomor 1. Kepada suaminya, Ambam, yang datang besuk di malam hari, Nuraini menunjukkan secarik kertas yang ditemuinya tadi. Ternyata, kertas itu label bayi atas nama Kartini. Ambam, yang sehari-hari bekerja sebagai buruh bangunan, menyuruh Nuraini mengembalikan label itu pada si empunya. Tidak lama setelah melahirkan, Kartini dipindahkan dari ruang bersalin ke ruang perawatan, sekamar dengan Nuraini. Sorenya, pada waktu menyusui bayi, kedua wanita itu mendekap bayi masing-masing. Mereka sempat berbincang, saling menanyakan bayi mereka, yang kebetulan sama-sama perempuan "Sekarang memang musim bayi perempuan," kata Kartini. Tapi sebenarnya Kartini agak ragu sewaktu mengamati bayi yang sedang disusui untuk pertama kalinya setelah diterimanya dari seorang suster atau perawat "Kok, bayi saya jadi tebal rambutnya," pikir Kartini, ibu tiga anak ini ia masih ingat bayinya tadi berambut tipis seperti bayi yang lagi disusui Nuraini. Keraguannya kian menjadi karena, Nuraini mengatakan telah mengambil sendiri bayinya di kamar bayi Kecurigaannya pun bertambah lagi setelah malamnya Nuraini mengembalikan label bayi atas nama Kartini. Keesokan harinya, 29 Maret 1987, ketika suaminya membesuk, Kartini menyuruh Suripno mengurus anaknya, yang dicurigainya tertukar itu. Kartini merasa bayi di boks I itu, yang diambil Nuraini, adalah miliknya. Ketika soal itu disampaikan mereka kepada Nuraini-Ambam, pertengkaran pun tak terelakkan. Persoalan pun sampai ke bidan dan suster jaga. Petugas puskesmas itu mencoba menyelesaikan perselisihan tersebut dengan cara mengukur kembali berat dan panjang badan kedua bayi. Hasilnya kebetulan pula ukuran kedua bayi sama-sama 3,1 kilogram dan 47 cm. Sebab itu, perawat jaga menarik kesimpulan: bayi yang berada pada Nuraini memang milik wanita itu dan kesalahan hanya pada label bayi Kartini yang tertaruh di boks bayi Nuraini. Sehari kemudian Nuraini dan Kartini pulang setelah masing-masing membayar biaya perawatan sebesar Rp 34.500,00 dan mendapatkan Surat Keterangan Kelahiran. Nuraini membawa bayinya yang kemudian dlberi nama Dewi. Sedangkan Kartini terpaksa membawa bayi yang tak diyakininya sebagai anaknya sendiri yang kemudian di puskesmas diberi nama Cipluk. Tapi sampai di rumah, Kartini dan Suripno, yang sehari-harinya sopir pribadi, tetap diliputi keresahan. Karena tidak puas, dua hari berikutnya Suripno mendatangi rumah Nuraini, menuntut anaknya. Tentu saja Nuraini bertahan, karena ia yakin bahwa Dewi-lah anaknya. Sebab itu, Suripno kembali menuntut melalui puskesmas Cilandak. Pertikaian itu untuk kedua kalinya diselesaikan pihak puskesmas, dihadiri pula oleh Nyonya Mursiamsih selaku kepala unit bersalin. Putusannya, ternyata, tetap seperti semula. Gagal dengan upaya tersebut, Kartini-Suripno membawa bayi yang ada pada mereka ke PMI untuk pemeriksaan darah. Hasil tes darah, sebagaimana ditandatangani dr. MasriRoestam,ternyata meyakinkan Kartini bahwa anaknya memang tertukar. Bayi yang dibawanya itu berdarah O. Padahal, golongan darah Kartini dan Suripno masing-masing A dan B. Bayi yang baru sebelas hari mereka timang di rumah itu langsung dikembalikan ke puskesmas Cilandak. "Terserah, mau diapakan bayi itu. Perasaan saya tidak enak memelihara anak orang," tutur Kartini. Akibatnya, sampai kini Cipluk memang terpaksa berdiam di puskesmas tersebut (lihat Kiss Bye dari Cipluk). Toh Nuraini tak hendak mengembalikan Dewi dan mengambil Cipluk. Suripno terpaksa mengadukan persoalan itu ke polisi. Berdasarkan perintah polisi Nuraini-Ambam, yang semula menolak pemeriksaan darah, terpaksa memeriksakan darahnya dan juga darah bayinya, Dewi. Hasil pemeriksaan darah yang dilakukan dr. Masri Roestam, 12 Agustus 1987, semakin meyakinkan bahwa kedua bayi itu tertukar. Sebab, darah Nuraini dan Ambam sama-sama O - seperti golongan darah Cipluk sedangkan Dewi berdarah AB. Walau sudah ada hasil tes darah, Nuraini tetap bersikukuh mempertahankan Dewi yang kian lekat dengannya. "Bagaimanapun, Dewi anak saya, saya tidak percaya terhadap pemeriksaan darah," kata Nuraini yang berasal dari keluarga asli Betawi. Sebab itu, polisi yang menangani perkara itu tidak menemukan jalan lain kecuali meneruskan perkara ke kejaksaan untuk disidangkan. Jaksa Tiangsa pun menuduh Nuraini sengaja mempertukarkan bayinya. Tapi Nuraini, yang berbadan kecil dengan rambut agak panjang itu, membantah keras tuduhan tersebut. "Saya melihat sendiri ada suster yang memindahkan bayi saya dari inkubator ke boks nomor 1. Baru kemudian saya ambil karena bayi itu menangis terus," ujar Nuraini. Ia sendiri mengaku sudah tak ingat lagi nama suster itu. Yang diingatnya, suster itu berambut panjang. Bagi Nuraini, hanya satu keyakinan yang ada di benaknya, yakni Dewi memang anak yang lahir dari rahimnya. Selain itu, "Saya membawa pulang Dewi secara sah, dengan surat keterangan kelahiran dari puskesmasnya," kata Nuraini, sambil menyusui Dewi dalam dekapannya, di rumahnya di Pondok Labu, Jakarta. Dewi, begitu menurut Nuraini, sehari-harinya hanya minum air susu ibu, belum mau makan nasi. Kini bayi perempuan yang montok dengan dahi lebar dan rambut tipis itu masih belajar jalan. Ketika ditemui TEMPO, setelah menyusui kepada Nuraini, Dewi berjalan merambat, memegangi tangan kursi, sebelum menghamburkan diri ke pangkuan Nuraini. Setelah itu, Dewi berjalan pelan ke arah kakaknya, Suliyanti, 12 tahun "Dewi punya lekukan semacam lubang di atas anusnya seperti kakaknya itu," ujar Nuraini, yang tetap yakin Dewi anak kandungnya. Sebaliknya, Kartini juga yakin, Dewi itulah anaknya, dan bukan Cipluk. Tapi beberapa kali ia mencoba melihat anaknya itu ke rumah Nuraini, selalu gagal karena diusir tuan rumah. "Jangan harap saya mau mengambil Cipluk, meskipun pengadilan memutuskan begitu. Bagaimana saya harus mengurus anak orang lain, sedangkan anak saya sendiri diambil orang," ujar Kartini, di rumah sewaan seharga Rp 15.000,00 per bulan, yang ditinggalinya, di Cilandak. Persoalannya yang belum terungkapkan adalah siapa yang memindahkan bayi-bayi itu ketika masih berada di kamar bayi. Nuraini mengaku melihat seorang perawat memindahkan bayinya dari inkubator ke boks nomor 1. Tapi ia tidak ingat siapa orangnya. Sementara itu, Jaksa menuduh Nuraini yang memindahkan bayi itu. Pada hari kejadian, dinihari, 28 Maret itu, Suster Emi, salah seorang perawat di situ, memotong tali pusar bayi yang dilahirkan Nuraini. Bayi itu kemudian dibersihkan Bidan Siti Suparmi di kamar bayi. Setelah bayi itu ditimbang dan diukur, Bidan Siti mencatatnya di buku status bayi. Tapi, seperti diakui sendiri oleh Siti, ia lupa memberi label pada bayi Nuraini. Bayi itu diberi pakaian dan ditunjukkan pada Nuraini, sebelum dimasukkan ke inkubator. Sekitar pukul 08.00 pagi harinya, Bidan Siti dan Suster Emi berganti tugas jaga dengan dr. Mursiamsih dan Suster Salbiah. Mursiamsih dan Salbiah, bersama Indaryanti, yang kemudian menolong persalinan Kartini. Siang itu hanya dua bayi di kamar bayi - satu di inkubator satu lainnya di boks nomor 1. Pihak puskesmas memperkirakan kasus tertukarnya bayi itu terjadi antara pukul 13.30 dan pukul 14.00. Ketika pukul 14.00 Bidan Yuyun dan Suster Kumala datang menggantikan Mursiamsih dan Salbiah Kartini masih ada di kamar bersalin di sebelah kamar bayi. Tapi di kamar bayi, Yuyun melihat hanya ada satu bayi di boks nomor 2 - tak berlabel. Bayi itu, yang disangka Yuyun anak Kartini, sorenya diserahkannya kepada ibunya untuk disusui. Bidan Nyonya Indaryanti membenarkan ia ikut menolong persalinan Kartini. Sebenarnya, ia bertugas di bagian KB. Tapi Mursiamsih memanggilnya untuk membantu, karena Kartini agak kritis. Indaryantilah yang menunjukkan bayi Kartini, setelah wanita itu siuman dari pingsannya. "Bayinya berambut tipis agak botak. Bayi itu bagus, kok, langsung nangis," tutur Indaryanti. Indaryanti juga mengaku dia yang mengukur dan mencatat data bayi Kartini itu. Selanjutnya ia membuat label dan menggantungkannya di boks nomor 1. Di boks dekat pintu masuk ke kamar bayi itu pula Indaryanti meletakkan bayi tersebut. Di kamar bayi itu ada enam boks bayi. Tiga buah - disebut boks nomor 1, 2, dan 3 - di sisi kiri, tiga buah lainnya berada di sisi kanan. Lebih mendekat ke dinding, terletak inkubator. Nah, sewaktu meletakkan bayi yang dilahirkan Kartini di boks nomor I, Indaryanti hanya tahu bahwa di boks nomor 2 dan 3 tak ada bayi. Tapi ia tak tahu ada tidaknya bayi di inkubator. Nyonya Mursiamsih tak tahu-menahu kejadian pertukaran kedua bayi itu. Kepala Unit Bersalin yang telah bertugas empat tahun di puskesmas itu mengaku baru Nurainilah satu-satunya pasien yang berani masuk ke kamar bayi tanpa izin. Ia juga tidak habis pikir atas kenekatan Nuraini menyusui bayi yang diambilnya sendiri di kamar bayi. "Saya saja yang bisa baca tulis pasti akan bertanya dulu, apa benar bayi yang akan disusui itu anak saya," kata Mursiamsih. Apa pun juga penyebabnya Mursiamsih sendiri amat prihatin atas kasus tertukarnya kedua bayi itu. "Ini cobaan Tuhan, supaya kami lebih teliti," katanya. Kendati begitu, ia tetap berharap kasus itu akan segera selesai, sehingga Cipluk bisa diakui orangtuanya, "yang sudah sama-sama kita ketahui dari pemeriksaan darahnya," ujarnya. Tapi bukan hanya Dewi dan Cipluk yang tertukar atau menjadi perselisihan di tempat bersalinnya - hanya saja baru kasus Dewi dan Cipluk yang sampai ke sidang pengadilan. Di Klinik Bersalin Budi Rahayu (KBBR) Rumah Sakit Umum Tidar, Magelang, Jawa Tengah, pada akhir 1981, dua orang ibu kebetulan bernama sama, sebut saja Endang A dan Endang B -- melahirkan seorang bayi di KBBR, pada hari yang sama pula. "Perbedaan- kelahiran kedua bayi itu kira-kira sepuluh jam,' tutur seorang perawat di situ. Endang A melahirkan bayi laki-laki, sedangkan Endang B perempuan. Beberapa hari kemudian, Endang A meninggalkan KBBR. Ia pulang ke rumahnya di Magelang Utara, dengan membawa seorang bayi, sementara Endang B masih dirawat di klinik bersalin itu. Tak disangka, setelah Endang A berada di rumahnya, KBBR gempar. Pasalnya, Endang B kaget begitu mengganti pakaian bayi yang akan disusuinya. "Bayi itu ternyata laki-laki," kata sumber TEMPO di rumah sakit tersebut. Petugas rumah sakit yang mendapat laporan kasus itu segera menyusul Endang A ke rumahnya. Endang A tentu saja kaget, karena ia sendiri belum sempat meneliti bayi yang dibawanya. Apalagi ketika ia sampai di rumah, banyak tetangga datang, menjenguk bayinya yang sedang tidur. Pemeriksaan pun segera dilakukan petugas. Benar saja, bayi itu perempuan. Setelah tahu, "Mereka jadi tertawa," ujar perawat tadi, mengenang kembali kisah hampir tujuh tahun silam itu. Tak ada yang protes ataupun keberatan, dan tidak ada pula yang perlu diperkarakan ke pengadilan. Sebab, kedua Endang itu memang sama-sama menginginkan bayi mereka yang sebenarnya. Kisah yang dialami kedua Endang tadi memang bisa menjadi bahan tertawa kedua pihak. Tak demikian halnya yang menimpa Nyonya Hermina boru Sinaga, 31 tahun, di Medan, yang hingga kini memendam sakit hati. Lantaran bayinya yang dianggapnya lahir utuh diganti dengan bayi mati. Pada 14 Februari 1987, sekitar pukul 08.00, Hermina melahirkan seorang bayi laki-laki di Rumah Sakit Pirngadi, Medan. Ia tak sadarkan diri sewaktu bersalin. Namun beberapa saat kemudian, Hermina mengaku sempat melihat bayinya itu sehat-sehat saja. Mertua Hermina, Nehen boru Barus, juga melihat kelahiran anak Hermina yang keenam itu. "Bayi itu hidungnya mancung, berambut tipis dan pirang," ujar Nehen. Berat badan bayi Hermina itu 3,5 kilogram dengan panjang 50 cm. Hanya saja, karena kondisinya lemah, bayi tersebut dimasukkan ke inkubator. Di malam harinya, seorang petugas rumah sakit memberi tahu pada Hermina bahwa bayinya telah meninggal. Hermina tak sepenuhnya percaya. Terlebih lagi, setelah si nenek, Nehen, melihat sendiri mayat yang dikatakan cucunya itu. Berbeda dengan bayi Hermina yang sebelumnya ditunjukkan kepadanya, bayi di kamar mayat itu, katanya, berambut hitam lebat dan bekas dipangkas. Karena tidak percaya, ketika seorang perawat masuk ke ruangannya, Hermina mencoba memancing dengan menanyakan keadaan bayinya. "Bayi Anda ada di bangsal bayi, sehat," kata si perawat. Tapi keesokan harinya, seorang petugas serta Bidan Nurhayati kembali memberitahukan kematian bayi tersebut. Tentu saja Hermina tambah tak percaya. Apalagi sewaktu ia meminta akan menjenguk bayi - yang dikatakan meninggal itu di kamar mayat ditolak. Merasa dipermainkan, Hermina pun mengadu ke Poltabes Medan. Akibatnya, mayat bayi tadi diotopsi. Hasilnya, mayat diserahkan pada keluarga Hermina Tapi Hermina menolak, karena tetap yakin bahwa bayi itu bukan bayi yang keluar dari rahimnya. Setelah sebelas hari mayat bayi itu terkatung-katung, pihak rumah sakit akhirnya memakamkan bayi malang itu. Di batu nisannya ditulis: Bayi Hermina boru Sinaga. Namun, tidak beberapa lama, kubur bayi itu dibongkar petugas untuk dilakukan otopsi lagi, tentu di rumah sakit itu juga. Hasilnya tidak berubah, tetap seperti yang pertama. Itu sebabnya polisi menghentikan penyidikan kasus yang diadukan Hermina. Hermina dan keluarga tak bisa menerima penghentian penyidikan tersebut. Sebab, mereka tetap yakin bayi yang mati itu bukan bayi Hermina. Hanya saja, "Mau menggugat, kami tak punya uang," ujar Nehen, sang mertua. Happy Sulistyadi dan biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini