RASA kecewa tengah melanda siswa. siswa Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA), baik negeri maupun swasta. Cita-cita mereka pupus sudah untuk menjadi tenaga petugas penyuluh lapangan (PPL). Kini mereka hanya dipersiapkan untuk menjadi petani terampil. Kekecewaan itu setidaknya tergambar pada siswa-siswa SPMA Negeri Yogyakarta. Semua siswa di sana sudah lesu darah untuk belajar. Pekan lalu, misalnya, banyak siswa yang hanya ngobrol-ngobrol saja atau bermain pingpong. Agus Sugiyanto, siswa kelas II, berkata, "Sebenarnya, cita-cita saya tak pernah lepas dari PPL. Tapi harapan itu kini sirna setelah ada program D3 Ahli Penyuluh Pertanian." Di seluruh Indonesia ada 12 SPMA, 8 Snakma (Sekolah Peternakan Menengah Atas), dan 10 SUPM (Sekolah Usaha Perikanan Menengah) yang semuanya berada di bawah Departemen Pertanian. Tiga jenis sekolah ini disebut dalam rumpun Sekolah Pertanian Pembangunan (SPP). Selama ini lulusan sekolah itu diangkat menjadi PPL, sesuai dengan bidangnya masing-masing. Sejak tahun ajaran ini (1987/1988) orientasi SPP berubah. Ada 10 SPP (5 SPMA, 3 Snakma, dan 2 SUPM) yang tersebar di beberapa kota tak lagi menerima siswa baru. SPP ini dijadikan proyek uji coba untuk pendidikan lanjutan program Diploma 3 Ahli Penyuluh Pertanian. Sasarannya, mempersiapkan tenaga ahli rekayasa pertanian. Lulusan inilah yang nantinya mengisi jabatan yang kini dikenal dengan PPL itu. Perubahan ini untuk mempersiapkan tenaga penyuluh yang mampu menjawab tantangan problema pertanian di tahun 2000. Sebab, pada prediksi yang ada, kondisi sosial petani dan masalah-masalah pertanian di masa depan sangat kompleks dan tidak sama dengan kondisi sekarang. Memasuki abad ke-21 nanti, "Petani kita sudah intelek. Tidak tradisional lagi," kata Sugito, Kepala SPMA Negeri Yogyakarta, yang terkena uji coba program D3 APP itu. "Dibukanya ladang diploma ini sebuah langkah pengejaran." Program D3 APP Yogyakarta -- tentu saja menunaikan fasilitas dan sarana SPMA Negeri di Jalan Kusuma Negara itu sekarang ini punya 29 mahasiswa. Mereka semuanya mahasiswa tugas belajar dan diambil dari tenaga PPL dari Provinsi DIY Ja-Teng, Kal-Tim, Kal-Sel, dan Kal-Teng. Selama tiga tahun, mahasiswa yang berstatus pegawai negeri itu dididik sebagai "tenaga ahli penyuluh petani intelek di lapangan", sebagaimana dikatakan Sugito. Kepada mereka diberikan, antara lain, mata kuliah Manajemen Usaha Tani, Manajemen Koperasi Pertanian, Pembangunan Masyarakat Pedesaan, dan beberapa seminar guna melatih penalaran. Sedangkan siswa SPP, misalnya siswa SPMA Yogya yang kini duduk di kelas II dan III, dipersiapkan menjadi seorang "petani intelek", petani pelopor yang bisa menciptakan lapangan kerja sendiri - dan tidak berharap jadi PPL. Mereka diberi pelajaran baru, seperti praktek wiraswasta usaha pertanian. Sehingga, tidak saja bisa menanam dan merawat sayuran, tapi bisa memasarkannya. Ini dimaksudkan, "Agar para siswa tidak ingin jadi pegawai negeri," kata Sugito. Program D3 APP ini sudah mendapatkan izin prinsip dari Departemen P dan K. Dari 10 APP yang dicoba sekarang ini, mahasiswanya berjumlah 300 orang. Pengajarnya diambilkan dari guru-guru SPP dan dosen perguruan tinggi negeri setempat. "Tak ada kesulitan apa-apa, karena program ini sudah direncanakan lama bersama Departemen P dan K," kata sumber TEMPO di Departemen Pertanian. Yang jadi soal sekarang adalah siswa-siswa SPP itu sendiri. Tahap pertama ini memang baru 10 SPP yang menghentikan penerimaan murid baru, dan nantinya otomatis membubarkan diri setelah siswa kelas II yang sekarang ini lulus. Sedangkan 20 SPP yang tidak dijadikan uji coba, dan masih berjalan seperti biasa, tak jelas nasibnya. Menurut sumber TEMPO, kalau tidak dibubarkan, ya, diswastakan. Karena mahasiswa program D3 APP ini untuk sementara hanya menampung mahasiswa tugas belajar. Memang, selain ada SPP negeri, ada juga yang dikelola swasta, terutama jenis SPMA. Di Jawa Timur saja ada 21 SPMA swasta, yang mendapat iin dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Timur. "Menurut saya, SPMA masih diperlukan. Tapi akan sepenuhnya dibebankan kepada swasta," kata Arkho Sudjianto, staf pengajar SPMA Negeri Malang dan Pembantu Kepala Diklat bidang Akademis Program D3 APP Malang. Pendapat senada datang dari Kardiono, Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Ja-Tim. "Kami masih membutuhkan petani terampil. SPMA masih diperlukan," katanya. Tapi, masih banyakkah orang yang berminat bersekolah tiga tahun, untuk menjadi pak tani? Agus Basri, Aries Margono (Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini