Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Al-Faruq dan Indonesia

13 Oktober 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

R. William Liddle Profesor ilmu politik dari The Ohio State University, Columbus, OH, AS Laporan Time tentang Umar Al-Faruq melegakan hati saya sebagai orang asing yang ingin melihat Indonesia berhasil selaku negara modern. Saya merasa lega karena dua hal. Pertama, Time memaparkan dengan jelas kegiatan seorang asing, Al-Faruq al-Kuwaity, yang diutus atasannya di Al-Qaidah untuk menciptakan kerusuhan di Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya. Ternyata yang melakukan pengeboman beberapa gereja pada hari Natal tahun 2000, ketika 18 orang meninggal, bukan orang Indonesia, melainkan orang asing yang bermusuhan terutama dengan Amerika. Lagi pula, peledakan bom di Atrium Senen pada Agustus tahun lalu, yang membingungkan para pengamat pada waktu itu, merupakan bagian dari komplotan untuk membunuh Presiden Megawati. Sekali lagi, auteur intelektual-nya bukan orang Indonesia dan sasaran utamanya juga bukan Indonesia, melainkan Amerika, yang dianggap mengandalkan Megawati sebagai pemimpin kubu sekuler. Kedua, laporan Time menggambarkan dengan cukup jelas pula siapa yang terlibat dalam kegiatan Al-Qaidah di Indonesia. Organisasi seperti Jamaah Islamiyah dan Majelis Mujahidin Indonesia serta beberapa nama seperti Abu Bakar Ba'asyir, Agus Dwikarna, dan Riduan Isamuddin alias Hambali disebut sebagai kolaboratornya dalam berbagai kegiatan ilegal. Misalnya, rencana pengeboman Kedutaan AS di Jakarta dan Manila sekitar tanggal 11 September tahun ini konon diciptakan bersama. Nama-nama itu memang sering muncul di pers Indonesia dan asing belakangan ini, tetapi tanpa bukti keterlibatan mereka yang meyakinkan. Pengakuan Umar, meskipun baru dalam bentuk laporan CIA yang dibocorkan, memperkuat kesimpulan sementara saya bahwa di bawah asap ini memang ada api. Bagi saya, dua kenyataan ini berarti para pemimpin Islam moderat mendapat kesempatan emas untuk memisahkan diri dari kaum ekstremis. Selama ini, sejak Presiden Bush mulai mempersiapkan tentaranya untuk menyerbu Afganistan, kaum moderat bersikap sangat hati-hati. Mereka seakan-akan enggan mengemukakan pendapat mereka yang sebenarnya. Sebab, mereka khawatir dicap antek Amerika (atau Kristen, atau Yahudi). Padahal mereka menyetujui dan mendukung di belakang layar beberapa kebijakan pemerintahan Bush, terutama penumbangan pemerintahan Taliban. Akibatnya, para aktivis garis keras berhasil menguasai medan politik dalam dan luar negeri, misalnya ketika mereka melakukan sweeping terhadap orang Amerika di Solo beberapa waktu lalu. Contoh lain: Oktober 2001, ketika mereka mengancam nyawa Duta Besar AS di depan gedung kedutaan kami di Jakarta. Kejadian itu sulit dilupakan oleh semua warga negara Amerika (termasuk saya) yang menyaksikannya melalui CNN. Selain itu, wajah Islam Indonesia pernah disamakan dengan Laskar Jihad oleh The New York Times. Di bawah foto satu halaman Ja'far Umar Thalib, koran paling terkemuka di Amerika itu bertanya: "Apakah orang ini akan mendirikan negara Islam di Indonesia?" Kini, setelah pengakuan Umar Al-Faruq, para pemimpin moderat seharusnya merasa mendapat ruang bergerak. Mereka bebas mengemukakan pendapat mereka yang sebenarnya tentang aktivis garis keras. Saya bayangkan komentar mereka kira-kira sebagai berikut: "Siapa yang mengebom gereja-gereja, membunuh orang tak bersalah, dan merusakkan citra Indonesia di luar negeri? Orang asing yang harus ditangkap dan diekstradisi! Mereka bukan mewakili melainkan mengkhianati Islam. Siapa yang berkomplotan dengan Al-Qaidah untuk membunuh presiden kita (dua kali!) dan mengebom Kedutaan AS di Indonesia dan Filipina? Oknum-oknum yang mengatasnamakan bangsa Indonesia dan agama Islam tetapi sebenarnya melakukan tindakan kriminal. Mereka harus ditangkap dan diadili!" Tapi, nyatanya, sejauh yang saya amati, pemimpin Islam moderat di Indonesia tidak bereaksi seperti yang saya harapkan. Medan politik sekali lagi dikuasai oleh aktivis garis keras. Tokoh moderat tidak berusaha memisahkan diri. Mereka cenderung blame the messenger and ignore the message, menyalahkan pembawa informasi dan mengabaikan informasinya. Laporan Time ditampik sebagai karangan fiktif, yang pasti diciptakan sendiri oleh CIA. Sasarannya adalah Megawati, yang didesak sekali lagi oleh Bush agar menangkap Ba'asyir yang tidak bersalah. Tujuan Bush dan pemerintahannya bukan untuk menyelamatkan Amerika dari ancaman Al-Qaidah, melainkan untuk memojokkan Islam. Contoh pendapat yang tidak moderat dari tokoh moderat sangat gampang ditemukan. Misalnya, Din Syamsuddin dari Muhammadiyah "memberi kesaksian, organisasi dan pimpinan yang dituduh teroris itu (Majelis Muhajidin Indonesia dan Abu Bakar Ba'asyir) sangat tidak benar". Ketua MPR dan pemimpin PAN (Partai Amanat Nasional) Amien Rais meledek CIA, yang konon mulai kehilangan kepercayaan rakyat Amerika. Lantas, beliau "meminta seluruh komponen masyarakat Indonesia agar tidak usah menghabiskan energi menanggapi tudingan CIA bahwa Indonesia merupakan sarang teroris". Komaruddin Hidayat dari Yayasan Paramadina menyesal sikap pemerintahan Megawati, yang tidak bersedia membela warga negaranya yang dituduh subversif oleh Time. Yang paling mengejutkan, Ketua Muhammadiyah Syafi'i Maarif, yang terkenal berimbang dalam komentarnya, bertutur bahwa "munculnya tuduhan Indonesia sarang teroris menunjukkan bahwa selama ini AS selalu ingin mencampuri urusan dalam negeri Indonesia". Dari semua pendapat yang saya baca, hanya Hasyim Muzadi dari NU yang tidak ikut arus ini. Kenapa tokoh Islam moderat tidak memanfaatkan kesempatan emas yang mereka dapat untuk memisahkan diri dari kaum ekstremis? Pertanyaan ini harus didekati dari segi kalkulasi politik, bukan dari segi cita-cita atau nilai-nilai murni. Mereka bukan politisi naif, yang betul-betul percaya pemerintah Amerika bersikap anti-Islam. Lagi pula mereka memaklumi bahwa citra Islam, di dalam dan di luar negeri, sedang dirusakkan oleh kegiatan para aktivis garis keras. Karena itu, sementara ini saya simpulkan bahwa kalkulasi mereka, sebagai pemain yang langsung terlibat, berbeda dengan perhitungan saya sebagai pengamat di menara gading.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus