Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah harus segera membenahi regulasi sektor properti untuk meningkatkan pelindungan terhadap konsumen. Persoalan bisnis Lippo Group di megaproyek Meikarta, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, menjadi alarm lanjutan tentang adanya bom waktu di bidang usaha ini yang mengancam hak pembeli.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kelanjutan pembangunan kompleks apartemen dan perkantoran senilai Rp 278 triliun itu tersendat setelah dihantam beragam masalah antara Lippo, investor asing, kontraktor, dan penyedia jasa pemasaran. Keresahan pembeli unit Meikarta pun bermunculan di jejaring media sosial. Mereka ragu Lippo akan memenuhi janji serah-terima unit pada akhir tahun ini. Sebagian yang kadung meneken akad kredit bank mulai menawarkan unitnya kepada orang lain dengan skema pengalihan kredit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Problem serupa dialami banyak konsumen properti di proyek lain. Di tengah data penjualan rumah yang meningkat, kasus kerugian konsumen juga melonjak. Dalam lima bulan terakhir, sebanyak 207 laporan dari total 237 pengaduan yang diterima Badan Perlindungan Konsumen Nasional berasal dari konsumen properti. Angka ini tiga kali lipat dari laporan tahun lalu.
Menyumbang 7,3 persen kepada total produk domestik bruto tahun lalu, sektor perumahan justru paling rawan merugikan pembeli. Hingga kini, tak ada regulasi terintegrasi untuk melindungi konsumen di bisnis yang kompleks ini. Dalam bidang usaha ini, pengembang biasa menggandeng investor-jamak pula berupa utang. Mereka juga berhubungan dagang dengan pemilik lahan, vendor konstruksi dan pemasaran, hingga terakhir menjual produknya. Kajian Bank Indonesia menunjukkan tiga dari empat pembeli rumah membayar dengan fasilitas kredit perbankan.
Pembeli rumah susun atau apartemen menjadi konsumen yang paling tak terlindungi. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun hingga kini tak memiliki aturan pelaksanaan. Sejumlah ketentuan masih merujuk ke aturan era Orde Baru. Perjanjian pengikatan jual-beli, misalnya, berpedoman pada peraturan Menteri Perumahan Rakyat zaman Menteri Akbar Tandjung tahun 1994.
Aturan itu juga membolehkan penjualan sebelum pembangunan proyek, seperti lazim dilakukan pada bisnis apartemen, yang bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Sejumlah persyaratan memang harus dipenuhi pengembang. Tapi, lagi-lagi, pengembang mudah menerabasnya lantaran pengawasan oleh pemerintah daerah tak dilengkapi aturan teknis.
Berada di hilir bisnis properti, pembeli juga menjadi pihak yang paling lemah jika terjadi sengketa usaha antara pengembang dan investor atau para vendor. Perselisihan bisnis kerap berakhir lewat hukum kepailitan. Dalam proses ini, konsumen berada di urutan terakhir pengembalian kerugian.
Bahkan, ketika pembeli telah menempati rumah dan melunasi cicilannya, potensi merugi bukan tak ada lagi. Sebanyak 197 penghuni perumahan Violet Garden, Bekasi, misalnya, masih terancam tak mendapat sertifikat hunian mereka meski telah melunasi kredit dari bank. Sertifikat mereka ternyata menjadi jaminan fidusia utang macet pengembang di bank lain. Kredit kepada konsumen tetap mengalir karena syarat teknis penyaluran kredit pemilikan rumah diserahkan kepada kebijakan internal perbankan. Otoritas Jasa Keuangan mesti segera membuat aturan bakunya.
Regulasi sektor properti harus diperkuat untuk mencegah dampak yang lebih buruk. Ketidakpastian hukum bagi konsumen bukan tak mungkin memukul balik bisnis perumahan, yang kini tertekan suku bunga tinggi. Lebih dari itu, pengabaian terhadap pelindungan konsumen di sektor ini merupakan bentuk pelanggaran terhadap konstitusi, yang menjamin salah satu hak setiap warga negara: bertempat tinggal.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo