Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengamat Politik, Guru Besar pada Universitas Melbourne, Australia
Pada saat ini, mantan presiden Soeharto dituntut karena dianggap melakukan korupsi. Di samping itu, ada suara-suara yang juga ingin mengadili Soeharto karena berbagai pembunuhan politik yang terjadi selama dia berkuasa, seperti yang terjadi di Cile ketika negeri itu dikendalikan oleh mantan presiden Augusto Pinochet. Kemudian, Soeharto juga berhasil membangun sistem dan kelembagaan politik tempat dia menjadi paku stabilitasnya, sehingga kalau paku ini dicabut, seluruh sistem bisa porak-poranda. Tapi "prestasi" Soeharto bukan itu saja. Dia juga membuat sebuah "sekolah" yang berhasil membuat para politisi kita yang sekarang, termasuk yang beroposisi dengan pemerintah, tidak mampu melakukan perubahan.
Sebenarnya, reformasi total akan segera terjadi kalau sekiranya kelompok oposisi bisa bersatu. Bayangkan, kalau mahasiswa yang militan pada bulan Mei mendapatkan dukungan penuh dari Gus Dur, Megawati, dan Amien Rais (Kelompok Ciganjur). Sukar dibayangkan Habibie bisa bertahan sebagai presiden dan ABRI akan menembaki mahasiswa. Kemungkinan besar ABRI juga akan bergabung dengan kekuatan reformasi karena alternatif untuk menembaki jutaan rakyat merupakan hal yang tidak mungkin bisa dilakukan. Maka, sebuah pemerintah yang benar-benar baru, yang didukung oleh rakyat, bisa terbentuk.
Namun, kedua kekuatan ini, meski sama-sama menginginkan reformasi, tidak terjadi. Bahkan akhir-akhir kian jelas bahwa kedua kekuatan ini makin saling bertentangan. Gus Dur, dalam wawancara dengan Radio Nederland tanggal 17 Desember yang lalu, menuduh mahasiswa memperoleh uang US$ 300 ribu dari CIA. Pada saat Soeharto dituntut untuk diadili, Gus Dur pada tanggal 19 Desember yang lalu menemuinya dan mengajak Pak Harto melakukan rujuk nasional. Mengapa semua ini bisa terjadi?
Pertama, seperti pernah saya katakan dalam salah satu tulisan saya dulu, Kelompok Ciganjur seluruhnya terdiri dari tokoh-tokoh pemimpin yang memperoleh kepemimpinannya melalui proses "dari atas." Mereka bukan aktivis yang biasa bekerja dengan massa di bawah dan kemudian naik menjadi pemimpin ke atas. Gus Dur dan Mega memperolehnya melalui jalur keluarga, sedangkan Amien Rais adalah tokoh akademis yang mula-mula berusaha bekerja sama dengan pemerintah, dan baru menjadi tokoh pemimpin setelah Soeharto mencampakkannya ke luar sistem. Dalam hal sejarahnya menjadi pemimpin, memang ada persamaan yang kuat antara Gus Dur dan Mega, dan juga antara Amien Rais dan Megawati. Karena itu, mudah dipahami mengapa kelompok ini sangat takut dengan aksi massa dan selalu merasa lebih dekat dengan kekuasaan yang ada.
Kelompok mahasiswa mempunyai latar belakang yang sangat berlainan. Mereka muncul dan tumbuh di lapangan. Kata orang, mahasiswa yang sekarang merupakan hasil dari generasi "tawuran" ketika mereka masih di SLTA dulu. Saya pernah mendengar cerita tentang bagaimana mahasiswa setelah bentrok dengan aparat ABRI, bukannya takut, bahkan berkata, "Besok kita lawan lagi aparat. Asyiiik!" Mereka tampak bangga. Kalau dulu mereka berkelahi melawan murid-murid SLTA lain, sekarang mereka berkelahi untuk "mereformasi bangsa dan negara." Tidakkah ini jauh lebih terhormat dan membanggakan? (Ini bukan sesuatu yang luar biasa dan memalukan. Para ahli sejarah banyak menulis batas yang kabur antara para kriminal dan pahlawan dalam sebuah revolusi, termasuk revolusi kemerdekaan kita. Film Naga Bonar bukanlah kisah khayali.)
Kedua, tokoh-tokoh Kelompok Ciganjur mendapatkan pendidikan politik di bawah sebuah pemerintahan yang kuat dan represif. Di bawah sistem seperti ini, seseorang sudah bisa dikatakan seorang pemimpin yang hebat ketika dia berani melakukan kritik terhadap pemerintah. Nama Sri Bintang Pamungkas segera mencuat ketika pada saat pemerintahan represif masih sangat kuat, dia berani mendirikan PUDI dan menyatakan bahwa PUDI-nya adalah partai oposisi yang program utamanya adalah menggantikan pemerintah yang ada. Bintang mengatakan pada waktu itu, untuk apa kita beroposisi kalau kita tidak merasa lebih baik dan karena itu mau mengganti pemerintah? Sulit dibayangkan bahwa tokoh-tokoh Ciganjur berani melakukan hal tersebut pada waktu itu. Dan, memang, akibatnya, Bintang ditangkap dan harus mendekam di penjara bersama para tokoh PRD yang dalam melakukan oposisinya bertindak jauh lebih radikal lagi.
Melalui penangkapan seperti itulah, Soeharto melakukan "pendidikan" politiknya. Pesannya cukup jelas: oposisi (kata ini dilarang ketika itu) hanya berarti melakukan kritik secara sopan, ("tepo sliro") kepada pemerintah. Jangan pernah memakai istilah "menggantikan pemerintah" ke dalam kamus kita karena ini berarti sudah melakukan makar dan pemberontakan. Inilah yang diajarkan dalam "Sekolah Orde Baru"-nya Soeharto.
Pesan ini tampaknya dicamkan benar dan mengendap di hati sanubari para tokoh Ciganjur, yang sekarang mendapat tugas sejarah untuk menjadi pemimpin bangsa ini. Tidak pernah ada dalam kamus mereka istilah mengganti pemerintah, meskipun sudah sangat jelas bahwa pemerintah yang berkuasa sekarang merupakan hasil dari sebuah pemilihan umum yang melanggar konstitusi dan undang-undang. (Bukankah Soeharto belum mengembalikan mandatnya kepada MPR, bukankah Habibie belum ditunjuk oleh MPR untuk menjadi mandataris?)
Para mahasiswa tidak pernah masuk "Sekolah Orba". Karena itu, cara berpikir mereka sangat sederhana: kalau pemerintah yang sekarang salah, ganti saja. Titik. Bukti-bukti sudah jelas: pemerintah yang sekarang plus DPR/MPR merupakan hasil pemilihan umum yang dimanipulasi, baik undang-undangnya maupun pelaksanaannya. Kebanyakan personel pemerintah yang sekarang, termasuk presidennya, terlibat dalam praktek KKN, dan sebagainya. Jadi, tunggu apa lagi?
Maka, menjadi jelas bahwa "Sekolah Orba" telah berhasil. Tampaknya, para alumni sekolah ini masih tetap setia kepada buku-buku teks yang mereka pelajari dulu. Inilah yang sedang terjadi pada para tokoh Ciganjur.
Yang sangat ironis adalah, keleluasaan yang sekarang sedang dinikmati para tokoh Ciganjur merupakan hasil dan andil besar perjuangan mahasiswa. Sampai sekarang pun para mahasiswa, sendirian, masih terus berjuang meski tidak mendapat dukungan dari tokoh-tokoh Ciganjur. Padahal, kalau perjuangan ini menghasilkan sebuah sistem politik yang lebih demokratis, yang paling diuntungkan adalah para politisi dari Ciganjur itu juga. Mahasiswa praktis tidak akan mendapatkan apa-apa. Mereka tidak akan menjadi anggota parlemen, apalagi presiden.
Ketika Markas PDI Megawati diserang pada 1996, adalah kelompok PRD yang paling gigih membela. Hasilnya, pimpinan teras mereka sekarang masih tetap ada di penjara. Pimpinan PDI Perjuangan, khususnya Megawati, tidak pernah memperjuangkan pelepasan mereka, tidak pernah mengunjungi mereka di penjara, bahkan tidak pernah menyatakan terima kasihnya. Ini pun merupakan hasil dari "Sekolah Orba" yang mengajarkan supaya kita tidak berhubungan dengan kelompok radikal, apalagi yang dianggap berbau komunis. Terlepas dari apakah kita setuju atau tidak dengan sikap politik PRD yang radikal, sulit disangkal bahwa mereka juga merupakan salah satu unsur yang memungkinkan terjadinya perubahan yang sekarang ini.
Pada saat ini, tampaknya para mahasiswa pun harus melakukan reposisi terhadap peran mereka. Mereka adalah kekuatan pendobrak, dan tugas ini sudah mereka lakukan dengan sangat baik. Namun sekarang mereka sadar, sesudah pendobrakan, "pasukan teritorial" yang diharapkan mengambil alih untuk melanjutkan perjuangan mereka tidak ada di tempat. Kini mereka ada dalam sebuah dilema yang serius. Kalau mereka terus beranggapan bahwa tugas mereka hanya untuk mendobrak, saya khawatir mereka akan jadi terlalu lelah dan apa yang mereka capai menjadi sia-sia. Tapi sulit juga diharapkan mereka akan mengubah diri menjadi "pasukan teritorial" karena untuk ini mereka harus membuat sebuah organisasi politik yang membutuhkan pembiayaan, dan mereka harus menjadi politisi profesional. Mereka tidak bisa sekadar menjadi kekuatan moral karena perjuangan kekuatan moral didasarkan pada asumsi bahwa setelah bola digelindingkan, ada pemain-pemain lain yang bisa memainkan bola ini untuk digolkan ke gawang lawan.
Inilah keadaan kita sekarang. Sebagai alumni dari "Sekolah Orba," para pemain politik kita lebih merasa akrab bekerja dengan pemerintah ketimbang dengan kekuatan massa di bawah. Untuk ini, barangkali kita perlu mencatat keberhasilan sekolah ini dalam rapor politik Soeharto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo