Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti LIPI, doktor sejarah dari Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales, Paris
Misteri tampaknya merupakan hal yang merangsang sekaligus menggemaskan dalam sejarah Indonesia. Dalam hal ini sejarah peristiwa (histoire evnmentielle), terutama yang berhubungan dengan tokoh nasional. Sejarawan akan selalu memiliki keingintahuan terhadap sesuatu di balik berita. Namun kekecewaan akan timbul karena ternyata suatu peristiwa, misalnya sidang pengadilan, hanya berakhir tanpa menyeret sang dalang kejahatan.
Soekarno-Soeharto
Misteri ini menyangkut para tokoh nasional dari zaman perjuangan kemerdekaan sampai sekarang, dari Soekarno sampai Prabowo. Rosihan Anwar menulis bahwa Soekarno pernah meminta ampun kepada penjajah Belanda dalam suratnya tanggal 30 Agustus, 7, 21, dan 28 September 1933, kepada Jaksa Agung Hindia Belanda. Mr. Mohammad Roem meragukan pernyataan itu karena naskah yang ada pada arsip Belanda itu hanya berupa salinan, tidak ada surat aslinya. Polemik itu hanya berakhir sampai di situ saja. Kemudian, setelah kemerdekaan, terjadi penggranatan di Cikini untuk membunuh Soekarno. Orang bisa menduga-duga tokoh atau instansi di balik peristiwa tersebut, tapi secara formal kita tidak mampu menetapkan siapa pelaku utama peristiwa tersebut, sebagaimana halnya dengan peristiwa pembakaran Senen, Januari 1974. Rangkaian ketidaktahuan ini akan bertambah panjang bila kita memasukkan berbagai peristiwa kerusuhan yang terjadi belakangan ini, seperti Trisakti, Semanggi, Banyuwangi, Ketapang, dan seterusnya.
Ada berbagai versi tentang peristiwa 30 September 1965. Siapa dalang sesungguhnya dari tragedi nasional tersebut? PKI atau oknumnya, klik Angkatan Darat, ClA, Inggris (kemudian ditambah dengan Jepang dan RRC), Soekarno, atau Soeharto? Atau, kombinasi dari semua itu? Pertanyaan seorang pelajar kepada guru sejarahnya, apakah Soekarno terlibat G30S, juga tak pernah bisa dijawab dengan memuaskan.
Soeharto sendiri juga menyimpan banyak misteri. Yang jelas, ia adalah orang yang sangat pandai membuat alibi. Itu terlihat dalam peristiwa 30 September 1965, 11 Maret 1966, bahkan dalam kerusuhan massal Mei 1998 (saat itu ia berada di Kairo, Mesir). Misteri Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) belum terpecahkan sampai sekarang. Apakah surat perintah itu betul-betul ada? Yang jelas, sampai hari ini naskah aslinya belum ada pada Arsip Nasional. Padahal, dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1971 tentang ketentuan-ketentuan pokok kearsipan, Pasal 11, tercantum "Barangsiapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum memiliki arsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf "a" undang-undang ini, dapat dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun". Kita tentu menduga orang yang diberi tugas itulah yang menyimpan surat penting itu dengan hati-hati.
Soemitro-Prabowo
Pada level di bawah kedua pemimpin negara tersebut, juga dijumpai banyak misteri, seperti halnya pada Soemitro Djojohadikusumo dan putranya, Prabowo Subianto. Dari sumber Prancis, saya membaca kisah menarik tentang Soemitro, yang berkelana ke mancanegara sejak masa mudanya. Tahun 1938, pada usia 21 tahun, Soemitro Djojohadikusumo masih mahasiswa dan anggota Partai Sosialis, bekerja sebagai waiter di Hotel Lancaster, Rue de Berry, di dekat des Champ Elyses, Paris, untuk membiayai kuliahnya. Di Paris ia berkenalan dengan Andre Malreaux --penulis Prancis terkenal--dalam suatu pertemuan untuk mengumpulkan dana bagi perjuangan kaum republikan Spanyol menentang Jenderal Franco. Malraux--berusia 37 tahun--adalah pengarang yang menjadi idola pemuda masa itu. Ia memimpin skuadron pertempuran di Tolido dan Madrid, melakukan operasi penerbangan tidak kurang dari 60 kali, dan beberapa kali terluka.
Tahun sebelumnya, Soemitro berusaha masuk Brigade Internasional berkat jasa temannya, Jef Last, penulis sosialis radikal Belanda. Setelah melakukan latihan di Catalogne, ia dikeluarkan karena usianya masih 20 tahun.
Tentang Andre Malraux, Soemitro sangat kagum pada harmoni absolut antara ide-ide tulisan dan kehidupannya sebagai homme d?action, dalam berbagai periode kehidupannya di Indocina atau di Cina (yang melahirkan roman La Condition Humaine yang mendapat penghargaan sastra prestisius Le Prix Goncourt, 1933), sebagai pemuda militan tahun 1920-an dan awal 1930-an, selanjutnya dalam perang saudara di Spanyol, kemudian dalam peperangan melawan tentara pendudukan Jerman, akhirnya menjadi anggota kabinet Jendral de Gaulle (Menteri Informasi tahun 1945 dan Menteri Kebudayaan tahun 1959). Ada prinsip penting yang dipelajarinya dari Malraux, bahwa nilai yang sesungguhnya dari sebuah ide hanya bisa dibuktikan oleh action yang mengikutinya. Filsuf, penulis, dan homme d'action Prancis ini mengajarkan juga kepada kita tentang style, yang menjadi estetika dari action tersebut. Aspek fundamental yang diakui Soemitro mempengaruhi jalan hidupnya adalah jawaban terhadap pertanyaan tentang esensi kehidupan kita, yakni nilai esensial dari kehidupan manusiawi adalah martabat manusia dan keadilan sosial. Untuk menegakkan keduanya, dibutuhkan pelaku yang terlibat (homme engage)
Soemitro juga mengutip pernyataan Malraux dalam Discours aux Ecrivains (1935) "La civilisation, c'est de mettre de la force des hommes au service de leurs reves. Ce n?est pas de mettre leurs reves au service de la force." Peradaban berarti menggerakkan kekuatan manusia untuk mewujudkan mimpi-mimpinya, bukan bermimpi untuk mendapatkan kekuatan.
Untuk mewujudkan mimpinya itulah Soemitro kembali ke Indonesia. Ia menjadi anggota delegasi Indonesia ke KMB di Denhaag, Desember 1949. Menurut Jeorge Kahin, KMB telah membebani Indonesia utang yang sangat besar kepada Belanda. Namun jumlah ini akan lebih besar lagi bila Profesor Soemitro tidak berhasil menyampaikan argumen untuk mengurangi tuntutan Belanda.
Sebagai aktivis Partai Sosialis, antara 1950 dan 1956 ia tiga kali menjadi menteri kabinet. Kemudian, pecah peristiwa PRRI dan Permesta. Dalam buku Audrey Kahin dan Georg Kahine(1997), terlihat perannya sebagai contact person antara pihak PRRI/Permesta dan CIA. Menurut penuturan seorang sejarawan, peran Soemitro sebetulnya lebih dari itu. Apakah berarti ia pernah direkrut oleh CIA? Itu perlu dibuktikan lewat dokumen yang ada di AS. Pada masa akhir Orde Lama, ia menyingkir ke luar negeri dan baru kembali ke Indonesia setelah pemerintah Orde Baru mulai membenahi perekonomian nasional. Apa saja kegiatannya di mancanegara masa itu, hal ini belum terungkap banyak.
Putranya, Prabowo, juga banyak menyimpan misteri. Kita belum tahu persis, sampai sejauh mana keterlibatannya dalam kerusuhan Mei lalu, termasuk dalam peristiwa Trisakti. Belakangan ini, ia dihebohkan karena diberi kewarganegaraan kehormatan oleh Yordania. Pemberian itu konon dikaitkan dengan penghargaan kepada Prabowo yang telah melatih tentara Yordania. Jika hal ini benar, tentu menjadi pertanyaan, pelatihan itu diberikan setelah Prabowo pensiun atau semasa ia menjadi Komandan Kopassus? Jika benar yang terakhir, ini tentu tidak jadi masalah. Saya pernah bertemu orang Kamboja yang pernah dilatih oleh pasukan khusus Indonesia, di Paris dan Pnompenh. Prabowo telah membantah bahwa ia menerima kewarganegaraan asing, tapi kepala desk politik harian Ar Ra'i mengatakan bahwa, "Kerajaan Yordania tidak akan memberi status warga negara kalau tidak diminta." Misteri ini belum terpecahkan, dan tampaknya sejarah Indonesia masih akan banyak bolong-bolong semacam ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo