Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Pemerintah pontang-panting mengatur hajat hidup rakyat banyak.
Kisruh elpiji 3 kilogram menunjukkan komunikasi para menteri Prabowo amburadul.
Pemerintah sudah lama kehabisan akal mengerem subsidi gas melon.
BANYAK hal yang muncul secara tak terduga dari hebohnya keberadaan elpiji 3 kilogram yang umum disebut gas melon—karena tabungnya menyerupai buah melon. Pertanyaan besar di awal adalah kenapa pemerintah sengawur begini dalam mengatur hajat hidup rakyat banyak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gas melon dilarang dijual di warung pengecer yang dekat dengan permukiman. Gas hanya boleh dijual di agen pangkalan resmi yang sudah ditunjuk pemerintah. Agen pangkalan itu belum tentu ada di setiap desa atau kelurahan. Jadi semua orang berpusat ke sana. Terjadilah antrean berjam-jam, saat panas dan hujan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia menjadi bulan-bulanan hujatan karena kebijakan ini. Namun pihak Kantor Komunikasi Presiden, yang secara formal adalah juru bicara Istana, juga dikecam karena mendukung langkah Bahlil. Padahal Presiden Prabowo Subianto mengembalikan mekanisme tata niaga elpiji 3 kg itu ke pengecer pada malam harinya.
Prabowo mengumumkan hal itu lewat Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Sufmi Dasco Ahmad. Apa yang terkuak di sini? Kantor Komunikasi Presiden secara nyata tak mempunyai akses ke Presiden. Bagaimana lembaga ini memposisikan dirinya sebagai juru bicara Istana? Bahwa Prabowo lebih dekat dengan Dasco tentu saja dalam kaitan kepartaian. Dasco adalah Ketua Harian Partai Gerindra.
Amburadulnya komunikasi pemerintah masih berlanjut setelah itu. Menteri ESDM kemudian meralat. Semua pengecer elpiji 3 kg ditingkatkan statusnya sebagai agen pangkalan. Tentu mendaftar dengan sejumlah persyaratan. Misalnya, permodalan, badan hukum, punya nomor pokok wajib pajak serta gudang, dan seterusnya.
Sementara itu, warung pengecer elpiji selama ini adalah warung kecil yang menjual segala kebutuhan pokok. Gas yang mereka jual hanyalah “titipan agen”, paling banyak 10 tabung, dengan margin keuntungan cuma Rp 2.000 per tabung. Anehnya, Pertamina mengumumkan tak ada pendaftaran seribet itu untuk menjadi agen gas melon. Informasi mana yang benar? Amburadul.
Adakah hal baik yang semestinya dijadikan pelajaran dari kasus ini dibanding menghujat Bahlil secara sadis dan brutal? Inilah saat yang tepat bagi pemerintah untuk mengurangi subsidi gas melon yang terus membengkak dan menggerogoti anggaran tiap tahun.
Pemerintah sudah lama kehabisan akal bagaimana mengerem subsidi gas melon ini. Berbagai cara sudah ditempuh, termasuk menyindir orang-orang kaya agar tidak memakai gas bersubsidi. Di tabung gas melon itu diberi tulisan “Hanya untuk Masyarakat Miskin”, dengan harapan kaum yang berkecukupan merasa malu memakai hak orang miskin. Sindiran yang bagus.
Sayangnya, bangsa ini sudah lama kehilangan martabat dan tak mempan lagi disindir seperti itu. Bangsa yang mulai gemar memaki, menghujat, dan bicara tanpa sopan santun ini, ditambah teladan yang minim dari para pemuka masyarakat, cuek terhadap imbauan untuk berbagi dalam hal kehidupan sosial. Yang penting ada kesempatan, diembat. “Ada gas melon yang murah, untuk apa membeli yang lebih mahal?”
Pertamina menyalurkan gas melon bersubsidi dengan harga Rp 12.750 per tabung atau Rp 4.250 per kg. Harga ini tak berubah sejak 2008. Di pangkalan, harga eceran tertinggi (HET) ditetapkan pemerintah daerah dengan pertimbangan transportasi.
Lalu agen pangkalan menyerahkan ke warung pengecer. Dengan mencari keuntungan Rp 1.000 atau Rp 2.000, warung menjualnya Rp 19 ribu sampai Rp 21 ribu. Inilah yang dianggap Bahlil terlalu mahal sampai di masyarakat sehingga tata niaga gas melon perlu ditinjau.
Tapi kenapa warung pengecer yang menjadi korban? Bukankah HET di pangkalan terlalu tinggi sampai batas Rp 18 ribu per tabung? Keuntungan agen pangkalan sangat besar sampai Rp 5.250 per tabung.
Pemerintah seharusnya memangkas keuntungan agen pangkalan dengan menurunkan HET. Atau mumpung masyarakat sudah terbiasa—dan tak mengeluh—dengan harga gas melon Rp 21-22 ribu, pemerintah bisa menaikkan harga subsidi sampai Rp 15 ribu per tabung tanpa menaikkan HET di pangkalan. Lumayan mengurangi subsidi.
Tentu tetap menerapkan pengetatan, seperti pembelian dengan menunjukkan kartu tanda penduduk, meskipun ini tak menjamin akan menutup celah pengoplosan gas melon ke tabung nonsubsdi.
Maklum, harga elpiji nonsubsidi dianggap kelewat mahal sampai Rp 192 ribu per tabung isi 12 kg. Juga sulit mengimbau orang kaya untuk beralih ke gas nonsubsidi di tengah krisis kepercayaan yang amburadul. Perlu terobosan tanpa menyusahkan rakyat.
Apa perlu razia ke dapur-dapur rumah gedongan? ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo