Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Amuk yang Sia-sia

Tak satu pun diuntungkan oleh kerusuhan di Jakarta pada 22 Mei lalu.

26 Mei 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Amuk yang Sia-sia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nama baik Prabowo Subianto tercoreng karena dinilai tak bisa mengendalikan massa yang menaruh harapan di pundaknya. Presiden Joko Widodo jelas terusik karena hari-hari pertama setelah penetapannya sebagai pemenang pemilihan umum diwarnai amuk massa.

Pertunjukan kekerasan yang terjadi sepanjang malam di depan kantor Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat, lalu merembet ke Petamburan dan Slipi, Jakarta Barat, membawa kerugian untuk semua orang tanpa kecuali. Delapan warga ditengarai tewas dan ratusan lainnya luka-luka. Puluhan jurnalis dipukul saat bekerja. Penggunaan media sosial dibatasi. Pelaku usaha di Jakarta dilaporkan menderita kerugian hampir Rp 1,5 triliun karena tak bisa beroperasi beberapa hari.

Kerugian juga menimpa mereka yang berhadapan di lapangan. Kepolisian Republik Indonesia harus bekerja keras memulihkan kepercayaan publik karena anggotanya dituding bertindak brutal. Pengunjuk rasa dari kubu pendukung Prabowo-Sandiaga dirugikan karena aspirasinya memprotes kecurangan pemilu kini tak lagi kredibel. Di mata banyak orang, akibat amuk itu, substansi unjuk rasa mereka kini tak lebih dari umbaran kebencian yang membabi-buta.

Setelah puing-puing kerusuhan dibersihkan dan keamanan dipulihkan, para elite politik harus bertanya kepada diri sendiri: mengapa kerusuhan itu sampai bisa terjadi? Citra positif demokrasi kita yang sudah dibangun dua dekade sejak momen reformasi 1998 kini porak-poranda akibat sikap kekanak-kanakan tak bisa menerima kekalahan.

Apa yang terjadi pada 22 Mei dinihari hingga tengah malam bukanlah kejutan yang tak bisa diantisipasi. Akarnya bisa dilacak sejak pemilihan umum demokratis pertama yang kita selenggarakan pada 1999. Ketika itu, meski partainya menang pemilu, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri tak terpilih sebagai presiden dalam voting di Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sehari kemudian, ribuan pendukungnya di Bali membakar bangunan dan menebang pepohonan untuk memblokade jalan-jalan utama.

Pada pemilu berikutnya, 2004, setelah dipastikan gagal mempertahankan kursinya, Megawati menolak berbicara dengan politikus yang mengalahkannya, Susilo Bambang Yudhoyono, hingga saat ini. Pada 2014, giliran Prabowo yang kalah. Lagi-lagi dia tak langsung mengucapkan selamat kepada pemenangnya, Joko Widodo. Seperti sekarang, dia justru mengklaim kemenangan sebelum dinyatakan kalah di Mahkamah Konstitusi. Dengan kata lain, para elite belum dewasa menerima kekalahan.

Ketidakmatangan budaya politik inilah yang membuat massa di akar rumput mudah terbakar. Elite politik kita tampak enteng saja melempar retorika yang panas, tanpa mempertimbangkan akibatnya terhadap psikologi massa pendukung. Stigma “komunis”, “musuh Islam”, dan “teroris” dilekatkan seenaknya pada mereka yang berseberangan. Setelah kerusuhan menjalar dan korban berjatuhan, alih-alih memadamkan api, mereka umumnya malah lepas tangan. Amien Rais, yang semula mengancam akan menggelar people power, setelah rusuh merevisi seruannya itu dengan mengatakan “people power enteng-entengan yang bukan untuk menjatuhkan presiden”.

Elite politik hendaknya berhenti bermuka dua. Ucapan mereka di hadapan pendukungnya harus konsisten dengan pernyataan publik yang mereka sampaikan. Jika Prabowo dan Jokowi memang benar berkawan baik seperti klaim mereka berkali-kali, tentu tak sulit bagi keduanya untuk bertemu dan berangkulan buat menenangkan massa yang bergejolak.

Apalagi politik pada dasarnya adalah seni mengelola berbagai kemungkinan. Untuk itu, dibutuhkan kemampuan bernegosiasi, bersiasat, berkompromi. Konfrontasi bakal tak terelakkan jika negara kita terpolarisasi dalam dua kubu yang bertentangan tanpa ruang dialog yang sehat. Sejak awal berkompetisi politik, semua calon presiden seharusnya siap kalah.

Keputusan Prabowo untuk mempersoalkan kekalahannya ke Mahkamah Konstitusi layak diapresiasi. Tugas publik memastikan para hakim bertindak adil, tanpa tekanan dari siapa pun.

Setelah kerusuhan mereda, semua yang bertanggung jawab harus diperiksa. Baik para perusuh yang melempar batu di jalanan, polisi yang bertindak brutal, maupun penyebar hoaks dan kebencian, semua harus diusut. Indikasi keterlibatan sejumlah pensiunan tentara, seperti disebut polisi, harus dibuka di pengadilan. Pelbagai indikasi kejahatan yang dilakukan mereka tidak boleh diselesaikan di bawah meja.

Dalam beberapa bulan ke depan, kita akan menyaksikan apakah pemerintah serius menegakkan hukum. Pengusutan perkara demo 22 Mei tidak boleh (diam-diam) dihentikan—dengan alasan apa pun, termasuk tawar-menawar politik atas nama stabilitas dan pembangunan yang tak boleh diganggu gaduh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus