Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ikhtiar pemerintah memerangi disinformasi demi menyetop eskalasi kerusuhan patut didukung. Bahaya kabar kibul, fitnah, dan hasutan di jagat maya memang tak bisa disepelekan. Hanya, pembatasan komunikasi di media sosial tak boleh dilakukan secara gegabah.
Kebijakan membatasi komunikasi lewat media sosial itu diterapkan pada Rabu, 22 Mei lalu. Pengguna media sosial dan aplikasi percakapan—seperti WhatsApp, Facebook, Instagram, Twitter, dan Line—di Indonesia tak leluasa lagi berbagi informasi. Pembatasan itu dilakukan demi meredam penyebaran konten provokatif setelah demonstrasi menolak hasil pemilihan presiden di Ibu Kota yang berujung rusuh.
Semula pemerintah hanya membatasi pengiriman foto dan video. Faktanya, pesan teks pun sempat terganggu. Situs pemantau NetBlocks mencatat, pada 22 Mei lalu, pelayanan Internet sejumlah operator sempat tak bisa diakses selama beberapa jam. Lalu lintas informasi di media sosial pun tercekik.
Kebijakan darurat itu memang belum ada presedennya. Di tengah situasi sosial-politik yang genting, tindakan cepat untuk membendung kabar bohong memang pantas dilakukan. Disinformasi bisa merongrong demokrasi, memicu konflik horizontal, dan memperparah krisis diplomasi di banyak negara. Di Myanmar, misalnya, disinformasi punya andil dalam kejahatan persekusi atas etnis Rohingya. Disinformasi juga merusak kualitas pemilihan presiden di negara seperti Amerika Serikat.
Hanya, pemerintah sebaiknya menyiapkan peraturan yang lebih gamblang untuk mengatur media sosial dalam keadaan darurat. Selama ini, Kementerian Komunikasi dan Informatika hanya berpegang pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Sesuai dengan pasal 40 ayat 2 undang-undang ini, pemerintah berhak melindungi kepentingan umum dari penyalahgunaan informasi elektronik. Masalahnya, sampai saat ini, belum ada peraturan pemerintah untuk melaksanakan pembatasan itu.
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik—telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005—pun memberikan kewenangan kepada kepala negara untuk membatasi hak asasi dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa. Setelah situasinya berangsur pulih, pembatasan itu mesti segera dicabut.
Pembatasan komunikasi tak cuma harus bersifat sementara. Konten yang dibatasi pun perlu diatur secara jelas. Hanya konten yang benar-benar membahayakan publik yang boleh dibatasi. Misalnya konten provokatif yang bisa memancing orang berbuat anarkistis. Karena itu, tidak tepat bila pemerintah membatasi konten berdasarkan jenis atau formatnya, misalnya semua konten video dan foto. Bila begitu caranya, konten positif pun berpotensi terberangus.
Kita mesti tetap menyadari bahwa pembatasan informasi oleh pemerintah sebenarnya bukanlah cara ideal dalam negara demokrasi. Cara ini mengandaikan masyarakat tak mampu memilah informasi. Pendekatan model ini seyogianya hanya berlaku sementara, ketika tingkat literasi masyarakat masih rendah. Adapun dalam jangka panjang, pendidikan literasi digital bagi semua lapisan warga jauh lebih penting.
Kalaupun terpaksa melakukan pembatasan, negara seharusnya tidak menjadi pelaku tunggal. Negara perlu menggandeng media massa dan penyedia platform media sosial untuk menyaring informasi yang destruktif bagi masyarakat. Di samping lebih partisipatif, cara terakhir itu penting untuk memaksa penyedia platform media sosial lebih bertanggung jawab.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo