Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Artikel Tempo berjudul “Pelarian Pen-jara Salemba” meng-ulas kerusuhan yang menyita perhatian banyak orang tersebut. Peristiwa itu dipicu ulah sejumlah narapidana yang bereaksi atas pemukulan rekan mereka oleh sipir.
Minggu siang itu, sekitar pukul 12.00, sebuah keributan terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Salemba, Jakarta. Bambang Heru, seorang nara-pidana, ditampar petugas yang jengkel karena ia menolak membersihkan bangsal yang dihuninya bersama sejumlah napi lain. Heru, yang tak bisa menerima perlakuan itu, marah.
Heru yang divonis 18 tahun dan kini sedang dalam proses naik banding tersebut memang napi kelas kakap. Ia salah satu anggota gerombolan perampok yang menembak Lamria Simanjuntak-Simatupang di Jalan Kwini, Jakarta Pusat, tahun lalu, dan berhasil menyikat uang serta perhiasan yang bernilai Rp 1 miliar.
Membersihkan bangsal memang bukan kebiasaannya. Semua napi sebangsalnya senantiasa bersedia mengerjakan tugas itu. Pengaruh Heru sangat besar. Ia digelari macam-macam di lingkungan bangsalnya: bodyguard, voorman, sampai pengintai. Tak aneh bila kepalanya panas menerima tamparan itu.
Heru menggelar protes, dan suasana berkembang dengan cepat dalam bebera-pa menit. Ia berusaha menemui komandan jaga hari itu, Lutfi Dahlan, hendak me-laporkan kejadian tak enak tersebut. Dua lapis pintu bangsal dicongkelnya hingga terbuka. Lalu voorman itu memberi aba-aba. Dan bergeraklah rombongan anak buahnya menyusuri lorong.
Menyandang pisau—entah dari mana—Heru menghadap Lutfi. Komandan jaga itu, yang berada di ruang staf dengan seorang anak buahnya, terkejut melihat “massa” napi. Kepanikan pun merambat. Heru mengibaskan pisaunya, menyabet tangan kanan Lutfi, dan menggores pula tangan kanan anak buah Lutfi. Keadaan tak bisa dikontrol lagi. Pikiran yang ada di kepala para napi yang tadinya akan mengajukan protes itu cuma satu: lari.
Heru, sang pengintai, kembali mengambil prakarsa. Ia menemukan dua lapis gerbang dibiarkan tidak terkunci oleh petugas dan gerbang paling luar bisa dengan mudah dibuka. Jam menunjukkan pukul 12.30 ketika rombongan Heru minggat, di-ikuti para napi lain, yang sedang beristirahat di lapangan, yang tentu saja tak sempat berpikir panjang. Jumlah mereka total 32 orang.
Di mana penjaga saat itu, selain Lutfi dan anak buahnya yang sudah kena sabet? “Tidak jelas ke mana petugas siang itu,” kata Mayor Jenderal Purnawirawan Hudioro, Direktur Jenderal Pemasyarakatan Departemen Kehakiman. “Yang jelas, hanya ada satu orang yang sedang salat.” Padahal petugas jaga siang itu 14 orang—tercatat 12 masuk, 2 absen.
Lalu mengapa gerbang luar mudah dicongkel? “Ring pengunci lidah -engselnya sudah copot. Jadi digembok pun tidak ada gunanya,” ujar Hudioro. “Semua sudah mengaku berbuat salah,” kata Hudioro lagi tentang ke-12 petugas jaga, yang sebenar-nya punya tugas cukup berat menjaga sekitar 1.000 napi dan tahan-an di LP Salemba.
Keterangan lebih rinci tentang larinya para napi bisa didapatkan karena malamnya, Tony Firdiansyah, salah seorang napi yang kabur, diciduk di Jakarta Barat. Tony kebetulan bergabung dengan beberapa kawan Heru yang masuk gerombolan perampok Jalan Kwini—Supriyadi, Suparno, dan Rudy Syaranamual. Mereka mencegat taksi. Namun, tak jauh dari LP, Tony dipisahkan setelah diberi uang.
Kabur ramai-ramai siang itu memang seperti adegan film saja. Bukan hanya taksi, kendaraan umum lain juga dicegat para napi. Mereka menurunkan penumpangnya dan memaksa sopir tancap gas. Ada juga yang percaya pada otot kaki. Sementara itu, Lutfi dan anak buahnya yang tersisa baru muncul beberapa saat kemudian di mulut gerbang, melepaskan tembakan ke udara—terlambat.
Melihat peran Heru, sebuah sumber di Kepolisian RI menilai, kaburnya 32 napi sangat mungkin sudah direncanakan. Sebab, sumber itu mengungkapkan, ketika polisi mendatangi Tuti Murniati, istri Heru, segera setelah pentolan itu kabur, ia tak terkejut dan mengaku sudah tahu suaminya kabur.
Sumber itu juga mencurigai adanya pe-ran “orang dalam”. Khususnya karena di antara napi yang minggat ada Husni alias Yono, pengedar narkotik yang mungkin saja punya beking kuat, selain duit ba-nyak. “Di rumah tahanan kan disediakan revol-ver, mengapa tidak digunakan?” kata sumber itu kepada Tempo. “Silakan analisis sendiri keanehan-keanehan itu.”
Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi 1 Juni 1985. Dapatkan arsip digitalnya di:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo