ANAK pejabat itu berkata, "Saya seorang enterpreneur." Suaranya sopan: suara yang telah terbiasa dengan pergaulan yang rapi. Di balik T-shirt Polo Raplh Lauren warna merah terang, kulitnya bersih. Ada cambang tipis di pipinya yang lunak. Umurnya, saya taksir, belum lagi 30 tahun. Dia mengesankan sebagai pemuda yang baik, tapi saya tiba-tiba skeptis: Sudah pernahkah ia, dalam hidupnya, menerobos sesuatu? Memulai satu langkah usaha di jalanan panas, dengan kaki tanpa sepatu "K" yang kini dikenakannya dengan necis? Tentu saja, sikap saya adalah sikap kuno yang datang dari pengalaman lain. Saya telah terlalu percaya kepada sejumlah pepatah (misalnya, "bersakit-sakit dahulu ...."), terlalu percaya kepada dongeng Horatio Alger, terlalu terkesima kepada kisah Pandawa yang 13 tahun hidup bermukim di hutan. Saya ingat sejumlah teman segenerasi yang datang dari udik yang tak keruan. Ada yang jadi mandor di pelabuhan dan dari sana memulai bisnis lalu akhirnya kini jadi eksportir besar. Ada yang membuka hidupnya dengan menjadi penyabit rumput, atau pembantu tukang sate, atau pembantu toko kembang -- dan dari sana naik jadi kisah-kisah sukses yang mengesankan. Saya selalu merasa. merekalah juara hidup yang sebenarnya. Mereka biasa naik kendaraan umum yang seperti kandang ayam. Mereka biasa makan bersama tukang becak, dengan menu sayur tempe yang cair peyek ikan teri yang telah tiga hari selalu digoreng kembali. Mereka bisa menyelinap ke pasar loak -- dan menjual kumpulan buku dan baju bekas, buat membayar bon makan mereka. Mereka tak punya tempat merengek. Mereka malu untuk kembali mengetuk pintu rumah. Si bapak tak punya "koneksi". Tak ada per]akuan istimewa untuk dapat jabatan ataupun hak monopoli. Tapi (menurut sebuah pikiran saya yang tak orisinil) merekalah benih penting bagi masa seguyah kini: benih para jagoan Schumpeterian. Benih para entreprenuer yang sebenarnya -- sebuah kata yang telah diterjemahkan menjadi wiraswasta yang artinya berani bekerja dengan tangan dan kaki sendiri, meskipun tak selalu dengan uang tabungan sendiri. Pikiran saya memang sedikit kuno dan klise, bukan? Ia berasal dari setengah abad yang lalu, ketika Joseph Schumpeter menuliskan teori perkembangan ekonomi dan siklus bisnisnya tanpa bermaksud menyindir anak pejabat yang mana pun. Dia sendiri bukan tipe wiraswasta. Orang kelahiran Moravia ini juga anak pejabat: bapak tirinya seorang perwira tinggi Austro-Hungaria. Hampir seluruh hidupnya beredar di kalangan akademis. Tapi Schumpeter tahu tentang riwayat kehidupan ekonomi yang tak pernah mulus. Baginya perkembangan ekonomi tidaklah seperti yang ditampilkan kaum neo-klasik, yang membayangkan suatu proses yang bertahap serta harmonis. Tiba-tiba saja sebuah perekonomian yang ditopang oleh industri baja atau minyak bisa terguncang ekuilibriumnya, rontok, karena sejumlah penemuan baru terjadi, yang menyebabkan produk dan teknologi yang semula ada menjadi kolot. Suatu keadaan lesu pun berlangsung, hingga suatu penemuan baru nanti membantu membereskan puing-puing kerontokan industri yang sudah senjakala itu. 50 tahun setelah Schumpeter bicara, dan di sana-sini dikritik, lalu agak dilupakan, penemuan-penemuan baru terjadi dengan deras. Perubahan berlangsung cepat, makin cepat. "Di zaman sekarang orang bisa tersohor cuma selama 5 menit," kata mendiang Pelukis Andy Warhol, dan rasa-rasanya begitu pula seriap ekuilibrium. Masyarakat pun akhirnya memang harus punya sejumlah orang yang berani tampil menghadapi perubahan yang membawa ketidakpastian itu. Merekalah para entrepreneur. Mereka berani ambil risiko. Mereka bukan manajer, mereka bukan pemilik kekuasaan, mereka bukan pemilik uang. Bahkan rumus bisnis yang akhirnya berlaku adalah BO+DOL: Berani Optimistis plus Duit Orang Lain. Dalam visi Schumpeterian, suatu sistem perbankan yang menyediakan kredit merupakan elemen penting bagi kehidupan para wiraswasta yang selalu mengguncang maju perekonomian itu. Tapi Schumpeter pagi-pagi bilang "hati-hati". Kapitalisme akan macet, dan demikian pula gerak perkembangan ekonomi, pada saat entrepreneur kehilangan perannya. Misalnya ketika konsentrasi bisnis jadi begitu besar dan sang pemilik modal tak lagi hadir dan mempertaruhkan nasibnya. Di dalam bisnis yang seperti itu -- yang kini sudah mulai tampak di Indonesia -- yang berperan akhirnya para manajer, penerima gaji dan bonus, yang sering kali bila meloncat ke perusahaan lain bila angin sedang berubah. "Akhirnya", kata Schumpeter, "tak seorang pun yang tinggal yang benar-benar peduli untuk membela ..." Tak seorang pun? Kini saya tatap sekali lagi anak pejabat di depan saya itu. tapi ternyata dia segera pergi. Langkahnya kukuh. Tiba-tiba saya berharap dia memang seperti yang dikatakannya: seorang entrepreneur, bukan balon warna-warni. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini