Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Harapan publik untuk melihat perumusan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah DKI Jakarta 2018 yang bebas tawar-menawar politik tampaknya harus pupus. Proses penyusunan anggaran Jakarta hari-hari ini tampaknya gagal lepas dari perangkap pola transaksional seperti yang kerap kita saksikan di negeri ini.
Salah satu akar buruknya sistem penganggaran kita adalah tak tegasnya lembaga eksekutif dalam menolak berbagai permintaan tak masuk akal dari mitranya di lembaga legislatif. Selain itu, tak tertibnya proses pengajuan anggaran di lingkungan pemerintah sendiri turut menyumbang buruknya akuntabilitas rancangan anggaran. Walhasil, pemborosan-bahkan korupsi-sulit dihindari.
Dua hal itu terpampang dengan kasatmata dalam proses perumusan anggaran DKI Jakarta yang total nilainya sekitar Rp 77 triliun, naik Rp 3 triliun dibanding tahun lalu. Gubernur Anies Baswedan dan wakilnya, Sandiaga Uno, seperti tak kuasa menolak tuntutan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI yang meminta berbagai proyek yang tak jelas juntrungannya. Ada proyek pengadaan buku tentang profil pimpinan dan anggota Dewan senilai Rp 218 juta, ada juga ongkos penunjang kehadiran rapat pimpinan dan anggota Dewan sebesar Rp 16 miliar.
Kedua mata anggaran itu bisa disebut "siluman" karena mendadak masuk pembahasan rancangan APBD di Badan Anggaran, meski tidak pernah masuk rencana kerja pemerintah daerah. Ini jelas menabrak pedoman penyusunan APBD yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 86 Tahun 2017, yang hanya membolehkan "kegiatan nasional yang bersifat darurat" mendapat perlakuan khusus. Selain itu, DPRD meminta kenaikan biaya kunjungan kerja hingga empat kali lipat sampai Rp 107,7 miliar dan-yang paling disoroti publik-biaya perbaikan kolam air mancur sampai Rp 620 juta. Padahal mata anggaran itu pernah dicoret sebelumnya.
Kuat dugaan, ketidaktegasan Gubernur Anies menanggapi permintaan DPRD disebabkan oleh keinginannya agar sejumlah usul pos belanja yang dia ajukan juga tak dicoret DPRD. Anies, misalnya, mengajukan kenaikan pos bantuan hibah sampai Rp 1,61 triliun, yang sebagian dananya akan disalurkan ke berbagai majelis taklim di DKI. Ada lagi pos belanja dana sosial sebesar Rp 3,5 triliun, yang akan disalurkan buat 26 organisasi kemasyarakatan dan yayasan keagamaan. Dulu sebagian dana sosial itu disalurkan sebagai beasiswa untuk siswa miskin dan mahasiswa kurang mampu.
Potensi pemborosan terlihat pula pada biaya Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan. Awalnya, bujet tim ini hanya Rp 2,3 miliar, tapi belakangan melonjak 12 kali lipat menjadi Rp 28 miliar. Perlu dikaji lagi apa pentingnya tim ini beranggotakan sampai 73 orang dengan gaji Rp 24 juta per bulan.
Sebagai sebuah proses politik di parlemen daerah, penyusunan anggaran memang sulit lepas dari soal tawar-menawar. Namun negosiasi itu seharusnya berorientasi melulu untuk kepentingan publik, bukan untuk "menyejahterakan" basis komunitas pendukung masing-masing.
Animo publik yang demikian besar untuk memelototi anggaran DKI belakangan ini bisa menjadi modal awal buat membendung niat buruk para politikus untuk diam-diam "memainkan" anggaran. Berbagai inisiatif perbaikan sistem penganggaran yang sudah ada, dari e-budgeting sampai tender pengadaan secara elektronik, seharusnya tidak diabaikan. Sebagai gubernur baru, Anies punya kesempatan emas memulai tradisi penyusunan anggaran yang sama sekali bebas dari politik dagang sapi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo