Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah sepatutnya menjamin pembentukan induk perusahaan pertambangan tak menimbulkan kerugian bisnis dan keuangan negara. Memastikan badan usaha milik negara ikut menyejahterakan masyarakat banyak jauh lebih penting daripada ambisi memiliki perusahaan Merah Putih yang masuk daftar "Fortune Global 500".
Dirancang Kementerian BUMN sejak tahun lalu, pembentukan induk usaha pertambangan akhirnya disetujui Presiden Joko Widodo lewat Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2017 tentang penambahan penyertaan modal negara ke modal saham PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum. Berlaku sejak diundangkan pada Senin pekan lalu, aturan ini mengalihkan 65 persen saham pemerintah di PT Aneka Tambang (Persero) Tbk, PT Timah (Persero) Tbk, dan PT Bukit Asam (Persero) Tbk-sekaligus menghapus status BUMN ketiga perusahaan itu-ke Inalum.
Dengan berakhirnya status BUMN, pengendalian terhadap ketiganya beralih ke Inalum. Seratus persen saham perusahaan induk ini dikuasai pemerintah sejak diambil alih dari Konsorsium Pengusaha Aluminium Jepang (NAA) pada Desember 2013-era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Peraturan ini juga menambah modal Inalum berupa peralihan 9,36 persen saham milik pemerintah di PT Freeport Indonesia.
Pembentukan induk lewat peralihan saham perusahaan negara ke BUMN lain ini bukan yang pertama kali terjadi. Sembilan bulan sebelum lengser, Presiden Soeharto menunjuk PT Pupuk Sriwijaya-kini PT Pupuk Indonesia Holding Company-sebagai pengendali saham empat perusahaan pupuk milik negara. Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono juga membentuk induk perusahaan semen dan perkebunan dengan pola hampir serupa.
Kendati begitu, pemindahan saham pemerintah kali ini merupakan yang pertama kali dilakukan terhadap BUMN yang tercatat di lantai bursa alias berstatus terbuka. Sekitar 35 persen saham ANTM, TINS, dan PTBA-kode emiten masing-masing perusahaan-adalah milik publik. Di sini persoalan mulai muncul.
Berbekal Peraturan IX.H.1 tentang pengambilalihan perusahaan terbuka, PT Bursa Efek Indonesia menilai Inalum, sebagai calon pengendali baru saham ketiga emiten, harus menawarkan pembelian saham sukarela kepada pemegang saham publik. Otoritas bursa beralasan kepentingan investor publik harus dilindungi lantaran peralihan saham bersifat material. Pemerintah menilai sebaliknya dengan alasan negara masih sebagai ultimate shareholder lewat penguasaan saham seri A-dikenal sebagai saham dwiwarna berupa selembar saham dengan kewenangan istimewa yang diatur dalam anggaran dasar-ketiga perseroan.
Silang pendapat menunjukkan masih ada yang belum tuntas disiapkan dalam pembentukan holding kali ini. Kepastian hukum diperlukan. Terutama agar persoalan serupa tak kembali terjadi pada rencana pembentukan induk BUMN sektor jasa keuangan, energi, jalan tol, konstruksi, dan perumahan, yang juga bakal melibatkan perusahaan terbuka milik negara.
Menjadikan Aneka Tambang, Timah, dan Bukit Asam sebagai anak perusahaan juga bukan tanpa risiko. Meski tetap menjadi pemegang saham utama, pemerintah tak bisa mengendalikan langsung tiga korporasi dengan total aset Rp 59,05 triliun ini. Kontrol yang berjenjang melalui induk usaha menjadi celah terjadinya praktik penyelewengan.
Dua tahun terakhir, Badan Pemeriksa Keuangan terus mengingatkan tentang tren dijadikannya anak perusahaan BUMN sebagai kendaraan baru untuk menyelewengkan keuangan negara. Audit terhadap 45 anak perusahaan BUMN-dari sekitar 600 perseroan-pada 2015 memperoleh 801 temuan. Sebagian besar penyimpangan berpotensi merugikan negara triliunan rupiah.
Pemerintah semestinya memastikan grup BUMN pertambangan yang pada 2025 ditargetkan memperoleh pendapatan total US$ 22 miliar ini ditangani dengan tata kelola yang baik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo