Adalah sah jika calon anggota badan legislatif kita untuk periode 1993-1998 menyatakan berbagai alasannya, mengapa ia mau duduk sebagai wakil rakyat kelak. Siapa sih yang tak mau duduk di lembaga yang bergengsi itu? Yang perlu dibicarakan: siapa yang layak menduduki tempat itu. Apa pun suara mengenai lembaga legislatif kita saya yakin bahwa semua itu masih didengar dalam arti positif. Dengan kata lain, pihak yang berkompeten menganggap suara tersebut merupakan konsekuensi logis atas pilihan sadar mereka, sebagai pengemban amanat rakyat. Saya katakan sekali lagi, apa pun alasan mereka mau menjadi wakil rakyat, semua itu sah. Namun, jika mereka benar-benar terpilih sebagai wakil rakyat, saya berharap mereka hendaknya ingat janjinya, baik pada waktu kampanye maupun tatkala disumpah. Alasan saya sederhana saja. Sebab, jangan sampai nantinya pikiran, gerak, dan jiwa tidak seperti waktu mereka berkampanye ataupun disumpah. Bahkan saya sangat berharap, jika kebetulan ada calon anggota legislatif yang sebelumnya mempunyai kedudukan meskipun sebagai pengasong, misalnya kedudukan itu sebaiknya dilepaskan. Dengan kata lain, mereka berkonsentrasi penuh sebagai wakil rakyat. Tanpa menafikan jenis usaha dan pentingnya kedudukan saat ini, tentunya sedikit banyak akan mempengaruhi konsentrasi dalam menjalankan fungsinya sebagai wakil rakyat. Tidak mustahil kepentingan kelompok atau pribadi akan lebih diutamakan daripada sebagai wakil rakyat. Jika demikian adanya, saya khawatir bahwa wakil rakyat pada periode 1993-1998 tidak lebih sebagai pelengkap penderita dari sebuah mekanisme ketatanegaraan. Berkenaan dengan jabatan di atas, saya sependapat dengan Bapak Ir. Siswono Yudohusodo. Ia melepaskan jabatannya sebagai pengusaha real estate, setelah ia diangkat menjadi menteri perumahan. Layak diteladani, bukan? Bukankah, sebagai wakil rakyat profesionalisme diperlukan juga? Yang tak kalah pentingnya adalah sebuah aspirasi tidak akan berarti (sekalipun disampaikan secara konstitusional), selama masih ada "gengsi struktural" (baca: veto). Agaknya, gengsi struktural inilah yang membuat masyarakat mengangguk-angguk dan tertidur tatkala diajak bicara tentang politik. Mungkin akan lain bila lembaga legislatifnya mau "kerja bakti"? SYAMSUL BAHRI Mahasiswa Fakultas Tarbiyah UII Yogyakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini