Jumat, 2 Agustus 1991, perkelahian antara pelajar STM PGRI dan SMA Purnama terjadi lagi di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Bahkan timbul kesan, perkelahian tersebut bukan lagi disebabkan sekadar kenakalan remaja, melainkan sudah menjurus ke arah tindak kriminal. Sebab, dalam perkelahian itu, ada sekelompok pelajar yang sengaja melawan petugas yang mau melerai. Bahkan mereka membakar sepeda motor polisi yang berusaha menyelamatkan diri karena terdesak oleh amukan pelajar (TEMPO, 10 Agustus 1991, Nasional). Tiga tahun terakhir ini, tercatat beberapa korban yang meninggal akibat kekerasan perkelahian masal ini. Angka itu di luar ratusan orang korban luka ringan, luka berat, dan kerugian material. Bila kita amati, peristiwa serupa ini hampir setiap tahun berulang dengan tingkat kekerasan yang meningkat. Beberapa pejabat yang berkecimpung di dunia pendidikan dan keamanan berkomentar bahwa oknum pelajar yang menjadi biang keladi keributan akan ditindak tegas lewat jalur hukum ke pengadilan atau dikembalikan kepada orang tuanya alias "dipecat". Namun, hal itu tak mengurangi nyali para pelajar kita untuk membuat keonaran dan keributan yang brutal. Lalu, apakah masalah ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab kepala sekolah dan guru, yang muridnya sering terlibat perkelahian? Seperti yang ditegaskan oleh Kepala Kanwil Departemen P dan K DKI Jakarta Soegijo bahwa pihaknya akan mengganti kepala sekolah dan meneliti semua guru, yang muridnya sering terlibat perkelahian masal. Bila ucapan Soegijo itu benar, berarti tugas kepala sekolah dan guru semakin berat. Kita semua tahu bahwa para pelajar berada di bawah pengawasan sekolah hanya sekitar setengah hari atau enam jam. Selebihnya, pelajar akan menjadi anggota keluarga dan masyarakat di mana pelajar itu tinggal. Maka, orangtua dan masyarakat juga harus ikut bertanggungjawab atas pendidikan para pelajar kita. Ruang terbuka di kota metropolitan, tempat fasilitas untuk menyalurkan agresivitas pelajar SLTP dan SLTA yang cukup tinggi itu, semakin sempit. Tempat itu sekarang diganti dengan menjamurnya pusat perbelanjaan, yang memamerkan glamournya kehidupan Jakarta, yang tak bisa dinikmati oleh sang pelajar dari golongan menengah ke bawah. Maka sebagai kompensasi, mereka membuat keonaran dan bertindak kriminal kecil-kecilan. Untuk menangani masalah ini tentu diperlukan uluran tangan dari bapak-bapak pejabat, pengusaha dan konglomerat: memberi perhatian dan fasilitas sekolah yang baik, arena olahraga, dan taman terbuka guna menyalurkan dorongan agresivitas remaja kita. SANTOSO Kav. Cipayung Blok E: 27 - 28 Jakarta Timur 13840
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini