Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Angka biru & baju baru

Bila harry lulus sd tanpa angka merah, ibunya menjanjikan baju dan celana baru. ketika ia lulus, hadiahnya ditunda sampai menjelang tahun baru. tahun baru pun tiba, hadiah untuk harry tetap impian.

31 Desember 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SI Hary tahun ini tamat SD. Jauh-jauh hari sebelum ujian, ibunya sudah berjanji, kalau nanti dalam daftar nilainya tak ada angka merah, dia akan dibelikan sepasang baju baru. Mungkin lantaran janji itu, bulan lalu adik itu berhenti sama sekali main karambol yang amat digemarinya. Malam-malam kalau anggota keluarga lain nongkrong depan TV, dia terbungkuk menghadapi kitab tulisnya. Minggu kemarin dia cerita: "Kak, saya lulus. Angka merah tidak ada." Di wajahnya terbayang sebuah celana dan baju baru. Tak terlintas dalam fikirannya kalau ibunya akan berbohong atau menyangkal janji. Ketika dia ditanya apakah bajunya sudah dibeli, Hary hanya menggeleng. Kata ibunya dia baru boleh mendapat hadiah itu menjelang tahun baru. Dan dia tampak tidak kecewa. Menunggu dua tiga minggu bukan persoalan. Hary kembali asyik main karambol. Kembali setia mengikuti film kartun di televisi. Kembali mengajak adiknya jalan-jalan ke taman Monas. Tak tahulah apa yang terasa di hati anak itu. Hary yang cakap, Hary yang cerdas, anak miskin yang rajin belajar, angka biru di rapornya, tahun baru yang dia tak banyak mengerti - kini mendapat makna: baju baru, celana baru. Tahun lalu dia harus berpakaian seadanya saja. Tahun ini dia berharap akan mengenakan sebuah celana jeans dan kemqa berwarna coklat muda. Dua tiga minggu ini dia menunggu. Lama atau cepat, harihari itu jelas merupakan masa harapan. Baginya menunggu terasa begitu menggairahkan. Ibu masih sibuk memperbaiki atap rumah mereka. Maka harapan tetap hangat: akhir tahun bagaikan masa depan yang gilang-gemilang. Sebuah bis kota melaju dengan cepat. Penumpangnya berjutajuta. Sang supir tampak sendirian di belakang setir, tapi kondektur ada puluhan. Pencopet pun tak terhitung dan sukar ditebak. Banyak yang berpakaian rapi.32 halte sudah lewat. Nomor polisinya A 1945 tertulis dalam huruf putih di atas latar merah, nampak jelas dari jauh. Menjelang masuk terminal ada papan di pinggir jalan pada tikungan terakhir. Tertulis: "Awas, kecepatan harap kurangi, sering celaka!" Bis itu tiba-tiba berkurang kecepatannya. Tapi aneh bin ajaib. Terminal ternyata masih jauh. Hampir tak nampak sejauh-jauh mata memandang. Penumpang pada ribut, ngomel dan heran. Kapan bisa turun? Orang-orang berkeringat, sesak padat. Udara tambah sumpek dan mulai busuk. Tiba-tiba seorang kondektur berteriak: "Harap tidak mengacau. Di sini ada oknum-oknum yang ingin membuat onar. Tapi jangan mau ditunggangi. Semua penumpang harap tertib." Bis kota itu melaju lagi. Seorang kondektur lain memperdengarkan suaranya: "Saudara-saudara ! Temyata terminal kita masih jauh. Syukur alhamdulillah kita masih selamat. Oleh karena itu harap anda mau membayar karcis sekali lagi," suaranya selesai di loudspeaker. -- Ini pungutan apa, bung? seorang penumpang menantang. -- Pungutan? Saudara kan penumpang bis ini. Makin jauh jalan, makin tinggi bayarannya. Jelas? -- Ini bis punya siapa? Saudara cuma petugas saja. Biaya maintenance dari mana kalau bukan dari duit penumpang? Ini bis kota! Bis kita! -- Iya, tadi diperkirakan terminal tidak sejauh ini. Itu suatu kesalahan kami petugas. Mohon maaf dan pengertian. -- Tapi kenapa mesti kami yang membiayai kekhilafan saudara. Kenapa harus bayar ulang? -- Apa boleh buat. Risiko perjalanan. -- Yang buat risiko, siapa? -- Kita semua! -- Kita? Atau kalian kondektur? -- Di sini bukan tempat debat. Ada keberatan, sampaikan nanti ke bahagian Humas perusahaan. Harus pakai saluran ! Bis itu tetap menderu. Debu jalanan mengepul. Ibu-ibu mulai pingsan dan kelengar. Satu dua bayi mati, kehabisan oxygen dan kurang makan. Perjalanan perlu korban jiwa raga. Ketika akan berhenti pada halte berikut, seorang anak muda mencari tempat dekat pintu, mencabut secarik kertas dekil dari jaketnya, dan terdengar suaranya lantang: * Stop bis Stop pinggir Stop kontak Stop stop Sungguh banyak stop di sekitar kita Kemacetan jadi biasa Tak ada yang bergerak, tak ada yang berbicara Sedang yang galak, ngomongnya cuma stop! Semua distop. * Penumpang bengong. Ada yang bertanya kepada pemuda itu: "Hei Yudhis, mana terminal?" "Stop ngoceh," bentak kondektur "beri kami waktu." Selepas suara itu merendah, seorang penumpang menuju tempat sopir. Menyobek sehelai kertas, lembar terakhir 1977. "Papi, betulkah ada terminal?" seorang anak bertanya dari atas pangkuan ayahnya. "Mami, kapan baju baru?" mata si Hary berkaca-kaca penuh butir air mata. sajak Yudhistira Ardi Noegraha

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus