Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SI Hary tahun ini tamat SD. Jauh-jauh hari sebelum ujian, ibunya
sudah berjanji, kalau nanti dalam daftar nilainya tak ada angka
merah, dia akan dibelikan sepasang baju baru.
Mungkin lantaran janji itu, bulan lalu adik itu berhenti sama
sekali main karambol yang amat digemarinya. Malam-malam kalau
anggota keluarga lain nongkrong depan TV, dia terbungkuk
menghadapi kitab tulisnya. Minggu kemarin dia cerita: "Kak, saya
lulus. Angka merah tidak ada." Di wajahnya terbayang sebuah
celana dan baju baru. Tak terlintas dalam fikirannya kalau
ibunya akan berbohong atau menyangkal janji.
Ketika dia ditanya apakah bajunya sudah dibeli, Hary hanya
menggeleng. Kata ibunya dia baru boleh mendapat hadiah itu
menjelang tahun baru. Dan dia tampak tidak kecewa. Menunggu dua
tiga minggu bukan persoalan. Hary kembali asyik main karambol.
Kembali setia mengikuti film kartun di televisi. Kembali
mengajak adiknya jalan-jalan ke taman Monas.
Tak tahulah apa yang terasa di hati anak itu. Hary yang cakap,
Hary yang cerdas, anak miskin yang rajin belajar, angka biru di
rapornya, tahun baru yang dia tak banyak mengerti - kini
mendapat makna: baju baru, celana baru. Tahun lalu dia harus
berpakaian seadanya saja. Tahun ini dia berharap akan mengenakan
sebuah celana jeans dan kemqa berwarna coklat muda.
Dua tiga minggu ini dia menunggu. Lama atau cepat, harihari itu
jelas merupakan masa harapan. Baginya menunggu terasa begitu
menggairahkan. Ibu masih sibuk memperbaiki atap rumah mereka.
Maka harapan tetap hangat: akhir tahun bagaikan masa depan yang
gilang-gemilang.
Sebuah bis kota melaju dengan cepat. Penumpangnya berjutajuta.
Sang supir tampak sendirian di belakang setir, tapi kondektur
ada puluhan. Pencopet pun tak terhitung dan sukar ditebak.
Banyak yang berpakaian rapi.32 halte sudah lewat. Nomor
polisinya A 1945 tertulis dalam huruf putih di atas latar merah,
nampak jelas dari jauh. Menjelang masuk terminal ada papan di
pinggir jalan pada tikungan terakhir. Tertulis: "Awas, kecepatan
harap kurangi, sering celaka!"
Bis itu tiba-tiba berkurang kecepatannya. Tapi aneh bin ajaib.
Terminal ternyata masih jauh. Hampir tak nampak sejauh-jauh mata
memandang. Penumpang pada ribut, ngomel dan heran. Kapan bisa
turun? Orang-orang berkeringat, sesak padat. Udara tambah sumpek
dan mulai busuk. Tiba-tiba seorang kondektur berteriak: "Harap
tidak mengacau. Di sini ada oknum-oknum yang ingin membuat onar.
Tapi jangan mau ditunggangi. Semua penumpang harap tertib."
Bis kota itu melaju lagi. Seorang kondektur lain memperdengarkan
suaranya: "Saudara-saudara ! Temyata terminal kita masih jauh.
Syukur alhamdulillah kita masih selamat. Oleh karena itu harap
anda mau membayar karcis sekali lagi," suaranya selesai di
loudspeaker.
-- Ini pungutan apa, bung? seorang penumpang menantang.
-- Pungutan? Saudara kan penumpang bis ini. Makin jauh jalan,
makin tinggi bayarannya. Jelas?
-- Ini bis punya siapa? Saudara cuma petugas saja. Biaya
maintenance dari mana kalau bukan dari duit penumpang? Ini bis
kota! Bis kita!
-- Iya, tadi diperkirakan terminal tidak sejauh ini. Itu suatu
kesalahan kami petugas. Mohon maaf dan pengertian.
-- Tapi kenapa mesti kami yang membiayai kekhilafan saudara.
Kenapa harus bayar ulang?
-- Apa boleh buat. Risiko perjalanan.
-- Yang buat risiko, siapa?
-- Kita semua!
-- Kita? Atau kalian kondektur?
-- Di sini bukan tempat debat. Ada keberatan, sampaikan nanti ke
bahagian Humas perusahaan. Harus pakai saluran !
Bis itu tetap menderu. Debu jalanan mengepul. Ibu-ibu mulai
pingsan dan kelengar. Satu dua bayi mati, kehabisan oxygen dan
kurang makan. Perjalanan perlu korban jiwa raga.
Ketika akan berhenti pada halte berikut, seorang anak muda
mencari tempat dekat pintu, mencabut secarik kertas dekil dari
jaketnya, dan terdengar suaranya lantang:
*
Stop bis
Stop pinggir
Stop kontak
Stop stop
Sungguh banyak stop di sekitar kita
Kemacetan jadi biasa
Tak ada yang bergerak, tak ada yang berbicara
Sedang yang galak, ngomongnya cuma stop!
Semua distop.
*
Penumpang bengong. Ada yang bertanya kepada pemuda itu: "Hei
Yudhis, mana terminal?" "Stop ngoceh," bentak kondektur "beri
kami waktu." Selepas suara itu merendah, seorang penumpang
menuju tempat sopir. Menyobek sehelai kertas, lembar terakhir
1977. "Papi, betulkah ada terminal?" seorang anak bertanya dari
atas pangkuan ayahnya. "Mami, kapan baju baru?" mata si Hary
berkaca-kaca penuh butir air mata.
sajak Yudhistira Ardi Noegraha
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo