Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERIKUT ini kisah sahibul hikayat di Tanah Batak. Dahulu kala,
adalah seorang tukang kayu bernama Pande birara pande biruru,
mendapat titah dari raja untuk membuat istana. Pergilah si Pande
ke hutan untuk mengumpulkan kayu-kayu nomor wahid agar istana
raja berdiri tegak dengan kuatnya.
Di celah-celah kesibukannya, timbullah keisengan Pande. Sebatang
tunggul kayu diukirnya menjadi seorang wanita cantik. Patung
wanita cantik itu kemudian dia letakkan di dekat sebuah
pancuran. Pande, setengah lupa akan patung yang dibuatnya,
kemudian pulang dan kembali ke kota.
Beberapa hari kemudian, melintaslah seorang partiga-tiga torus -
begitu sebutan untuk seorang saudagar - di dekat pancuran
tersebut. Terlihat olehnya paiung yang cantik buatan Pande. Ia
bcrhasrat melengkapi kecantikan si patung puteri tersebut dengan
pakaian dan perhiasan emas. Betullah, si patung uertambah
cantik. Saking cantiknya, sang saudagar sampai termangu-mangu di
hadapannya. "Andaikan, andaikan wanita ini sungguhan dan
bukan... patung," begitu fikir sang saudagar.
Dan tanpa disadarinya, haripun hampir senja. Terlena dari
mimpinya, partiga-tiga kemudian bangkit. Bergegas dia nlengambil
kembali baju dan perhiasan yang melekat di tubuh patung puteri
tersebut. Aneh bin ajaib, baju dan perluasan emas sungguhan itu
melekat erat di patung kayu. Segala macam usaha untuk mencopot
kembali barang dagangam nya itu, gagal. Karena malam sudah
memburunya, saudagar tersebut kemudian angkat kaki tanpa bisa
membawa pakaian dan perhiasan yang melekat di patung ajaib
tersebut.
Datu Keramat
Setiba di kampungnya, si partiga-tiga kemudian menceritakan
kisahnya ini. Jadilah buah bibir tentang patung tadi. Ceritera
ini berkembang dengan cepat sekali dan gunjingan patung ajaib
ini sampai pula pada seorang dukun yang terkenal dan sakti di
negeri itu. Kabarnya, sang dukun konon bisa menghijaukan kembali
daun busuk atau menghidupkan sesuatu yang telah mati.
Maka berangkatlah Datu Keramat itu ke pancuran, tempat patung
itu teak membisu. Dibacakannya mantera, sambil menengadahkan
tangan ke langit meminta kepada Mula Jadi Nabolon (dewata yang
menciptakan dunia) agar patungitu dihidupkan sebagai manusia
biasa. Kehendak dewatapun terjadilah. Patung menjelma menjadi
manusia biasa, seolang gadis yang sangat molek. "Sejak hari
ini," begita ujar Datu Keramat, "kau kuangkat sebagai anakku.
Tapi siapakah namamu?" Sang dara ayu rupanya sudah siap dengan
namanya, katanya: "Panggil aku si Boru Jongjong Anian,
Boru Tibal Tudosan, olma na so mara nian, na So adong tudosan.
" Artinya kira-kira: "Panggil aku puteri cantik berasal dari
kayu yang tak ada tolak bandingnya." Datu Keramat kemudian
membawa pulang si dara ke rumahnya.
Tentu saja, kedatangan seorang wanita cantik di kampung Datu
Keramat jadi omongan orang. Pemuda-pemuda gempar. Dan sampailah
berita ini ke telinga si Pande Birara dan sang saudagar. Mereka
berdua mengaku bahwa patung yang jadi dara bahenol itu miliknya.
"Aku yang berhak atas anak itu, karena aku yang mengukirnya
sehingga jadi patung puteri yang cantik," tuntut si Pande
Birara. Sang saudagar mempunyai alasannya juga. Katanya: "Biar
dia diukir seperti manusia, tapi akulah yangmemberinya pakaian
dan perhiasan. Karena itu, akulah yang berhak." Sang Datu, tentu
saja bersikeras juga bahwa puteri cantik itu adalah miliknya.
Rupanya mereka bertiga sudah tidak bisa bermufakat. Sehingga
seluruh khalayak di negeri itu dikumpulkan untuk mengadili siapa
sebenarnya yang berhak atas sang dara. Sidang berlangsung tujuh
hari tujuh malam namun belum bisa mengambil keputusan. Akhirnya,
seorang yang telah uzur usia memberi usul: "Selesaikan saja
kasus ini secara hukum adat." Diatun kemudian memberikan jalan
keluar berdasarkan adat: "Sang Datu jadi ayah, karena dialah
yang menghidupkan sang Puteri. Partiga-tiga jadi paman (tulang)
karena dia yang memberi pakaian dan Pande Birara menjadi ompung
(kakek) karena dialah yang mendisain tubuh si Puteri. Usul ini
kemudian diterima secara aklamasi oleh yang hadir, termasuk tiga
orang yang bersengketa tadi.
Marporhas
Pada suatu hari, datanglah utusan Raja Purbalaning Guru
Satiabulan untuk meminang si dara cantik. Apa boleh bu at,
kehendak raja tentu harus dilurut Setelah diadakan perang adu
pantun, pinangan dengan resmi diterima. Boru Jongjong Anian cuma
mengajukan satu syarat: "Suami saya dilarang membongkar asal
usul saya." Syarat dari dara cantik ini diterima oleh raja.
Boru Jongjong Anian kemudian pindah ke istana. Hidup bahagia dan
tak berapa lama, diapun mengandung. Ketika tiba bulannya, sang
permaisuri melahirkan. Tapi aneh sekali, bukan seorang bayi yang
keluar dari rahjmnya. Melainkan sebuah pustaha, buku kecil
berisi ilmu-ilmu kedatuan atau kedukunan. Permaisuri hamil lagi
dan sekali ini dia melahirkan sebuah alat tenun. Raja
Purbalaning tak bisa bilang apa-apa. Apa boleh buat, dia sudah
terlanjur pasang janji untuk tidak mengingat-ingat asal-usul
isterinya. Lagi pula, lahirnya pustaha dan alat tenun sudah
diketahuinya lewat mimpi.
Beberapa tahun kemudian, Boru Jongjong Anian mengandung lagi.
Sekali ini dia melahirkan bayi manusia. Malahan kembar pula,
seorang laki dan sorang perempuan. Bayi kembar delnikian ini
oleh orang Batak disebut marposhas, yang menurut adat Batak
waktu itu, bisa dianggap membawa kesialan Bayi laki-laki
kemudian diberi nama Aji Donda Hatautan dan yang perempuan
Siboru Sopakpanaluan. Untuk mengurangi kesialan, sejak kecil
keduanya hidup secara terpisah.
Sang ibu kemudian memberi pustaha kepada Aji Donda dan alat
tenun untuk Siboru Sopakpanaluan. Keduanya menjadi ahli di
bidang masing-masing. Aji Donda dapat meramalkan apa saja yang
akan terjadi, sedang Boru Sopakpanaluan dapat menenun ulos yang
indah-indah. Jadilah mereka anak yang cakap dan cantik, juga
pandai di bidang masing-masing.
Pohon Tada-tada
Tapi kemudian anak kembar ini telah membuat raja dan permaisuri
jadi masygul dan susah bukan alang kepalang. Karena kedua kakak
beradik ini saling jatuh cinta. Dirintangi, toh dijebol.
Dipisahkan semakin jauh, keduanya saling mencari. Bertemu dan
pacaran terjadi juga. Akhir kata, ketimbang menanggung aib
besar, raja mengambil keputusan: Boru Sopakpanaluan dibuang ke
dalam hutan.
Celakanya, si abang yang bernama Aji Donda ahli meramal dan tahu
betul bagaimana nasib adiknya yang dia cintai itu. Aji Donda
menyusul ke hutan. Bertemulah mereka dalam gejolak asmara yang
tak terpisahkan. Hutan waktu itu, masih penuh binatang buas.
Malam tiba, keduanya kemudian naik pohon tada-tada agar tidak
jadi sasaran binatang buas.
Keajaiban datang lagi. Begitu keduanya naik ke pohon tada-tada,
lengketlah keduanya di pohon tersebut. Anjing istana turut
mencari tuamya yang pergi ke hutan. Si Jarame tunggal, sang
anjing, akhirnya mendapatkan Aji Donda dan Boru Sopakpanaluan di
atas pohon tada-tada, lengket tidak bisa bergerak. Jarame
menggonggong terus dan dia mencoba untuk menolong tuannya.
Naiklah si Jarame ke pohon tersebut, dan lengket pulalah dia.
Berita ini sampai ke tclinga Raja Purbalaning. Bantuan pun
dikerahkan untuk menolong putera-puterinya. Lewat seorang dukun
wanita yang disebut Baso Nabolon, sang dukun memerintahkan agar
seekor kerbau merobohkan pohon tada-tanda. Eh, ternyata sang
kerbau turut pula lengket di pohon.
Celaka. Usaha untuk merobohkan pohon tada-tada kemudian disusul
dengan upaya dari sekumpulan binatang: seekor ular berbisa,
seekor biawak, ular naga, beruang besar, seekor burwlg
manuk-manuk dan tujuh ekor tikus. Semuanya gagal dan keseluruhan
binatang itu melekat di pohon tadi.
Tunggal Panaluan
Biarpun begitu, raja belwll putus asa. Dia mengirim seorang ahli
tukang tebang kayu, Pande Simurung. Tapi si Pande toh lengket
juga di pohon. Lamakelamaan, semua binatang dan Pande Simurung
berobah jadi kayu, masih dalam bentuk ujudnya masing-masing.
Raja Purbalaning tak bisa berbuat apa-apa.
Kemudian tibalah seorang datu sakti utusan seorang raja dari
negeri lain untuk mencari kayu guna bangunan istana. Datu sakti
tertarik oleh pohon tada-tada. Begitu kapak akan diayunkan ke
pohon, tiba-tiba seekor elang berteriak di udara: "Jangan tebang
pohon itu dengan kapak. Mereka akan celaka." BlaIlgkemudian
menganjurkan agar tada-tada dikikis dengan sambilu tobu, kulit
bambu yang tipis.
Begitu kulit bambu menyayat tadatada, pohon kemudian berceritera
tentang nasib masing-masing manusia r,an binatang yang lengket
di pokoknya. Tidak diceriterakan dengan jelas bagaimana nasib
Aji Donda, Boru Sopakpanahlan dan lain-lainnya. Tapi kayu dari
pohon tada-tada itu kemudian dipercaya jadi tongkat yang ajaib
dan sakti. Tongkat tersebut kemudian disebut dengan nama Tunggal
Panaluan. Tunggal berarti jantan dan panaluan berarti yang
mengalahkan. Ringkasnya: jantan yang gagah perkasa.
Tongkat dari pohon itu kabarnya bisa menyembuhkan orang sakit.
Bisa memberi sesuatu yang diingini, bahkan bisa mendatangkan
hujan dan badai. Bentuk tongkat tidak lebih dari dua meter.
Ujung yang atas biasanya berbentuk kepala manusia, komplit
dengan rambutnya segala. Dari ujung ke bawah, ada ukiran
berbentuk manusia dan binatang yang saling melengket tersebut.
Bagi masyarakat Batak, tongkat ini masih dianggap sakti. Bahkan
di beberapa rumah adat, tongkat yang dipercaya tua umurnya dari
keturunan nenekmoyang selalu dihormati dan pantang dijual. Tapi
dengan ramainya kaum wisatawan yang datang ke kawasan tanah
Batak ini, tongkat Tunggal Panaluan adalah benda yang banyak
dikejar. Kepala Bagian Pariwisata kantor Bupati Tapanuli Utara
M.P. Situmorang mengatakan kalau ada yang menemukan yang asli,
turis asing sanggup membayar jutaan rupiah. Tapi tidak seorang
pun yang tahu, apakah yang asli itu masih ada?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo