CERITANYA begini. Saya taruh sepiring makanan di halaman
belakang. Tiga ekor kucing menyerbu dari tiga jurusan. Dari atas
dinding, dari atap, dari darat. Si Macan yang di atap itu jadi
juara. Dengan lompatan salto yang sangat terarah dialah yang
pertama menyentuh piring. Pak Item jadi nomor dua, karena
kekurangan satu detik. Yang belangbonteng kebagian nomor bokek.
Entah apakah anda tahu apa artinya ini.
Begini. Pada saat si Macan sampai ke piring, Jeri Item yang
masih satu meter dari finish itu segera tancap rem. Agak jauh
lagi, sang Belang juga mendadak berhenti. Jadi cuma sang juara
yang makan. Kecap-kecap-nyam-nyam.
Akan si Belang dan si Hitam, keduanya tiarap terkulai saja,
tenang memandang tante Loreng dari kejauhan. Demikianlah maka
beberapa menit kemudian tante rupanya sudah cukup puas. Dengan
gaya super-santai dia menyingkir.
Yang lain nampaknya merasa tak perlu bergegas. Keduanya memang
bangkit, tapi hanya oom Item yang mengingsut ke piring. Nyonya
Belang rebah lagi. Barangkali ini menitmenit yang amat panjang
bagi sang nyonya.
Entahlah. Sampai sini saya sudah tak mengerti semua ini.
Misalnya, kenapa Belang dan Item tidak sama-sama tancap gas dan
melompat? Kok tenang-tenang saja mereka ini? Apa tidak khawatir
didahului? Baiklah. Yang paling akhir menyelidiki isi piring
ialah hidung Belang. Ayamnya masih ada nggak . . . Saya tahu dia
berpikir begitu. Yang jelas, dia tidak mengumpat-umpat yang
lain. Dia terima saja apa sisanya.
SEHARUSNYA BERDARAH
Jelas adat kucing di bilangan Sangkuriang betulan Blok-U ini
tidak selaras dengan naluri saya sebagai manusia. Entah
bagaimana kucing-kucing di Cisitu dan Cikaso.
Tapi saya pikir, sebagai binatang mereka seharusnya terus
menyerbu ke piring sampai tubrukan, begitulah. Lalu rebutan dan
cakar-cakaran dan maki-makian dan sebagainya. Kalau manusia saja
adatnya begitu -- coba saja lempar uang ke tengah gerombolan
--seharusnya rakyat kucing mampu menghidangkan tontonan yang,
katakanlah, berdarah. Tapi sekarang apa? Satu desutan atau
geraman saja tidak ada. Bahkan tegangan juga tak nampak, kecuali
pada awal perlombaan.
Kucing-kucing ini tahu caranya membosankan manusia. Kita ini
butuh perkelahian dan peperangan. Paling tidak nonton adu tinju
atau adu bagonglah. Tapi kucing ini tidak mau diadu, dan terus
terang saja, baru satu kali saya melihat kucing berkelahi.
Itupun tanpa ada yang mampus. Yang kalah dibiarkan mundur
teratur, dan tidak dianiaya. Bagi kita manusia itu sih tidak
banyak artinya. Kita lebih menyukai penumpasan besar-besaran.
Sudahlah.
Saya pikir kucing-kucing ini tahu sportivitas. Yang berprestasi
harus dapat pengakuan dan hak lebih, tak peduli apakah dia
jantan atau betina. Mentang-mentang jantan dan lebih kuat tidak
berarti musti nomor satu dan berkuasa. Nah, saya juga tidak
mengerti ini.
Kemudian kucing ini rupanya juga tahu apa yang namanya antri.
Bahkan antrinya berjauhan, tidak berdempetan atau berdesakan.
Semua ini mungkin karena mereka punya jiwa sosial. Tapi ini
sulit sekali diterima. Kita tahu bahwa kucing itu individualis
tulen. Suka beroperasi sendirian saja dalam segala usaha dan
petualangan. Istilah "sekawanan kucing" tidak ada, kecuali kalau
umurnya masih sebulan dua. Paling juga duaan, dan itupun kalau
sedang mau seks. Seks selesai, individualisme kambuh lagi.
Tapi di sini perlu ada catatan. Saya belum melihat bukti bahwa
individualisme kucing ini sama dengan egoisme dan rakusisme yang
melanggar kepentingan kucing lain. Kucing itu pantang mengganggu
kucing lain. Hidup sendiri, dan mengakui hak setiap kucing untuk
menikmati hidupnya sen diri. Jelas kita sebagai manusia tidak
mengerti filsafat ini. Maklum, binatang itu susah dimengerti.
ANEH !
Suatu hari saya dengar meong-meong kecil sekali di belakang
rumah, dan di atas seonggokan kayu saya lihat setumpukan bayi
kucing. Ada lima ekor. Setelah umur sebulan, saya sajikan
sepiring susu kepada mereka. Nah, semua minum bersama. Tak ada
soal antri.
Eh eh, ada juga! Begini. Si Macan Loreng dan Naga Hitam datang.
Percaya apa tidak, tapi kedua raksasa ini pada antri. Tunggu
sampai bayi-bayi selesai minum. Kalau nyonya Belang yang tunggu,
itu masuk akal, sebab dia itu ibunya. Tapi variasinya ada juga.
Besoknya saya lihat bang Hitam datang hati-hati, lalu ikut minum
bersama pancakucing kecil itu. Tanpa menyikut kiri-kanan atau
main gertak sambal. Aneh!
Beberapa hari kemudian saya pertajam eksperimen ini. Ketika
melihat pak Item nongkrong di atas dinding, saya taruh sepiring
nasi dan tulang ayam di dekat grup Indonesia Lima. Pak Item
melompat. Sialan! Ada anak kucing yang lebih dulu menyergap
tulang yang masih berdaging ini. Raja Hitam tancap rem di tengah
jalan, lalu . . . duduk saja mengamati sang Juara cilik. Ada
anak lain yang mau merebut ayam ini, tapi dia mundur oleh
geraman si pemenang. Tak ada perkelahian. Wah, sayang! kata saya
sebagai manusia.
Penutup cerita: ketika tulang itu ditinggalkan si anak, barulah
Hitam Kelam datang menjumputnya. Hanya dia yang bisa menggarap
sisanya, seperti kerja mobil sampah modern itu.
Kletak-kletuk-krak-krek ....
Coba. Sampai kalau yang kecil mendapat rezeki, yang raksasa
masih mengalah juga. Bagaimana saya bisa mengerti kebudayaan
ini. Kalau kita sih, orang kecil musti menyingkir dan musti
dipreteli seandainya orang besar mau dapat rezeki. Nah, lain
kucing, lain manusia!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini