Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Sekalian kucing, damailah

Kucing dan manusia ternyata tak sama. dalam memperoleh makanan, kucing tak berebut dan saling mengalahkan yang lain. kalau yang kecil mendapat rezeki yang raksasa mengalah juga. tak ada perkelahian.

31 Desember 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CERITANYA begini. Saya taruh sepiring makanan di halaman belakang. Tiga ekor kucing menyerbu dari tiga jurusan. Dari atas dinding, dari atap, dari darat. Si Macan yang di atap itu jadi juara. Dengan lompatan salto yang sangat terarah dialah yang pertama menyentuh piring. Pak Item jadi nomor dua, karena kekurangan satu detik. Yang belangbonteng kebagian nomor bokek. Entah apakah anda tahu apa artinya ini. Begini. Pada saat si Macan sampai ke piring, Jeri Item yang masih satu meter dari finish itu segera tancap rem. Agak jauh lagi, sang Belang juga mendadak berhenti. Jadi cuma sang juara yang makan. Kecap-kecap-nyam-nyam. Akan si Belang dan si Hitam, keduanya tiarap terkulai saja, tenang memandang tante Loreng dari kejauhan. Demikianlah maka beberapa menit kemudian tante rupanya sudah cukup puas. Dengan gaya super-santai dia menyingkir. Yang lain nampaknya merasa tak perlu bergegas. Keduanya memang bangkit, tapi hanya oom Item yang mengingsut ke piring. Nyonya Belang rebah lagi. Barangkali ini menitmenit yang amat panjang bagi sang nyonya. Entahlah. Sampai sini saya sudah tak mengerti semua ini. Misalnya, kenapa Belang dan Item tidak sama-sama tancap gas dan melompat? Kok tenang-tenang saja mereka ini? Apa tidak khawatir didahului? Baiklah. Yang paling akhir menyelidiki isi piring ialah hidung Belang. Ayamnya masih ada nggak . . . Saya tahu dia berpikir begitu. Yang jelas, dia tidak mengumpat-umpat yang lain. Dia terima saja apa sisanya. SEHARUSNYA BERDARAH Jelas adat kucing di bilangan Sangkuriang betulan Blok-U ini tidak selaras dengan naluri saya sebagai manusia. Entah bagaimana kucing-kucing di Cisitu dan Cikaso. Tapi saya pikir, sebagai binatang mereka seharusnya terus menyerbu ke piring sampai tubrukan, begitulah. Lalu rebutan dan cakar-cakaran dan maki-makian dan sebagainya. Kalau manusia saja adatnya begitu -- coba saja lempar uang ke tengah gerombolan --seharusnya rakyat kucing mampu menghidangkan tontonan yang, katakanlah, berdarah. Tapi sekarang apa? Satu desutan atau geraman saja tidak ada. Bahkan tegangan juga tak nampak, kecuali pada awal perlombaan. Kucing-kucing ini tahu caranya membosankan manusia. Kita ini butuh perkelahian dan peperangan. Paling tidak nonton adu tinju atau adu bagonglah. Tapi kucing ini tidak mau diadu, dan terus terang saja, baru satu kali saya melihat kucing berkelahi. Itupun tanpa ada yang mampus. Yang kalah dibiarkan mundur teratur, dan tidak dianiaya. Bagi kita manusia itu sih tidak banyak artinya. Kita lebih menyukai penumpasan besar-besaran. Sudahlah. Saya pikir kucing-kucing ini tahu sportivitas. Yang berprestasi harus dapat pengakuan dan hak lebih, tak peduli apakah dia jantan atau betina. Mentang-mentang jantan dan lebih kuat tidak berarti musti nomor satu dan berkuasa. Nah, saya juga tidak mengerti ini. Kemudian kucing ini rupanya juga tahu apa yang namanya antri. Bahkan antrinya berjauhan, tidak berdempetan atau berdesakan. Semua ini mungkin karena mereka punya jiwa sosial. Tapi ini sulit sekali diterima. Kita tahu bahwa kucing itu individualis tulen. Suka beroperasi sendirian saja dalam segala usaha dan petualangan. Istilah "sekawanan kucing" tidak ada, kecuali kalau umurnya masih sebulan dua. Paling juga duaan, dan itupun kalau sedang mau seks. Seks selesai, individualisme kambuh lagi. Tapi di sini perlu ada catatan. Saya belum melihat bukti bahwa individualisme kucing ini sama dengan egoisme dan rakusisme yang melanggar kepentingan kucing lain. Kucing itu pantang mengganggu kucing lain. Hidup sendiri, dan mengakui hak setiap kucing untuk menikmati hidupnya sen diri. Jelas kita sebagai manusia tidak mengerti filsafat ini. Maklum, binatang itu susah dimengerti. ANEH ! Suatu hari saya dengar meong-meong kecil sekali di belakang rumah, dan di atas seonggokan kayu saya lihat setumpukan bayi kucing. Ada lima ekor. Setelah umur sebulan, saya sajikan sepiring susu kepada mereka. Nah, semua minum bersama. Tak ada soal antri. Eh eh, ada juga! Begini. Si Macan Loreng dan Naga Hitam datang. Percaya apa tidak, tapi kedua raksasa ini pada antri. Tunggu sampai bayi-bayi selesai minum. Kalau nyonya Belang yang tunggu, itu masuk akal, sebab dia itu ibunya. Tapi variasinya ada juga. Besoknya saya lihat bang Hitam datang hati-hati, lalu ikut minum bersama pancakucing kecil itu. Tanpa menyikut kiri-kanan atau main gertak sambal. Aneh! Beberapa hari kemudian saya pertajam eksperimen ini. Ketika melihat pak Item nongkrong di atas dinding, saya taruh sepiring nasi dan tulang ayam di dekat grup Indonesia Lima. Pak Item melompat. Sialan! Ada anak kucing yang lebih dulu menyergap tulang yang masih berdaging ini. Raja Hitam tancap rem di tengah jalan, lalu . . . duduk saja mengamati sang Juara cilik. Ada anak lain yang mau merebut ayam ini, tapi dia mundur oleh geraman si pemenang. Tak ada perkelahian. Wah, sayang! kata saya sebagai manusia. Penutup cerita: ketika tulang itu ditinggalkan si anak, barulah Hitam Kelam datang menjumputnya. Hanya dia yang bisa menggarap sisanya, seperti kerja mobil sampah modern itu. Kletak-kletuk-krak-krek .... Coba. Sampai kalau yang kecil mendapat rezeki, yang raksasa masih mengalah juga. Bagaimana saya bisa mengerti kebudayaan ini. Kalau kita sih, orang kecil musti menyingkir dan musti dipreteli seandainya orang besar mau dapat rezeki. Nah, lain kucing, lain manusia!

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus