MUNGKIN ada baiknya menengok sebentar ke abad ke-17 di hari
peringatan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ini.
Di abad itu dua kerajaan Indonesia berada pada masa
jaya-jayanya: Aceh dan Mataram. Iskandar Muda (1607-1636) dan
Sultan Agung (1613-1645) keduanya merupakan raja terbesar, dan
ekspansionistis, dari masing-masing kerajaan. Keduanya juga
hidup dalam abad ketika persenjataan modern (senapan dan meriam,
bagaimanapun primitifnya) sudah dipakai. Dan persenjataan modern
itu tentunya mempengaruhi struktur angkatan perang dan
pembaeyaannya.
Tetapi pertama-tama, apakah fungsi perang dan angkatan perang di
zaman itu?
Dalam sejarah tercatat, hampir semua dinasti atau kerajaan,
bahkan seorang raja, naik ke tahta dengan kekerasan. Di zaman
sekarang tindakan itu akan disebut "pemberontakan", tapi di abad
ke-17 ia hanya disebut "perang". Sebab hak pada akhirnya
terletak tidak pada legalitas, ataupun hak kelahiran seorang
raja, tetapi sering dilihat sebagai sesuatu yang berada di pihak
yang paling besar kekuatan fisiknya.
Demikianlah dinasti Dar UI Kamal dari Aceh menjadi pusat
kekuatan, setelah memberontak kepada Pasir -- sebagaimana halnya
Mataram terhadap Pajang. Iskandar Muda, raja ketiga dan terbesar
dari dinasti itu, merebut tahtanya dari sang paman. Juga Sultan
Agung naik dengan pelbagai kesulitan. Kedua raja itu pun
memerintah dengan sangat keras, dengan eksekusi-eksekusi, baik
secara massal maupun terhadap pribadi musuh-musuhnya.
Seakan-akan alat teror dipakai untuk menguasai rimba politik
Aceh dan Jawa Tengah.
PERAMPOKAN DAN PERDAGANGAN
Juga usaha danerdagangankedua kerajaan itu dilaksanakan dengan
kekerasan. Arlinya, dengan memaksakan monopoli dan menguasai
produksi sumber-sumber di berbagai daerah lain. Antara
perampokan di laut dan perdagangan pada masa itu hampir tak ada
bedanya --suatu hal yang juga dilakukan kumpeni-kumpeni Barat.
Tentu, sebuah negara maritim kemudian, kalau mereka sudah cukup
besar perdagangannya, dan sudah jadi pusat komersial, biasanya
mengubah sifat kekerasan dan paksaan itu. Karena pada akhirnya
lebih menguntungkan, negara itu kemudian jadi negara dagang yang
sungguh-sungguh, dengan hidup dari masuknya bea dan cukai.
Namun yang ingin diterangkan di sini ialah bahwa kekerasan serta
perang, dalam negara tradisional, merupakan suatu fungsi
sehari-hari. Dalam keadaan itu, jabatan perang dan Sipil tidak
ada: pegawai negeri atau bupati yang sekarang kita kenal, di
zaman lampau juga berfungsi dalam perang.
Tak mengherankan bila seluruh tenaga masyarakat dikerahkan untuk
peperangan. Berlainan dengan Eropa di zaman itu, maka baik di
Jawa maupun di Aceh angkatan perang didasarkan atas konskripsi
atau mobilisasi umum. Orang Eropa yang melawat ke Indonesia
waktu itu heran melihat tradisi demikian: tentara raja-raja
mereka sendiri cuma terdiri atas tentara sewaan atau tentara
profesional. Di zaman kita sekarang yang terjadi sebaliknya:
sekarang di Eropa ada tentara konskripsi, yaitu melalui
mobilisasi rakyat, sedang di Indonesia justru tak ada lagi
konskripsi dalam arti yang seperti itu.
Di abad ke-17 itu, karena konskripsi umum, tentara kerajaan di
Indonesia berjumlah sangat besar di mata orang Eropa Sultan
Agurlg konon sampai 300.000 prajuritnya. Sultan Malaka, di waktu
jatuhnya pusat kerajaannya ke tangan Portugis (151 1), punya
tentara 100.000--yang tak dipakai melawan Portugis karena
mengalami perpecahan dalam tubuhnya. Tentara raja Gowa di
Sulawesi konon sampai 200.000. Tentara Aceh di bawah Iskandar
Muda memang nampaknya kecil, bagi ukuran Indonesia, yakni
40.000, tapi toh tetap besar di mata orang Eropa.
Sebab Portugis menyerang Malaka hanya dengan 700 serdadu
Portugis dan 300 tentara India. Batavia, waktu menghadapi
serbuan Sultan Agung di tahun 1628, paling banyak hanya punya
5.000 tentara. Serdadu VOC yang di masa kemudian berada di
pedalaman Jawa, untuk membantu raja-raja Mataram menghadapi
pemberontakan, tak pernah melebihi 1.000 sampai 2.000 orang. Itu
pun kebanyakan terdiri dari orang Bali, Ambn dan lain-lain.
LOGISTIK KERAK NASI
Namun kesan besarnya tentara kerajaan di Indonesia masa itu bisa
meleset. Sebagian terbesar tentara itu tak dipakai untuk perang,
tapi sebagai kuli yang mengangkut makanan, meriam, mesiu dan
lainnya. Dari 200.000 tentara raja Goa misalnya hanya 40.000
yang untuk bertempur. Sebab di masa itu sebagian besar
pengangkutan dilakukan dengan tenaga manusia.
Tapi sementara itu tak perlu dijelaskan lagi bahwa soal logistik
bagi tentara berjumlah besar itu merupakan soal yang pelik dan
nomor satu. Setiap orang dalam tentara rupanya harus menyediakan
bahan makanan untuk 3 bulan. Biasanya itu terdiri dari nasi yang
dikeringkan (kerak). Dengan sendirinya tentara besar itu sangat
sensitif terhadap ancaman kelaparan dan epidemi. Tak jarang
jalanjalan yang mereka lalui habis dirampas akan segala bahan
makanan.
Sering juga raja mendirikan lumbung-lumbung padi sepanjang
perjalanan, seperti ketika Sultan Agung bersiap menyerang
atavia di tahun 1628. Sayang, lumbung-lumbung itu berhasil
dihancurkan VOC. Musuh memang sering menyadari rawannya logistik
tentara besar itu.
Dan dengan singkat tentara itu dapat mengalami disintegrasi
total, secepat batu es di terik matahari Indonesia. Dengan
timbulnya kekurangan makanan di tentara desersi pun terjadi Atau
kalau tentara terlalu lama di medan perang, dan panen di kampung
menunggu, orang pada pulang dengan atau tanpa perintah.
Dengan sendirinya daerah yang dilalui pasukan yang melakukan
desersi semacam ini - tentara yang kekurangan makanan--habis
dirampok dan dirampas. Seluruh negara dapat mengalami krisis dan
berdisintegrasi pula. Suatu masa misalnya Jawa penuh dengan
gerombolan bersenjata, yang akibatnya tak terlukiskan dengan
kata-kata. Disintegrasi tentara semacam ini bahkan lebih buruk
akibatnya daripada perangnya sendiri.
SISTEM CACAH DAN GAJAH
Kalau tadi dikatakan bahwa peperangan merupakan fungsi umum dari
kerajaan, hal ini juga tampak dari susunan masyarakat dan sistem
perekonomiannya. Tanah misalnya dibagi dalam cacah, yakni
keluarga petani. Tiap cacah terdiri dari dua orang bersenjata
dan 3 orang lain yang harus memelihara kedua lelaki bersenjata
itu.
Tiap bupati atau priyayi lain, juga para pangeran, diberi jatah
cacah. Jumlahnya tergantung pada hierarki kedudukannya -- 200,
800 atau sampai 2.000 cacah. Dalam keadaan perang, para
bangsawan itu harus menyediakan sekian orang bersenjata, menurut
jumlah cacahnya.
Dengan sistem cacah itulah,tentara, para lelaki bersenjata itu,
dijamin hidupnya. Tapi di samping tentara yang nampaknya tak
dibayar itu, ada tentara pengawal pribadi raja, biasanya orang
asing. Memang di Asia Tenggara pada waktu itu raja sering punya
tentara pengawal pribadi asing, seperti raja Ayuthia (Muangthai
yang punya pasukan Jepang. Di Jawa, selain tentara dari luar
Jawa, ada juga serdadu kumpeni. Pasukan VOC ini harus menjaganya
dari ancaman kudeta istana, seraya menjaga kepentingan kumpeni,
tapi pada akhirnya raja juga yang membayar mereka.
Bagaimana dengan persenjataan tentara?
Iskandar Muda punya 90.0 sampai 1.000 ekor gajah. Ibukota bahkan
tak dikelilingi dinding, sebab, katanya, dindingnya adalah
gajah, tentara dan kuda. Baru nanti pada masa mundurnya
kekuasaan Aceh dalam tahun 1675 kota kraton Aceh dikelilingi
dinding.
Kecuali gajah, Iskandar punya 200 kuda bagus. Jumlah meriam ada
5.000 pucuk,, meskipun arti "meriam" di sini mungkin meliputi
senapan. Selain rampasan dari Portugis, meriam Aceh banyak yang
datang dari Turki, dan kemudian juga dibuat di Aceh dengan
bantuan para ahli Turki (yang kemudian diusir).
Dalam persenjataan modern, Mataram tak demikian hebat. Pucuk
senapan, termasuk meriam, diberitakan tak melebihi 2.000. Dalam
serangan terhadap Batavia, maupun terhadap Surabaya, meriam juga
dipakai, dan mungkin juga diangkut gajah, meskipun jumlah gajah
tak menyolok dibandingkan dengan kuda. Tetapi juga seperti gajah
dan kuda di Aceh, bagian angkatan perang ini tak dipakai dalam
satu formasi seperti kavaleri di Eropa, melainkan hanya untuk
memimpin tentara yang berjalan kaki.
Dalarn hal angkatan laut Aceh tentunya unggul, sebagai negara
maritim. Pulau-pulau di depan pelabuhan ibukota dipertahankan
dengan benteng-benteng yang dipersenjatai meriam besar. Di
samping itu Iskandar punya 200 kapal besar yang masing-masing
dapat mengangkut 400 orang. Raja-raja Goa pada waktu itu juga
punya kapal yang dapat mengangkut 200 orang, tapi lebih menyukai
kapal kecil yang lebih cepat.
Bagaimana Mataram? Di zaman itu banyak kapal dibuat di pantai
pulau Jawa, tapi anehnya angkatan laut Mataram sendiri jarang
dibicarakan. Hanya sekali, yakni waktu menyerang Batavia,
disebut Sultan Agung memakai 200 kapal besar clan kecil. Rupanya
pembuatan kapal hanya untuk ekspor.
BEAYA YANG TAK TERTANGGUNG
Dengan keadaan itu, bagaimana soal pembeayaan? Baik Sultan
Agung maupun Iskandar terpaksa mengadakan pajak baru, atau
menaikkan yang sudah ada guna menutup beaya perang. Namun
perbandingan antara beaya peran modern dengan kemampuan ekonomi
kerajaan-kerajaan di Indonesia tidak seimbang.
Setelah memerinah 34 tahun, misalnya, Amangkurat I pengganti
Sultan Agung, berhasil mengumpulkan harta tunai kerajaan
sejumlah kira-kira 350.000 reyal. Untuk mengalahkan
pemberontakan Trunojoyo, raja Mataram berikutnya, Amangkurat II
(1677-703) selama 8 tahun berhutang pada VOC sebesar 1.540.000
reyal. Artinya, 4 kali lipat jumlah harta tunai Mataram yang
dikumpulkan seorang raja selama 34 tahun memerintah!
Iskandar Muda dari Aceh pada akhir pemerintahannya kecuali
menaikkan pajak juga kemudian mendevaluasikan mata uang Aceh.
Nilainya jadi seperempat dari harga mata uang emas yang dahulu.
Sebelum devaluasi ini mata uang Aceh terkenal di mana-mana, dan
dianggap sehagai mata uang terpercaya sampai di lndia (bahkan
di Istana Moghul di New Delhi), dan tentunya juga di Turki.
Namun setelah devaluasi, mata uang Aceh kehilangan kepercayaan
selama-lamanya.
Konsekwensi perang modern, dengan senjata api, dalam sejarah
Eropa telah diselidiki yakni timbulnya kekuasaan mutlak raja dan
runtuhnya istem feodalisme. Setidaknya salah satu akibat
beratnyabeayaperang di Eropa ialah hilangnya kekuasaan para
bangsawan penguasa wilayah, kaum feodal, dan terpusatnya
kekuasaan di tangan monarki di pusat. Namun apa akibat perang
modern bagi kerajaan di Indonesia belum pernah ditinjau.
Mungkinkah salah satu sebab keruntuhan kerajaan tradisional
ialah karena tak sanggup menanggung beaya tinggi perang modern,
dengan organisasi keuangan yang lebih efisien? Sehingga
kolonialisme bisa masuk ke mari? Sering memang berkembangnya
kolonialisme dilihat sebagai kelanjutan perkembangan kapitalisme
internasional di Barat. Tetapi mungkin juga kegagalan kita
sendiri dalam menghadapi mereka, perlu lebih banyak direnungkan.
Singapura, September 1979.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini