Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Angkatan perang Indonesia,dalam ...

Pada abad ke-17, angkatan perang dua kerajaan besar indonesia, mataram dan aceh, cukup besar. pada waktu itu banyak dipakai gajah dan kuda sebagai alat angkut, meriam maupun kapal perang.

6 Oktober 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUNGKIN ada baiknya menengok sebentar ke abad ke-17 di hari peringatan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ini. Di abad itu dua kerajaan Indonesia berada pada masa jaya-jayanya: Aceh dan Mataram. Iskandar Muda (1607-1636) dan Sultan Agung (1613-1645) keduanya merupakan raja terbesar, dan ekspansionistis, dari masing-masing kerajaan. Keduanya juga hidup dalam abad ketika persenjataan modern (senapan dan meriam, bagaimanapun primitifnya) sudah dipakai. Dan persenjataan modern itu tentunya mempengaruhi struktur angkatan perang dan pembaeyaannya. Tetapi pertama-tama, apakah fungsi perang dan angkatan perang di zaman itu? Dalam sejarah tercatat, hampir semua dinasti atau kerajaan, bahkan seorang raja, naik ke tahta dengan kekerasan. Di zaman sekarang tindakan itu akan disebut "pemberontakan", tapi di abad ke-17 ia hanya disebut "perang". Sebab hak pada akhirnya terletak tidak pada legalitas, ataupun hak kelahiran seorang raja, tetapi sering dilihat sebagai sesuatu yang berada di pihak yang paling besar kekuatan fisiknya. Demikianlah dinasti Dar UI Kamal dari Aceh menjadi pusat kekuatan, setelah memberontak kepada Pasir -- sebagaimana halnya Mataram terhadap Pajang. Iskandar Muda, raja ketiga dan terbesar dari dinasti itu, merebut tahtanya dari sang paman. Juga Sultan Agung naik dengan pelbagai kesulitan. Kedua raja itu pun memerintah dengan sangat keras, dengan eksekusi-eksekusi, baik secara massal maupun terhadap pribadi musuh-musuhnya. Seakan-akan alat teror dipakai untuk menguasai rimba politik Aceh dan Jawa Tengah. PERAMPOKAN DAN PERDAGANGAN Juga usaha danerdagangankedua kerajaan itu dilaksanakan dengan kekerasan. Arlinya, dengan memaksakan monopoli dan menguasai produksi sumber-sumber di berbagai daerah lain. Antara perampokan di laut dan perdagangan pada masa itu hampir tak ada bedanya --suatu hal yang juga dilakukan kumpeni-kumpeni Barat. Tentu, sebuah negara maritim kemudian, kalau mereka sudah cukup besar perdagangannya, dan sudah jadi pusat komersial, biasanya mengubah sifat kekerasan dan paksaan itu. Karena pada akhirnya lebih menguntungkan, negara itu kemudian jadi negara dagang yang sungguh-sungguh, dengan hidup dari masuknya bea dan cukai. Namun yang ingin diterangkan di sini ialah bahwa kekerasan serta perang, dalam negara tradisional, merupakan suatu fungsi sehari-hari. Dalam keadaan itu, jabatan perang dan Sipil tidak ada: pegawai negeri atau bupati yang sekarang kita kenal, di zaman lampau juga berfungsi dalam perang. Tak mengherankan bila seluruh tenaga masyarakat dikerahkan untuk peperangan. Berlainan dengan Eropa di zaman itu, maka baik di Jawa maupun di Aceh angkatan perang didasarkan atas konskripsi atau mobilisasi umum. Orang Eropa yang melawat ke Indonesia waktu itu heran melihat tradisi demikian: tentara raja-raja mereka sendiri cuma terdiri atas tentara sewaan atau tentara profesional. Di zaman kita sekarang yang terjadi sebaliknya: sekarang di Eropa ada tentara konskripsi, yaitu melalui mobilisasi rakyat, sedang di Indonesia justru tak ada lagi konskripsi dalam arti yang seperti itu. Di abad ke-17 itu, karena konskripsi umum, tentara kerajaan di Indonesia berjumlah sangat besar di mata orang Eropa Sultan Agurlg konon sampai 300.000 prajuritnya. Sultan Malaka, di waktu jatuhnya pusat kerajaannya ke tangan Portugis (151 1), punya tentara 100.000--yang tak dipakai melawan Portugis karena mengalami perpecahan dalam tubuhnya. Tentara raja Gowa di Sulawesi konon sampai 200.000. Tentara Aceh di bawah Iskandar Muda memang nampaknya kecil, bagi ukuran Indonesia, yakni 40.000, tapi toh tetap besar di mata orang Eropa. Sebab Portugis menyerang Malaka hanya dengan 700 serdadu Portugis dan 300 tentara India. Batavia, waktu menghadapi serbuan Sultan Agung di tahun 1628, paling banyak hanya punya 5.000 tentara. Serdadu VOC yang di masa kemudian berada di pedalaman Jawa, untuk membantu raja-raja Mataram menghadapi pemberontakan, tak pernah melebihi 1.000 sampai 2.000 orang. Itu pun kebanyakan terdiri dari orang Bali, Ambn dan lain-lain. LOGISTIK KERAK NASI Namun kesan besarnya tentara kerajaan di Indonesia masa itu bisa meleset. Sebagian terbesar tentara itu tak dipakai untuk perang, tapi sebagai kuli yang mengangkut makanan, meriam, mesiu dan lainnya. Dari 200.000 tentara raja Goa misalnya hanya 40.000 yang untuk bertempur. Sebab di masa itu sebagian besar pengangkutan dilakukan dengan tenaga manusia. Tapi sementara itu tak perlu dijelaskan lagi bahwa soal logistik bagi tentara berjumlah besar itu merupakan soal yang pelik dan nomor satu. Setiap orang dalam tentara rupanya harus menyediakan bahan makanan untuk 3 bulan. Biasanya itu terdiri dari nasi yang dikeringkan (kerak). Dengan sendirinya tentara besar itu sangat sensitif terhadap ancaman kelaparan dan epidemi. Tak jarang jalanjalan yang mereka lalui habis dirampas akan segala bahan makanan. Sering juga raja mendirikan lumbung-lumbung padi sepanjang perjalanan, seperti ketika Sultan Agung bersiap menyerang atavia di tahun 1628. Sayang, lumbung-lumbung itu berhasil dihancurkan VOC. Musuh memang sering menyadari rawannya logistik tentara besar itu. Dan dengan singkat tentara itu dapat mengalami disintegrasi total, secepat batu es di terik matahari Indonesia. Dengan timbulnya kekurangan makanan di tentara desersi pun terjadi Atau kalau tentara terlalu lama di medan perang, dan panen di kampung menunggu, orang pada pulang dengan atau tanpa perintah. Dengan sendirinya daerah yang dilalui pasukan yang melakukan desersi semacam ini - tentara yang kekurangan makanan--habis dirampok dan dirampas. Seluruh negara dapat mengalami krisis dan berdisintegrasi pula. Suatu masa misalnya Jawa penuh dengan gerombolan bersenjata, yang akibatnya tak terlukiskan dengan kata-kata. Disintegrasi tentara semacam ini bahkan lebih buruk akibatnya daripada perangnya sendiri. SISTEM CACAH DAN GAJAH Kalau tadi dikatakan bahwa peperangan merupakan fungsi umum dari kerajaan, hal ini juga tampak dari susunan masyarakat dan sistem perekonomiannya. Tanah misalnya dibagi dalam cacah, yakni keluarga petani. Tiap cacah terdiri dari dua orang bersenjata dan 3 orang lain yang harus memelihara kedua lelaki bersenjata itu. Tiap bupati atau priyayi lain, juga para pangeran, diberi jatah cacah. Jumlahnya tergantung pada hierarki kedudukannya -- 200, 800 atau sampai 2.000 cacah. Dalam keadaan perang, para bangsawan itu harus menyediakan sekian orang bersenjata, menurut jumlah cacahnya. Dengan sistem cacah itulah,tentara, para lelaki bersenjata itu, dijamin hidupnya. Tapi di samping tentara yang nampaknya tak dibayar itu, ada tentara pengawal pribadi raja, biasanya orang asing. Memang di Asia Tenggara pada waktu itu raja sering punya tentara pengawal pribadi asing, seperti raja Ayuthia (Muangthai yang punya pasukan Jepang. Di Jawa, selain tentara dari luar Jawa, ada juga serdadu kumpeni. Pasukan VOC ini harus menjaganya dari ancaman kudeta istana, seraya menjaga kepentingan kumpeni, tapi pada akhirnya raja juga yang membayar mereka. Bagaimana dengan persenjataan tentara? Iskandar Muda punya 90.0 sampai 1.000 ekor gajah. Ibukota bahkan tak dikelilingi dinding, sebab, katanya, dindingnya adalah gajah, tentara dan kuda. Baru nanti pada masa mundurnya kekuasaan Aceh dalam tahun 1675 kota kraton Aceh dikelilingi dinding. Kecuali gajah, Iskandar punya 200 kuda bagus. Jumlah meriam ada 5.000 pucuk,, meskipun arti "meriam" di sini mungkin meliputi senapan. Selain rampasan dari Portugis, meriam Aceh banyak yang datang dari Turki, dan kemudian juga dibuat di Aceh dengan bantuan para ahli Turki (yang kemudian diusir). Dalam persenjataan modern, Mataram tak demikian hebat. Pucuk senapan, termasuk meriam, diberitakan tak melebihi 2.000. Dalam serangan terhadap Batavia, maupun terhadap Surabaya, meriam juga dipakai, dan mungkin juga diangkut gajah, meskipun jumlah gajah tak menyolok dibandingkan dengan kuda. Tetapi juga seperti gajah dan kuda di Aceh, bagian angkatan perang ini tak dipakai dalam satu formasi seperti kavaleri di Eropa, melainkan hanya untuk memimpin tentara yang berjalan kaki. Dalarn hal angkatan laut Aceh tentunya unggul, sebagai negara maritim. Pulau-pulau di depan pelabuhan ibukota dipertahankan dengan benteng-benteng yang dipersenjatai meriam besar. Di samping itu Iskandar punya 200 kapal besar yang masing-masing dapat mengangkut 400 orang. Raja-raja Goa pada waktu itu juga punya kapal yang dapat mengangkut 200 orang, tapi lebih menyukai kapal kecil yang lebih cepat. Bagaimana Mataram? Di zaman itu banyak kapal dibuat di pantai pulau Jawa, tapi anehnya angkatan laut Mataram sendiri jarang dibicarakan. Hanya sekali, yakni waktu menyerang Batavia, disebut Sultan Agung memakai 200 kapal besar clan kecil. Rupanya pembuatan kapal hanya untuk ekspor. BEAYA YANG TAK TERTANGGUNG Dengan keadaan itu, bagaimana soal pembeayaan? Baik Sultan Agung maupun Iskandar terpaksa mengadakan pajak baru, atau menaikkan yang sudah ada guna menutup beaya perang. Namun perbandingan antara beaya peran modern dengan kemampuan ekonomi kerajaan-kerajaan di Indonesia tidak seimbang. Setelah memerinah 34 tahun, misalnya, Amangkurat I pengganti Sultan Agung, berhasil mengumpulkan harta tunai kerajaan sejumlah kira-kira 350.000 reyal. Untuk mengalahkan pemberontakan Trunojoyo, raja Mataram berikutnya, Amangkurat II (1677-703) selama 8 tahun berhutang pada VOC sebesar 1.540.000 reyal. Artinya, 4 kali lipat jumlah harta tunai Mataram yang dikumpulkan seorang raja selama 34 tahun memerintah! Iskandar Muda dari Aceh pada akhir pemerintahannya kecuali menaikkan pajak juga kemudian mendevaluasikan mata uang Aceh. Nilainya jadi seperempat dari harga mata uang emas yang dahulu. Sebelum devaluasi ini mata uang Aceh terkenal di mana-mana, dan dianggap sehagai mata uang terpercaya sampai di lndia (bahkan di Istana Moghul di New Delhi), dan tentunya juga di Turki. Namun setelah devaluasi, mata uang Aceh kehilangan kepercayaan selama-lamanya. Konsekwensi perang modern, dengan senjata api, dalam sejarah Eropa telah diselidiki yakni timbulnya kekuasaan mutlak raja dan runtuhnya istem feodalisme. Setidaknya salah satu akibat beratnyabeayaperang di Eropa ialah hilangnya kekuasaan para bangsawan penguasa wilayah, kaum feodal, dan terpusatnya kekuasaan di tangan monarki di pusat. Namun apa akibat perang modern bagi kerajaan di Indonesia belum pernah ditinjau. Mungkinkah salah satu sebab keruntuhan kerajaan tradisional ialah karena tak sanggup menanggung beaya tinggi perang modern, dengan organisasi keuangan yang lebih efisien? Sehingga kolonialisme bisa masuk ke mari? Sering memang berkembangnya kolonialisme dilihat sebagai kelanjutan perkembangan kapitalisme internasional di Barat. Tetapi mungkin juga kegagalan kita sendiri dalam menghadapi mereka, perlu lebih banyak direnungkan. Singapura, September 1979.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus