Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Apa mungkin?

Dialog antaragama cenderung konfrontatif bila menyinggung soal penyebaran agama. dialog bisa lebih terbuka bila menghormati agama lain.

12 September 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Menarik!" bisik seorang sahabat saya ketika membaca "Jembatan Baru dalam Kehidupan Beragama" (TEMPO, 29 Agustus 1992, Agama). Saya pun sepakat dengan pernyataan spontan itu. Lalu, teman saya melanjutkan, "Betapa mengagumkan bila pada suatu forum yang heterogen itu, pengalaman-pengalaman keimanan saya, atau lebih jauh lagi, pengalaman-pengalaman spritual saya dapat dipahami atau dirasakan peserta lainnya." Padahal, katanya lagi, dalam kondisi homogen saja pengungkapannya bisa menimbulkan perdebatan bekepanjangan. "Itu kan karena atribut-atribut pengalaman keimanan itu tidak dilepaskan," jawab saya. Kita mau berbicara tentang pengalaman (keimanan) yang sangat pribadi, kok diukur berdasarkan standar umum suatu golongan. Inilah inti persoalannya. Sulitnya melepaskan pengalaman keimanan pribadi dari faktor psikologis, sosial budaya, dan lain-lain dari "kelompok saya", itu menunjukkan betapa terseleksinya peserta dialog semacam ini. Di sinilah letak menariknya. "Saya sendiri sesungguhnya belum mampu membicarakan pengalaman jenis ini tanpa menyinggung sedikit pun pandangan saya tentang hubungan Sang Pencipta dengan ciptaanNya atau hubungan antar sesama ciptaan," kata teman saya tadi dengan tidak berbisik lagi. "Saya pun ragu bahwa dialog yang terjadi pada tingkat beberapa pribadi alias aksidental dapat membantu untuk memahami sesuatu yang lebih besar, bahkan fenomenal. Apalagi untuk soal-soal begini kan tidak bisa dimasak dengan hukum logika deduksi induksi," kata sahabat saya itu kian bersemangat. Sejauh pengamatan saya, katanya, selama ini yang membut dialog antar agama cenderung konfrontatif kalau pembicaraannya sudah mulai menyinggung soal teknis operasional penyebaran agama. Soal yang ini, kata sahabat saya itu sambil menunjuk dadanya, memang sudah samasama dimengerti, bukan bagiannya dialog. Di sinilah menurut saya letak persoalannya. Yang lebih penting sebenarnya bukan bagaimana pengalaman pribadi saya dengan Tuhan atau bagaimana pula pengalaman kamu, tapi kita ingin tahu apakah dialog antar pribadi itu bisa berpengaruh sampai ke tingkat para pembuat kebijaksanaan, bahkan ke ujung tombak "pengajak ke Jalan Tuhan" di seluruh lapisan masyarakat. "Begitupun, saya nggak apriori kok, kita lihat saja. Paling tidak dengan dialog ini kita bisa lebih terbuka dan menghormati agama lain sebagai institusi maupun sebagai 'hubungan cinta saya pribadi dengan Tuhan saya'," komentar rekan saya itu menutup pembicaraan. NASH AZFA MANIK Mahasiswa Fapsi Unpad Bandung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus