Tulisan TEMPO tentang krisis di negara bekas Yogoslavia (TEMPO, 22 Agustus 1992, Luar Negeri), kembali menyadarkan kita pada dua persoalan. Pertama, perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia yang selama ini sering didengung-dengungkan, ternyata masih sebuah slogan. Kedua, eksistensi (baca: kebangkitan) umat Islam senantiasa dibarengi dengan kekuatiran dan ketidak relaan berbagai pihak. Tindakan Serbia yang jelas-jelas mencabik-cabik hak muslim Bosnia, tak mendapat reaksi sepadan dari Amerika Serikat, negara yang acap kali mengklaim diri sebagai pembela hak asasi paling gigih. Juga negara Barat lainnya. Biasanya, negara-negara Barat cepat bertindak jika suatu negara yang menurutnya melanggar hak kemanusiaan. Kasus Irak, contohnya. Nah, wajar bila ada orang yang mengkaitkan dinginnya sikap pihak Barat terhadap krisis Bosnia ini sebagai sikap tidak rela melihat eksistensi umat Islam. Kalau itu memang kenyataannya, lalu kenapa negara-negara Islam atau negara berpenduduk mayoritas muslim yang tergabung dalam OKI ikut-ikutan bersikap dingin. Kenapa baru Pakistan, Iran, dan Malaysia yang bersuara secara proporsional ? Apakah negara- negara OKI yang lainnya menunggu agar Amerika Serikat menghajar Serbia ? Sungguh sebuah harapan yang tidak pada tempatnya. Persoalan Bosnia Hercegovina adalah persoalan umat Islam. Tentunya di sini kita berbicara soal ukhuwah Islamiyah dan sekaligus soal kemanusiaan. Tegakah umat Islam membiarkan hak hak kemanusian saudaranya tercabik-cabik. Yang dibutuhkan sekarang adalah tindakan tegas terhadap Serbia agar menghentikan kekejamannya. Ini sebuah panggilan persaudaraan dan kemanusiaan. MOHAMMAD NURFATONI Aktivis Pusat Studi Islam Ketintang IV.5 Surabaya 60243
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini