Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tawuran antar-aparat negara tidak hanya memalukan, tapi juga menandakan betapa rendah keprofesionalan mereka. Bayangkan, selama seharian, puluhan tentara menyerbu serta membakar markas dan beberapa pos polisi yang berkilometer jaraknya. Peristiwa di siang bolong yang mencemaskan itu terjadi pekan lalu di Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan.
Pemicunya ternyata miskomunikasi belaka, setidaknya menurut laporan resmi. Pihak tentara merasa tak ada kemajuan dalam proses hukum polisi yang menembak mati rekan satu kesatuan mereka sebulan silam. Padahal pihak polisi mengaku sudah menyelesaikan berkas hukum, dengan ancaman penjara 15 tahun bagi tersangka, dan tinggal melimpahkannya kepada penuntut umum.
Bentrokan sesama abdi negara gara-gara kegagalan komunikasi seperti ini bukan hal baru. Insiden adu jotos sesama tentara atau prajurit melawan polisi juga bukan berita langka. Menurut catatan Tentara Nasional Indonesia, sejak 2005 sampai 2012, terjadi 26 konflik serius antara aparat militer dan polisi.
Ini mungkin ekses pemisahan tugas polisi sebagai penegak hukum dan kewajiban TNI sebagai penjaga kedaulatan negara. Ekses ini sebenarnya tak sulit dimitigasi bila para komandan diwajibkan membangun komunikasi dan saling menghormati di wilayah tugas masing-masing.
Dalam hal ini, pihak polisi, yang meraih otonomi dan kewenangan tambahan di era reformasi, memang perlu berkaca. Soalnya, banyak keluhan masyarakat tentang penyalahgunaan kewenangan ini. Kesan arogan pada polisi barangkali merupakan akibat kedudukan polisi yang langsung di bawah presiden dan bukan subordinat kementerian kehakiman atau kementerian dalam negeri seperti jamak terjadi di negara maju.
Barangkali kesan jemawa itulah yang membuat polisi banyak diserang, bukan hanya oleh tentara. Pada 2011 saja tercatat 26 kali serbuan ke kantor polisi, sebagian besar dilakukan bukan oleh kalangan militer. Pelakunya kelompok terduga teroris, gerombolan separatis, mahasiswa, serta masyarakat kawasan. Bahkan, pekan lalu, geng preman anak buah Hercules pun berani menyerang polisi di Ibu Kota.
Dalam kasus penyerangan oleh tentara, mungkin itu lantaran polisi tak berwibawa atau tentara kurang berdisiplin atau karena dua kemungkinan tersebut. Para pemimpin kedua institusi ini masih perlu bekerja keras agar anak buah mereka semakin profesional. Yang utama, para pemimpin wajib memberikan teladan dalam perilaku sehari-hari dengan selalu taat aturan. Atasan mesti konsisten memberikan promosi atau demosi terhadap anak buah yang berprestasi atau yang melanggar hukum.
Ketegasan terhadap pelanggar perlu dilanjutkan. Tahun lalu, misalnya, Kepala Kepolisian RI menyatakan telah menghukum sekitar 500 polisi yang melakukan pelanggaran. Pemimpin TNI Angkatan Darat juga memecat dan memenjarakan 20 serdadu yang terlibat penyerangan markas polisi Binjai pada 2002 serta membekukan batalion mereka selama setahun. Masyarakat kini menunggu ketegasan terhadap pelanggar di tingkat atas. Ada kesan kuat markas besar "sungkan" menghukum para jenderal.
Sikap ini perlu cepat diubah. Seperti kata Napoleon Bonaparte, "Tak ada prajurit yang bersalah. Yang bertanggung jawab adalah para komandan." Jadi tak akan ada tawuran antar-aparat bila para komandan sudah bertindak profesional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo