Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TERLALU berat rupanya Hercules Rosario Marshal memikul gelar kesatria dari Keraton Kasunanan Surakarta. Belum genap setahun menyandang sebutan "Kanjeng Raden Haryo Yudhopranoto", ia justru melakukan tindakan yang sama sekali tak mencerminkan sikap kesatria. Bersama sekitar 50 anak buahnya, sang Kanjeng diduga merusak pertokoan di Jakarta Barat dan memeras pengusaha di kawasan itu. Sangatlah pantas jika kemudian polisi menangkap gerombolan tersebut.
Premanisme, bagaimanapun, tak boleh mendapat tempat di negeri ini. Tak jelas alasan Paku Buwono XIII Tedjowulan memberikan gelar kebangsawanan kepada "jawara" ini. Tentu tak mungkin hanya karena keduanya pernah berteman di Timor Timur. Kita tak tahu jasa besar Hercules pada kebudayaan Jawa. Pemberian gelar itu justru memunculkan kesan Keraton tak lagi peka memilih tokoh yang benar-benar berjasa bagi Surakarta.
Di Jakarta, Hercules lebih dikenal sebagai "penguasa" jalanan. Ulah kelompok yang mengutip pungutan seenaknya dari para pedagang ini sangat meresahkan. Bukan cuma kelompok Hercules, puluhan kelompok lain menguasai hampir tiap sudut jalanan Ibu Kota. Mereka memalak siapa saja yang lewat, memeras, bahkan mengintimidasi orang-orang yang menghalangi aksi mereka. Selama ini, praktek kekerasan para preman itu sering kali dibiarkan oleh aparatur keamanan.
Sering pula kita menyaksikan anggota masyarakat menyewa preman untuk melindungi usaha mereka. Pihak ini memilih membayar "biaya keamanan" kepada preman ketimbang meminta perlindungan polisi. Praktek ini menggembungkan bisnis premanisme selama bertahun-tahun. Hercules, misalnya, menguasai Pasar Tanah Abang pada awal 1990-an hingga 1997, sebelum disingkirkan kelompok Ucu Kambing. Hercules kemudian bergeser ke Jakarta Barat. Ada pula John Kei, yang menguasai kawasan Kota.
Pengkavelingan wilayah kekuasaan itu terjadi karena polisi abai menjalankan tugas sebagai pelindung masyarakat. Praktis para preman mengambil alih tugas polisi yang semestinya menjamin keamanan warga negara. Jika hal ini terus dibiarkan, bukan tak mungkin masyarakat akan lebih percaya kepada preman ketimbang kepada polisi. Makin berkembang pula anggapan bahwa penegak hukum memang sengaja memelihara kalangan ini.
Bisnis preman jelas tak akan membesar jika sejak menjadi preman pasar mereka tak diberi peluang mengutip "uang keamanan". Orang-orang yang bersengketa lahan tak akan membayar "aparat partikelir" jika otoritas keamanan sigap mengamankan setiap lahan sengketa. Yang terjadi, tak cuma membiarkan, sebagian penegak hukum justru memungut setoran dari para preman. Mereka dijadikan lumbung rezeki, bahkan alat penangguk keuntungan kelompok tertentu.
Kepolisian tentu tak ingin menyimpan citra tak sedap itu. Institusi ini, lewat penangkapan Hercules dan kawan-kawan—juga John Kei yang telah divonis 12 tahun—berupaya menepis anggapan bahwa mereka tak pernah berani menangkap preman. Keberanian mereka kali ini patut diapresiasi. Keberanian itu merupakan modal penting untuk memberantas premanisme hingga tuntas.
Dengan modal ini, polisi selayaknya segera merebut kembali perannya sebagai penegak keamanan. Preman apa pun tak bisa seenaknya mengganggu keamanan dan kenyamanan warga negara. Termasuk preman yang menyandang gelar kesatria dari keraton mana pun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo