Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEGAWAT apa pun kisikan rencana penggulingan dirinya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hendaknya tak usah panik. Sikap tenang mutlak diperlukan bagi seorang presiden dalam merespons setiap isu seram yang berseliweran di pengujung masa pemerintahannya. Namanya juga isu: bisa benar, bisa cuma gertak sambal. Kalaupun demonstrasi itu terjadi, belum tentu skalanya "besar-besaran"—seperti digembar-gemborkan para tokoh di balik demo.
Gosip ini memang membuat kaget kalangan Istana karena muncul tiba-tiba seperti geledek di siang bolong. Peristiwa paling gres yang mengindikasikan rencana kudeta itu muncul dari tayangan televisi Al-Jazeera, yang dinyatakan korespondennya di Jakarta, Step Vaessen, telah terkonfirmasi untuk pertama kalinya. Inti ceritanya: sejumlah pensiunan jenderal, bergandengan tangan dengan para tokoh gerakan Islam garis keras, siap membuat onar dan melancarkan makar.
Isu kedua tentang rencana aksi turun ke jalan yang akan berlangsung 25 Maret. Kabar ini disebut-sebut Presiden ketika melakukan kunjungan kenegaraan ke Budapest, Hungaria, lalu diulangi saat berdialog dua jam lebih dengan para pemimpin redaksi di Istana Merdeka, Jumat pekan lalu. Kesan hendak "menguji kedalaman air" sejauh mana dukungan terhadap gerakan inkonstitusional ini kuat tersirat manakala Yudhoyono bertemu dengan rekan lamanya, Prabowo Subianto—yang kemudian menyerukan penghentian rencana "kudeta".
Langkah memperkuat barikade juga terasa ketika Presiden menerima tujuh jenderal pensiunan dipimpin Luhut Panjaitan. Ketika dikerubungi pers, grup yang berseberangan dengan Prabowo Subianto ini menegaskan sikapnya: masa jabatan Yudhoyono harus berakhir sesuai dengan jadwal yang ditetapkan konstitusi. Para tokoh ormas Islam yang menghadap juga dirangkul agar berada dalam satu biduk dengan Presiden.
Manusiawi rasanya jika Yudhoyono gundah. Informasi yang dia kantongi menerpa bersamaan dengan kabar tak sedap: serangan balik Anas Urbaningrum, yang melepas jaket Ketua Umum Partai Demokrat setelah dinyatakan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai tersangka kasus Hambalang. Gosip seputar keterlibatan putra bungsunya, Edhie "Ibas" Baskoro, dalam perkara Nazaruddin juga terngiang. Belum lagi kasus bola panas Bank Century yang masih digoreng para politikus Senayan.
Para pemuput isu makar ini tampaknya hendak mengganggu konsentrasi Yudhoyono. Ia dikenal sangat sensitif terhadap isu pendongkelan. Goyahnya Presiden, sehingga tak bisa khusyuk mengurusi pemerintahan, menjadi harapan para pendemo. Padahal modal politiknya sangat digdaya: 73,8 juta konstituen atau sekitar 62 persen pemilih langsung. Mereka takkan diam ketika singgasana presiden pilihannya diganggu massa yang jauh lebih kecil demi memenuhi hasrat politik sesaat.
Sejarah gosip rencana penggulingan sejatinya hanya isapan jempol. Demo dahsyat yang ditiupkan menyusul rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak, April tahun lalu, nyatanya berlangsung tanpa tumpahan darah. Desakan machtvorming atau gerakan ekstraparlementer sejak awal periode keduanya ternyata tak bersambut. Presiden toh tetap berkuasa sampai kini. Karena itu, pemerintah jangan terpancing, lalu paranoid, dengan mengembuskan isu penggulingan. Cara ini tak ubahnya pola Orde Baru untuk mengerdilkan gerakan protes terhadap pemerintah.
Benih-benih isu penggulingan ini kudu dienyahkan. Jangan sampai malah diberi rabuk, lalu berkembang subur menjadi spekulasi publik, sehingga menimbulkan kegaduhan baru yang tak produktif. Sikap rileks Presiden merespons isu ini penting. Kepala pemerintahan perlu memberi napas bagi masyarakat yang sedang bergairah, mengalami euforia demokrasi serta kebebasan berekspresi dan berserikat. Mereka kini bebas berbicara dan menilai kinerja pemerintahan, yang di era terdahulu diharamkan karena membahayakan.
Pemerintah boleh saja mempromosikan pertumbuhan ekonomi yang memang spektakuler. Namun publik merasakan sebaliknya. Aspek pemerataan masih jauh panggang dari api. Angka kemiskinan masih tinggi. Seluruh pencapaian numerik belum membuktikan perubahan berarti. Tapi, seburuk apa pun kinerja pemerintah, jadwal konstitusi tetap harus ditaati. Tidak boleh dibiasakan atau dipaksakan ada penggantian, apalagi penggulingan pemerintahan di luar jadwal pemilu.
Siapa pun boleh terobsesi menggulingkan pemerintahan. Sepanjang cuma sebatas khayalan dan angan-angan belaka, tak jadi soal. Namun, jika sikap itu diekspresikan berupa langkah destruktif dan anarkistis, hukum harus ditegakkan tanpa pilih bulu. Konstitusi harus dibela. Emosi penguasa juga kudu terkontrol. Jangan ikut terseret, termakan, apalagi terombang-ambing mimpi makar yang tanpa dasar itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo