Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Arah Penyelesaian Kasus Lippo

9 Maret 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arief T. Surowidjojo
Advokat di Jakarta

 

SUDAH beberapa minggu terakhir ini publik Indonesia dikacaukan oleh berita simpang-siur tentang kasus Bank Lippo. Orang menjadi gundah, kasus ini sebenarnya masuk ke dalam domain urusan apa dan di bawah tanggung jawab institusi mana. Apakah Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang punya kepentingan karena mewakili negara sebagai pemegang saham mayoritas atas bank rekap. Atau BI karena adanya pemerosotan rasio kecukupan modal (CAR) secara signifikan, dari 24,77 persen menukik ke 4,23 persen, yang disebabkan merosotnya nilai agunan yang diambil alih (AYDA). Ataukah Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam), karena menyangkut laporan keuangan ganda yang berbeda, satu ke publik dan lainnya ke Bursa Efek Jakarta (BEJ). Atau malah Kejaksaan Agung karena adanya dugaan tindakan melawan hukum dan kerugian negara sehingga ditengarai ada unsur korupsinya. Atau, ini semata-mata kasus perdata biasa karena menyangkut pelanggaran fiduciary duties dari direksi (dan komisaris)?

Orang lebih bingung lagi karena institusi yang terkait terkesan saling melempar bola yang cukup panas ini. Sementara itu, "perang" antara para pengamat (Lin Che Wei dkk.) dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang memposisikan diri membela kepentingan umum di satu pihak vs Bank Lippo dan petingginya di lain pihak sudah memasuki arena gugat-menggugat pidana yang melibatkan laporan ke kepolisian dan Kejaksaan Agung.

Ada beberapa fakta yang telah terjadi, dan ada pula berkembang di masyarakat beberapa perkiraan dan kecurigaan mengenai intensi direksi Bank Lippo dalam kasus ini.

Adalah fakta bahwa, satu, Bank Lippo menerbitkan dua laporan keuangan yang berbeda, dan salah satunya diklaim telah diaudit, tapi nyatanya belum. Sangat tidak masuk akal kalau itu dikatakan kesalahan atau keteledoran biasa, mengingat direksi suatu bank publik pasti tahu pengaruh kesalahan atau keteledoran demikian bagi publik, investor, dan para regulator, termasuk BI dan Bapepam.

Dua, penilaian AYDA menyebabkan turunnya atau diduga dapat menurunkan CAR Bank Lippo menjadi 4,23 persen—suatu rasio yang di bawah rasio minimum yang ditetapkan oleh BI (8 persen).

Tiga, begitu kesalahan itu (adanya dua laporan keuangan yang berbeda tadi) dan turunnya, atau dugaan turunnya, CAR tersebut terjadi, tidak ada upaya dari direksi Bank Lippo untuk segera mengumumkan kepada publik ada suatu informasi penting menyangkut Bank Lippo yang bisa mempengaruhi keputusan pemodal dalam menjual atau membeli saham Bank Lippo—sebagaimana diharuskan peraturan Bapepam tentang informasi penting yang harus diumumkan kepada masyarakat.

Empat, kemudian setelah semua pihak bicara dan menuding direksi, komisaris, dan mantan pemegang saham mayoritas dengan segala macam pelanggaran dan intensi negatif, bahkan mengancam mereka agar dimasukkan ke daftar orang tercela, suatu public expose tidak juga digelar Bank Lippo untuk menjelaskan kepada publik apakah gerangan yang sedang terjadi.

Fakta-fakta tadi segera saja menimbulkan kecurigaan khalayak ramai. Ada tuduhan, dengan menukiknya CAR Bank Lippo, para pemegang saham harus memberikan suntikan modal baru, yang hanya bisa dilakukan melalui rekapitalisasi oleh pemerintah, atau penambahan modal melalui proses rights issue.

Karena negara sulit melakukan rekapitalisasi kedua atas Bank Lippo, suntikan modal hanya dapat dilakukan melalui rights issue (penawaran umum terbatas). Buat pemerintah sama saja, mempertahankan rasio pemilikan sahamnya melalui rights issue ini juga mengharuskannya mengeluarkan dana segar—satu hal yang hampir pasti akan dihadang DPR. Kalau pemerintah tidak mengambil bagiannya, pasti sahamnya akan terdilusi secara signifikan. Baru saja pemerintah melakukan rekap dan mendadak menjadi minoritas tentu menyedihkan.

Rumor yang beredar mengatakan ada usaha untuk menjatuhkan harga saham Bank Lippo secara terencana dalam perdagangan saham belakangan ini. Apalagi dengan kondisi pasar yang sangat lemah sekarang ini, harga penawaran dalam rights issue pasti juga akan terdorong rendah. Dicurigai, mereka yang mengambil saham baru dalam rights issue akan membeli saham dengan sangat murah, dan dicurigai pula lewat jalan inilah para mantan pemilik saham mayoritas Bank Lippo akan menguasai kembali banknya.

Dengan hiruk-pikuk beginilah cara bangsa Indonesia sekarang ini menyelesaikan persoalan-persoalannya. Kesalahan utama kita adalah mencoba menyelesaikan krisis, termasuk mengoperasikan bank rekap, dengan mentalitas "business as usual". Kalau memang ini penanganan bank krisis, kenapa tidak mengubah saja anggaran dasar Bank Lippo dengan ketentuan-ketentuan kekuasaan direksi yang sangat limitatif, dan memberi peran luar biasa besar kepada komisaris dan pemegang saham mayoritas (negara) dalam mengawasi secara proaktif tindak-tanduk direksi. Atau, pasang saja komisaris independen yang dibayar mahal untuk bekerja giat dan tekun (diligent).

Setelah kejadian ini, ke mana kiranya arah hukum penyelesaian kasus Bank Lippo? Kalau kita berpikir lebih tenang, mungkin lebih baik dilakukan:

Beri waktu Bapepam menyelesaikan pemeriksaannya atas kasus ini. Kalau terbukti terjadi manipulasi market, sudah jelas ke mana arah yang harus diambil, karena ada unsur pidana yang terkandung di dalamnya.

Pergantian direksi dan komisaris Bank Lippo adalah sangat wajar. Bisnis bank adalah bisnis kepercayaan, sehingga begitu publik punya kecurigaan kuat dan ada fakta-fakta yang menunjang, kepercayaan harus dikembalikan lewat, paling tidak, pergantian itu.

Bank Lippo diwajibkan melakukan public expose untuk menjelaskan secara transparan kepada publik apa yang sesungguhnya terjadi dengan kekisruhan ini.

Sesuai dengan Pasal 110(1) Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 1 Tahun 1995, atas permintaan negara sebagai pemegang saham atau atas permintaan kejaksaan yang mewakili kepentingan umum, dapat dilakukan pemeriksaan terhadap Bank Lippo, termasuk pemeriksaan ahli tentang seluk-beluk penilaian AYDA, yang hasilnya diumumkan kepada publik melalui pengadilan. Pemeriksaan tersebut untuk menguji apakah benar ada kesengajaan untuk menggembosi aset Bank Lippo, yang kalau terbukti tentu ada unsur pidana merugikan kepentingan negara.

Mengubah sistem pengawasan menjadi lebih ketat dengan antara lain mengubah anggaran dasar Bank Lippo.

Bagi pemegang saham yang tidak sabar tentunya terbuka lebar kesempatan mengajukan gugatan perdata ganti rugi kepada Bank Lippo atau para petingginya atas dasar perbuatan melanggar hukum. Bukankah Lin Che Wei, katanya, punya segudang bukti adanya pelanggaran dan penyimpangan itu?

Tapi, janganlah berharap banyak dulu. Mungkin saja, penyelidikan cuma berakhir dengan kesimpulan kesalahan administratif semata, dan semua tudingan dan kecurigaan dinyatakan tak akan pernah dapat dibuktikan. Pemanfaatan celah hukum (loopholes) dan kesempatan memang bukan kejahatan, ini lebih banyak nuansa etika bisnisnya. Hanya, kalau hasil akhirnya negara kebobolan lagi, tentu harus ada proses mentransparansikan semua persoalan sampai tuntas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum