Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Enak Dibaca dan Perlu

9 Maret 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Budiman S. Hartoyo Wartawan TEMPO 1971-1994

TEMPO tak bisa dipisahkan dari slogan Enak Dibaca dan Perlu. Lengkapnya: Tidak semua berita perlu dibaca. TEMPO, enak dibaca dan perlu. TEMPO, yang lahir pada 1971, dipasarkan dengan slogan marketing: Jangan peluk dunia, baca TEMPO. Atau slogan yang menggambarkan rubrik-rubriknya: Rubrik nasional tapi bukan politik; ekonomi tapi bukan statistik; ilmu tapi bukan teknologi; agama tapi bukan khotbah; kesehatan tapi bukan ilmu kedokteran. Tapi yang paling populer Enak Dibaca dan Perlu.

"Enak dibaca" karena laporannya ditulis secara populer, menggambarkan profil seseorang secara deskriptif, menceritakan kejadian secara naratif. Menurut Fikri Jufri, pemimpin redaksi ketika TEMPO dibredel pada 1994, itu berarti tulisan yang "dijahit" secara cerdas berdasarkan "belanjaan" reporter dari lapangan. "Dan perlu" karena semua usulan berita diseleksi, didiskusikan, hingga layak dimuat TEMPO. Goenawan Mohamad, pemimpin redaksi pertama TEMPO, memperkenalkan gaya TEMPO itu sebagai ramuan antara keterampilan jurnalisme dan kepiawaian sastra.

Sejak saat itulah pers Indonesia mengenal jurnalisme baru, yang oleh Pantau tiga dasawarsa kemudian ditabalkan sebagai jurnalisme sastrawi atau jurnalisme kesastraan—penamaan yang kurang tepat dibandingkan dengan jurnalisme literair sebagai terjemahan literary journalism. Tapi Goenawan sendiri tak pernah ngobrol tentang literary journalism. Apalagi menganjurkan wartawan membaca, misalnya, Hiroshima-nya John Hersey (The New Yorker, 31 Agustus 1946).

Meski menjanjikan tulisan yang "jujur, jernih, jenaka pun bisa," TEMPO belum pernah menggelar in-house training bagi wartawan. Baru pada 1979 diterbitkan buku panduan: Seandainya Saya Wartawan TEMPO. Dalam kata pengantarnya, Goenawan mengakui, wartawan TEMPO generasi pertama "banyak yang belum pernah bersentuhan dengan teori dasar jurnalistik." Ia berterus terang, "Setelah beberapa belas tahun, setelah bekerja di TEMPO, saya merasa mulai dapat mengarang prosa sebagaimana mestinya."

Prosa yang semestinya itu ialah yang tidak ruwet, sehingga perlu dirumuskan bagaimana terus menggosok rapi penulisan. Menulis prosa yang baik, menurut Goenawan—yang ketika itu sudah terkenal sebagai penyair—ternyata tidak mudah, dan perlu perbaikan terus-menerus. "Para penulis yang paling berpengalaman pun selalu perlu diingatkan lagi kekurangan-kekurangannya," katanya selalu. Seperti intelektual lain, ketika itu para pendiri TEMPO agaknya mengikuti perkembangan pers Amerika, bukan hanya membaca Time, misalnya.

Sepuluh tahun sebelum Goenawan dan kawan-kawan menerbitkan Ekspres, kemudian TEMPO (1971), jurnalisme literair menggeliat di Amerika, dipelopori antara lain oleh Gay Talese dan Tom Wolfe. Belakangan tulisan-tulisan bergaya jurnalisme baru itu muncul di Esquire, Atlantic, Harper's, New York Magazine, Life, New York Herald Tribune, dan The New Yorker. Tapi, sepuluh tahun sebelum mereka menulis dengan gaya memikat itu, tiga serangkai wartawan Indonesia—S. Tasrif, Mochtar Lubis, dan Rosihan Anwar—sudah menulis jurnalisme literair: Ke Barat dari Rumah, Tiga Laporan Perjalanan Jurnalistik. Bahkan, pada 1926-1927, Adinegoro sudah menulis laporan sejenis di Pandji Poestaka (Balai Poestaka, 1939, 3 jilid).

Tengok ke belakang. Pada 1921, Balai Pustaka—yang masih bernama De Commissie voor de Volkslectuur—menerbitkan catatan perjalanan keliling dunia karya bangsawan Solo: Lampahipoen Kangdjeng Pangeran Arja Koesoemadiningrat Ngideri Bhoewana ("Perjalanan K.P.A. Koesoemadiningrat Mengelilingi Dunia"). Atau bacalah Dari Goenoeng ke Goenoeng (1950-an) oleh A. Damhoeri, suka-duka pendukung Pemerintah Daroerat Repoeblik Indonesia di Sumatera Barat; Revolusi di Nusa Damai (1982) oleh Ktut Tantri, otobiografi saksi mata revolusi kemerdekaan; Kuantar ke Gerbang (1981), biografi Inggit Garnasih, dan Gelombang Hidupku (1982), biografi Dewi Dja, keduanya oleh Ramadhan K.H.; Semangat Indonesia: Suatu Perjalanan Budaya (1984) oleh Umar Kayam, reportase tentang seni tradisional di berbagai daerah; dan masih banyak lagi.

Yang pasti, jurnalisme literair bukanlah karya sastra. Sebab, karya sastra ialah story about fiction, sementara jurnalisme literair ialah story about facts.

—Kolom ini untuk memperingati ulang tahun TEMPO ke-32, 6 Maret 2003

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus