Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Demokrasi Dalam Bahaya

9 Maret 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kusnanto Anggoro Peneliti senior CSIS, pengajar Pascasarjana Universitas Indonesia, anggota Indonesian Working Group on Security Sector Reform—Propatria

RESPONS publik terhadap pasal 19 draf RUU TNI tidak terlepas dari situasi politik saat ini. Tidak mudah melupakan, misalnya, betapa isu itu muncul beberapa saat setelah KSAD Ryamizard Ryacudu meminta kewenangan tambahan bagi tentara agar dapat digunakan untuk menghadapi ancaman dari dalam negeri. Tidak sulit merujuk rekaman media massa yang menunjukkan betapa tentara menggalang tanda tangan untuk menolak "intervensi" otoritas politik atau ketika ratusan panser di Lapangan Monas mempengaruhi proses politik di MPR menjelang berakhirnya kekuasaan Abdurrahman Wahid.

Suasana menjelang kampanye juga membuat elite partai kehilangan kejernihan berpikir. Lihat saja tanggapan pemimpin partai-partai besar, yang hampir semuanya mendukung keberadaan pasal 19 ayat 1, sekalipun mereka belum membacanya. Tak aneh jika argumentasi mereka lepas konteks. Sebut saja Wakil Presiden Hamzah Haz, yang mengaitkan kewenangan operasional panglima dengan pemulihan ekonomi; Ketua MPR Amien Rais, yang merujuk pada maksimalisasi peran TNI dalam mengamankan negara dari segala ancaman; atau Ketua DPR Akbar Tandjung, yang menekankan keharusan TNI dapat mengambil tindakan cepat untuk melakukan penyelamatan terhadap bangsa dan negara.

"Keamanan sebagai panglima", "segala ancaman", dan peran TNI dalam "penyelamatan bangsa dan negara" adalah jargon-jargon lama yang sangat populer di masa lalu. Padahal isu pokok dalam pasal 19 draf itu adalah terutama apakah Panglima TNI punya kewenangan untuk menilai situasi sebagai keadaan "mendesak" dan apakah kekuatan TNI dapat digunakan tanpa suatu keputusan politik lebih dulu.

Lihat saja rumusan pasal 1, "Dalam keadaan mendesak di mana kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa terancam, Panglima dapat menggunakan kekuatan TNI sebagai langkah awal guna mencegah kerugian negara yang lebih besar," dan pasal 2, "pengerahan kekuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaporkan kepada Presiden paling lama dalam waktu 1 x 24 jam."

Dalam tatanan demokrasi, itu soal-soal yang sangat mendasar. Kewenangan untuk menilai keadaan dan menentukan jenis respons terhadap keadaan itu harus tetap berada dalam lingkup kewenangan politik. Menilai suatu keadaan merupakan sesuatu yang subyektif dan hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang mendapatkan legitimasi demokratis (democratic legitimacy), misalnya melalui pemilihan umum.

Padahal jabatan-jabatan ketentaraan tidak ditentukan melalui proses demokratis. Rakyat Indonesia memilih presiden, tapi tidak memilih panglima dan kepala staf angkatan. Rakyat DKI memilih gubernur, tapi tidak memilih Panglima Kodam Jaya. Tak bisa ditawar, kewenangan untuk menentukan situasi "mendesak" ataupun menentukan instrumen respons terhadap situasi semacam itu hanya ada di tangan presiden sebagai perlambang dari supremasi otoritas (keputusan) politik atas otoritas (operasional) militer. Ingat apa yang dibilang Robert McNamara, mantan Menteri Pertahanan Amerika, hampir setengah abad silam, bahwa "There is a great danger that you will try to solve political problem through military action".

Di negara mana pun, naluri militer selalu beranjak dari asumsi skenario paling buruk (the worst case scenario) dan karena itu dibikin strategi cegah dini. Di mana pun, militer mengutamakan keefektifan. Karena itu, bahaya besar jika panglima diberi kewenangan untuk menafsirkan situasi dan instrumen respons. Itu bisa menyebabkan penggunaan sumber daya yang berlebihan dan/atau korban yang tidak perlu.

Kalaupun panglima akan memberikan masukan dalam proses penilaian situasi ataupun jenis respons, hal itu dapat dilakukannya melalui berbagai mekanisme, misalnya sidang kabinet atau bahkan hanya dalam pembicaraan empat mata dengan presiden. Kelak penilaian itu mungkin dapat dilakukan pula dalam kapasitas panglima sebagai anggota Dewan Pertahanan Nasional seperti dimaksud dalam Pasal 15 UU No. 3/2002 tentang Pertahanan Negara.

Memang berlebihan menganggap pasal 19 sebagai perwujudan niat TNI untuk melakukan kudeta, jika kudeta ditafsirkan sebagai "perebutan kekuasaan yang sah," seperti dimaksud dalam beberapa kamus. Di perpustakaan-perpustakaan Sesko angkatan dan Sesko TNI dapat dengan mudah ditemukan rujukan yang menyebutkan wakil presiden atau triumvirat (Menteri Pertahanan, Menteri Luar Negeri, dan Menteri Dalam Negeri) sebagai pemegang otoritas kepresidenan kalau presiden tidak ada.

Namun menyangkal tuduhan itu dengan bersilat lidah atau menggunakan argumen setengah matang justru meruntuhkan kredibilitas kepemimpinan tentara. Argumen bahwa "substansi pasal 19 harus dipertahankan" menunjukkan betapa pemimpin TNI bahkan mengabaikan salah satu prinsip dalam peperangan politik (political warfare)—don't ever say no. Argumen bahwa "kalau mau kudeta, tidak perlu UU (karena TNI memiliki 330 ribu pasukan yang tersebar diseluruh Indonesia)" mengacaukan antara apa yang dalam literatur militer dikenal sebagai "penggelaran" (deployment) dan sebaran (dislocate) satuan-satuan militer.

Lebih dari itu, pernyataan bahwa "TNI tidak akan mengkudeta karena TNI tidak pernah melakukan kudeta" mengaburkan janji dengan pembangunan sistem (system building). Dalam tatanan demokrasi, undang-undang penting khususnya untuk menjamin keteraturan (regularity) dan kepastian (certainty) dalam proses kebijakan. Rumusan pasal dalam sebuah undang-undang harus jelas dan tegas. Mengandalkan pada kebaikan pernyataan saja tidak cukup menjamin tegaknya tatanan demokrasi.

Barangkali yang lebih menyedihkan adalah contoh-contoh yang berkali-kali disebut oleh kalangan pemimpin tentara untuk mempertahankan pasal 19—"kekuatan asing yang masuk," "kerusuhan massa," "demonstrasi," dan "bencana alam." Serangan mendadak dari luar negeri, bahkan yang mengancam beberapa titik penting (center of gravity) di jantung wilayah Indonesia, memang bisa saja terjadi. Pelanggaran tapal batas sering terjadi dan pasti akan selalu terjadi sesuai dengan kondisi geografis Indonesia. Tak ayal, kesiagaan dan kemampuan respons yang andal mutlak diperlukan, baik melalui fungsi operasi intelijen pertahanan militer maupun fungsi operasi tempur.

Tapi bukankah legalitas untuk mencegah serangan mendadak dari luar itu dapat bertumpu pada standard operating procedure (SOP) dan merujuk pada rule of engagement? Bukankah itu justru merupakan bagian dari tugas operasi rutin yang harus dilakukan oleh satuan-satuan militer? Bukankah tidak sulit mencari justifikasinya dalam doktrin TNI ataupun doktrin-doktrin angkatan? Bukankah itu harus secara otomatis tertera dalam dokumen tentang kebijakan pertahanan negara?

Diakui bahwa situasi dalam negeri bisa saja merupakan ancaman serius bagi keselamatan bangsa ataupun eksistensi negara. Namun, semua gejala ancaman bersenjata dan/atau kekerasan yang berasal dari dalam negeri selalu berkembang dalam jalur eskalasi. Tidak ada sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba. Lingkungan militer (termasuk polisi) sangat fasih untuk menyebut tahap-tahap ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan. Penanganan eskalasi seperti itu pernah diatur dalam petunjuk pelaksanaan (juklak) Kopkamtib/Bakorstanas.

Banyak yang akan sepakat bahwa setelah pemisahan TNI dan Polri (Ketetapan MPR VI/2000), yang membatasi peran TNI dalam fungsi pertahanan negara dan Polri dalam keamanan (sic!), memang diperlukan landasan hukum bagi tugas TNI dalam bidang-bidang nonpertahanan. Perlu pengaturan bagaimana TNI dapat digunakan dalam apa yang disebut sebagai "tugas perbantuan" dalam Ketetapan VII/MPR 2002 (civic missions, bantuan kepolisian, dan perdamaian internasional) ataupun "operasi militer selain perang" (military operation other than war) seperti dapat dirujuk dalam Pasal 10 ayat 3.c UU No. 3/2002 tentang Pertahanan Negara.

Panjang jalan yang masih harus ditempuh untuk reformasi TNI. Selusin lebih ketentuan pada tingkat undang-undang yang diperlukan untuk itu. Pemerintah dan DPR perlu segera merumuskan ketentuan-ketentuan itu. Karena karakternya sebagai organisasi komando dan dengan naluri yang sangat kental diwarnai oleh perhitungan skenario terburuk, TNI hanya dapat diikutsertakan dalam proses untuk merumuskannya. Itu pun harus tidak lebih dari hal-hal yang berkaitan dengan kompetensi utamanya (core competence) di bidang penggunaan kekuatan militer.

Tentu TNI punya hak untuk mengutarakan kepentingannya, termasuk dalam mewarnai perdebatan dan agenda publik. Pasal 19 draf RUU TNI, yang muncul dalam draf Oktober 2002 tapi tidak tercantum dalam draf-draf sebelumnya, barangkali saja mencerminkan kekhawatiran TNI pada kelambanan politikus sipil dalam merespons bom Bali. Meski demikian, kewenangan untuk menentukan rumusan itu, juga apakah akan dimuat dalam RUU TNI atau dalam ketentuan perundangan lain, berada di tangan pemerintah dan DPR.

Kita lihat saja dalam beberapa waktu mendatang. Menteri Pertahanan Matori Abdul Djalil sudah berjanji akan mengubah pasal-pasal dalam draf RUU TNI yang bertentangan dengan, misalnya, UU No. 3/2002 tentang Pertahanan Negara. Pasti termasuk pasal 19, karena menurut ketentuan lain dan yang lebih tinggi kewenangan pengerahan itu berada di tangan presiden.

Bahaya yang ditimbulkan oleh rumusan pasal 19 draf RUU TNI bukanlah karena TNI akan kembali menduduki peran dominan dalam politik, apalagi melakukan kudeta. Melihat bagaimana pemimpin TNI merespons kontroversi di seputar pasal 19, misalnya, siapa pun dapat melihat dengan mudah betapa mereka tidak menyadari kedudukan TNI dalam tatanan kenegaraan yang demokratis, tidak memahami perbedaan antara kewenangan politik dan kewenangan operasional, dan bahkan tidak mengerti aturan-aturan yang biasa dan bisa digunakan prajurit di bawah komandonya.

Krisis kepemimpinan dalam TNI? Mungkin kalau semua kita baca dari apa yang pernah dikemukakan oleh Jenderal Robert Lee (1807-1870). Jenderal sejati, kata Lee yang masyhur dalam perang saudara Amerika itu, "must bear in mind not to hazard unnecessarily your command, but be content to accomplish all the good you can, without feeling it necessary to all that might be desired."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus