Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Arbei, Korting, Persekot

Joss Wibisono*

13 Juli 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Arbei, Korting, Persekot

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada abad ke-20, orang masih menggunakan “arbei” untuk menyebut buah merah tanaman perdu yang tumbuh di daerah pegunungan beriklim sejuk. Sekarang kata ini sudah terlupakan. Orang menyebut buah itu “stroberi” (dari kata Inggris, strawberry). Abad lalu orang juga masih menggunakan “korting” untuk menyebut potongan harga, tapi sekarang digunakan “diskon” (dari kata Inggris, discount). Dulu orang masih memakai “persekot” atau “uang muka”, sedangkan sekarang ramai-ramai mereka gunakan “DP” (singkatan dari down payment, bahasa Inggris).

Maka di sini kita saksikan betapa serapan bahasa Inggris telah mendesak serapan bahasa Belanda. “Arbei” berasal dari kata Belanda, aardbei, juga “korting”. Gejala ini mungkin saja baru terjadi secara lisan, belum tertulis. Tapi tampaknya itu hanya soal waktu. Tak berapa lama lagi “persekot” dan “uang muka” akan tidak dipakai. Baik dalam bertutur kata maupun menulis, orang hanya akan menggunakan “DP”. Mungkin sekarang singkatan bahasa Inggris ini juga hanya dipergunakan di kota-kota besar, tapi percayalah, tak lama lagi warga kota kecil bahkan warga perdesaan pun akan melupakan “persekot” (dari kata Belanda, voorschot), “uang muka”, atau “panjar”. Mereka akan pula berujar “DP”.

Anehnya, ketika kata-kata Belanda kita serap ke dalam bahasa Indonesia, kata-kata Portugis yang sudah terserap tidak lenyap. Sampai sekarang masih kita gunakan keju (dari queijo, bahasa Portugis) dan tidak kita ganti menjadi kaas (bahasa Belanda). Gereja juga tetap kita gunakan (dari igreja), tidak kita ganti menjadi kerk. Mentega (dari manteiga) juga tetap terdengar dalam percakapan sehari-hari, tidak diganti dengan boter.

Bahasa Inggris tidak hanya mempengaruhi kosakata. Cara kita mengeja juga terpengaruh. Dulu kita tulis “kwalitas” atau “kwalitet”, sekarang “kualitas”, dari cara eja Inggris quality. “Kwintal” pun kita inggriskan menjadi “kuintal”.

Bagaimana harus menjelaskan pengaruh besar bahasa Inggris ini? Mengapa bahasa Inggris lebih tega dan kejam ketimbang bahasa Belanda? Berikut ini dua alasan yang moga-moga merupakan penjelasan memadai.

Pertama, bagaimanapun, bahasa Inggris memang perkasa. Bahkan tidak berlebihan untuk berkata bahwa sekarang bahasa ini mendominasi komunikasi internasional. Sebagian besar kontak internasional, bahkan di Benua Asia saja, berlangsung dalam bahasa Inggris. Berkat jejaring sosial dan media elektronik, pengaruh bahasa Inggris tak terbendung lagi. Makin banyak serapan bahasa ini masuk ke bahasa Indonesia. Contoh terbaru adalah konten, posting, dan komedian.

Tidak kalah pentingnya adalah rasa gengsi. Itu terlihat pada mereka yang gemar menyisipkan kata-kata Inggris dalam bertutur kata. Konon, campur-baur bahasa ini meningkatkan martabat. Maka di sini kita berurusan dengan nasionalisme bahasa. Ini alasan kedua. Jelas kebanyakan orang Indonesia, apalagi mereka yang gemar menyisipkan kata-kata Inggris dalam bertutur kata, tidak punya nasionalisme bahasa.

Ini bukan kesalahan mereka semata. Ini adalah juga akibat kolonialisme Belanda. Dari tiga unsur Soempah Pemoeda, satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa, Belanda dulu lebih dirasa menjajah tanah air dan bangsa, tidak (begitu) menjajah bahasa. Bukankah bahasa Indonesia tidak pernah tidak kita gunakan? Bahasa Indonesia yang waktu itu disebut bahasa Melajoe selalu ada di Nusantara, bahkan tidak perlu bersaing dengan bahasa Belanda. Maklum, Belanda memang tidak pernah berniat menyebarkan bahasanya di wilayah jajahan terbesarnya ini.

Itu berarti nasionalisme yang kita kobarkan untuk mengusir Belanda dulu lebih terpusat pada tanah air dan bangsa, tidak menyangkut bahasa. Kita tidak perlu berjuang untuk tetap berbahasa Indonesia. Perjuangan kita dulu hanya terpusat pada merebut tanah air dan pemerintahan ke arah Indonesia merdeka. Perjuangan itu adalah mengusir Belanda, bukan mengusir bahasa Belanda, karena memang bahasa penjajah ini tidak kita gunakan secara meluas.

Maka jelaslah orang Indonesia tidak pernah punya nasionalisme bahasa—karena memang nasionalisme ini tidak diperlukan dalam perjuangan kemerdekaan dulu. Itulah sebabnya mengapa kita gampang berganti pengaruh: begitu pengaruh bahasa Belanda lenyap, dengan mudah pula orang pindah ke bahasa Inggris. Suatu ketika, tatkala sudah tak terhitung lagi banyaknya kata Inggris yang menghuni bahasa kita, anak-cucu kita pasti akan menamai bahasanya Indoglish.

*) Pemerhati bahasa Indonesia, menetap di Amsterdam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus