Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepanjang 2018, Bank Indonesia mencatat impor minyak dan gas (migas) mengakibatkan defisit neraca transaksi berjalan tembus US$ 31,1 miliar. Angka defisit itu melebar dari posisi 2017, yang hanya US$ 17,31 miliar. Mengacu pada data Badan Pusat Statistik, nilai impor migas 2018 sebesar US$ 29,8 miliar atau naik 22,59 persen dibanding pada 2017, yang seluruhnya berasal dari semua komponen migas, seperti minyak mentah, bahan bakar minyak, dan elpiji.
Tak hanya pada 2018, data statistik Bank Indonesia mencatat impor migas naik setiap tahun sejak 2014, yang pada masa sebelumnya selalu bisa ditutup oleh neraca (ekspor) nonmigas. Jika melihat data Bank Indonesia, persoalan defisit transaksi berjalan ini belum berakhir pada 2019. Pemerintah memang sudah menerapkan beberapa langkah untuk mengatasi problem berat ini.
Pertama, implementasi program pencampuran fatty acid methyl esters (FAME) ke dalam minyak diesel sebanyak 20 persen, yang dikenal sebagai B20, sejak September 2018. Tapi hal itu berdampak terbatas, dalam arti belum berpengaruh banyak pada impor migas, kecuali dilanjutkan secara masif dalam jangka panjang dengan teknologi maju dan ramah lingkungan seperti green diesel GD50 atau bahkan GD100.
Penerapan biodiesel FAME pun masih perlu dicermati karena campuran di atas 20 persen hanya cocok untuk mesin diesel statis, seperti generator listrik atau mesin kapal lawas. Sedangkan kendaraan bermesin diesel baru yang memakai teknologi common-rail tak cocok memakai diesel bercampur FAME.
Kedua, pada awal 2019, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Gas Bumi untuk Rumah Tangga dan Pelanggan Kecil. Dengan peraturan ini, beberapa daerah menguji coba pengaliran gas dari pipa jaringan distribusi gas bumi. Program jaringan gas yang akan dimulai pada 2020 menargetkan sejuta sambungan rumah tangga per tahun.
Sayangnya, andai pun tersedia dana gabungan pemerintah sebesar 10 persen dan badan usaha milik negara 90 persen untuk membiayai program jaringan gas ini, sebanyak 70 juta rumah tangga yang mengkonsumsi elpiji baru bisa terjangkau setelah 70 tahun program tersebut berjalan.
Ketiga, pembangunan dua kilang minyak baru di Bontang dan Tuban serta peningkatan kapasitas lima kilang yang ada dari 1 juta barel sehari menjadi 2,1 juta barel sehari. Program prioritas strategis ini pun masih menghadapi tantangan berat: pengadaan bahan baku, pendanaan, dan model bisnis kilang.
Kemampuan produksi minyak mentah domestik sebanyak 700 ribu barel mustahil bisa memenuhi kapasitas kilang yang dibangun untuk ketiga kali. Kekurangan 1,4 juta barel sehari mesti ditutup dengan impor seturut harga pasar dunia.
Di kalangan perancang kebijakan, ada dua aliran dalam melihat strategi-strategi pemerintah itu. Aliran pertama menganggap pembangunan kilang minyak sebagai kebijakan strategis karena membuat Indonesia memiliki ketahanan energi. Adapun aliran kedua menganggap pembangunan kilang tak penting jika sebagian besar bahan bakunya diimpor. Tanpa kilang baru pun kecukupan cadangan BBM bisa diimpor. Secara empiris, bisnis kilang menguntungkan bila menjadi rangkaian terpadu dari produksi minyak mentah. Selama bahan baku masih diimpor, sulit menyebutnya mandiri energi.
Hakikatnya, jalan mana pun yang ditempuh pemerintah, impor minyak mentah ataupun produk energi, terpulang pada pengelolaan risiko makroekonomi. Beberapa negara, seperti Singapura, Taiwan, dan Jepang, punya sumber daya terbatas. Karena itu, mereka mengandalkan impor migas. Mereka mengolahnya dengan menjual bahan bakar seturut nilai keekonomian. Maka, berapa pun harga minyak dan gas di pasar internasional, pemerintah tiga negara itu langsung meneruskannya ke konsumen domestik, tanpa subsidi.
Kebijakan Setelah 2019
Beberapa kebijakan dan langkah pemerintah itu masih belum memberikan keyakinan, sebagaimana kekhawatiran otoritas moneter: apakah banjir impor migas tetap berdampak sistemik terhadap neraca berjalan? Guna menguatkan neraca migas lima tahun ke depan, diperlukan beberapa kebijakan.
Pertama, arah dan besaran subsidi energi (BBM, elpiji, dan listrik) dialihkan dari subsidi komoditas menjadi subsidi langsung. Besaran subsidi mesti ditakar sesuai dengan kemampuan anggaran dan kelompok masyarakat yang disasar. Asas keadilan harus menjadi tema program ini. Kelompok layak subsidi yang terdaftar mendapat alokasi dana bulanan—via transfer bank—guna membayar sebagian konsumsi volume BBM untuk sepeda motor pertama, konsumsi elpiji rumah tangga 6 kilogram, dan listrik hingga watt-hour tertentu.
Sebagai konsekuensi subsidi tertutup, BBM, elpiji, dan listrik harus dijual secara bertahap pada harga keekonomian. Kombinasi langkah ini bisa mencegah subsidi keliru sasaran dan tak terpengaruh, misalnya, oleh lonjakan jumlah kendaraan penumpang nonbus. Menurut data BPS, sejak 2013 jumlah kendaraan jenis ini bertambah rata-rata sejuta per tahun.
Kedua, penggunaan alat rumah tangga dengan energi listrik, terutama kompor masak, serta pemakaian listrik, gas, atau mesin hibrida untuk moda transportasi diperbanyak. Untuk mendukungnya, diperlukan berbagai insentif, seperti keringanan pajak, konverter, tabung gas, dan pengisi catu listrik, agar konsumen beralih dari BBM ke elpiji.
Ketimbang repot membangun jaringan gas, jaringan listrik lebih efektif menjangkau daerah pelosok karena rasio elektrifikasi 2018 sudah 98,3 persen. Di sisi pasokan, diperlukan pemberian kemudahan terhadap eksploitasi energi bersih dan terbarukan yang tak menguras cadangan dolar kita, seperti panas bumi, yang cadangannya paling besar di dunia, dan air, matahari, angin, sampah, serta limbah kebun. Selama ini, keluhan investor energi terbarukan adalah regulasi yang berubah-ubah. Pemerintah perlu menaruh fokus pembenahan pada sektor ini untuk mendukung program swasembada energi terutama dari energi bersih tadi.
Ketiga, meninjau ulang rencana pembangunan kilang konvensional menjadi berbasis bahan nabati (sawit, jelantah, jarak pagar, molases, dan lemak hewan) serta batu bara, yang bahan-bahannya ada di pasar domestik dan diperdagangkan dalam rupiah. Dua pertimbangan itu bisa menjadi basis swasembada energi karena bisa menggerus defisit neraca transaksi berjalan yang mulai mencemaskan.
Ihwal rencana kilang baru memakai teknologi eco-refining process, Eni SpA, perusahaan produksi minyak pemerintah Italia yang bisa luwes mengolah minyak mentah dan bahan nabati, perlu ditiru. Juga Sasol Limited di Afrika Selatan, yang mengolah batu bara menjadi bahan bakar minyak. Secara nonkonvensional, untuk menghasilkan 300 ribu barel bahan bakar minyak sehari, hanya dibutuhkan pasokan 18 juta ton nabati atau 60 juta ton batu bara per tahun.
Di Indonesia, jumlah ini sangat memungkinkan karena produksi tahunan minyak mentah sawit (crude palm oil) sekitar 45 juta ton dan konsumsi lokal hanya 7 juta ton. Adapun produksi batu bara sebanyak 500 juta ton dengan konsumsi domestik hanya seperlimanya. Dengan menimbang angka-angka ini, langkah tersebut jelas lebih aman dari gejolak harga minyak dunia atau volatilitas nilai tukar. Manfaat pun berlipat ganda jika pemerintah juga membangun infrastruktur hilir yang lengkap di bidang coal-chemicals atau oleochemicals.
Keempat, mengendalikan volume konsumsi bahan bakar minyak konvensional untuk transportasi dalam jangka panjang pada kisaran 1,5 juta barel sehari. Sebab, konsumsi di atas jumlah tersebut mesti memakai sumber energi nonkonvensional, meski komoditas yang relatif paling siap saat ini adalah minyak nabati dan listrik.
Subsidi energi Rp 153,5 triliun pada 2018 bisa dialihkan menjadi insentif bagi industri yang mengalihkan energinya, seperti industri dimethyl ether, yang mengimpor 5 juta ton per tahun menjadi elpiji; kilang nonkonvensional kelapa sawit dan batu bara, yang menghasilkan 600 ribu barel minyak sehari; dan industri bahan bakar fuel-grade ethanol berbasis gula tebu, yang memproduksi 100 ribu barel minyak sehari. Di sini, Dewan Energi Nasional bisa berperan memantau dan mengawasi implementasi subsidi itu, jenis dan volume, serta bauran energinya.
Kelima, mengarahkan pembangunan daerah industri baru ke wilayah yang paling dekat dengan sumber energi. Pesaing kita, seperti Thailand, Malaysia, dan menyusul Vietnam, mampu menjual gas ke industri 40 persen lebih murah dibanding Indonesia. Peta jalan penguatan neraca migas mesti bisa diikuti lewat papan pedoman (dashboard) yang terbuka untuk publik hingga semua memiliki kesamaan arah di depan: keadilan, kesejahteraan, keberlanjutan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo