Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
|
SELAMAT datang ke dunia kajian kebudayaan (cultural studies). Ibarat sebuah taman luas, ada rupa-rupa "bunga" yang dapat dinikmati di bidang ini, dari semiotik, feminisme, pascastrukturalis, studi media, antropologi, ekonomi politik, hingga kritik sastra dan lain-lain. Istilah cultural studiessebagian orang menjabarkannya sebagai kajian kebudayaantelah menjadi semacam "merek dagang" yang muncul sejak pertengahan 1960-an. Tokoh awalnya antara lain Richard Hogart, E.P. Thompson, serta Raymond Williams. Ada pula Stuart Hall. Doktor lulusan Oxford University ini adalah tokoh yang menguatkan fondasi teori studi kebudayaan. Dia muncul belakangan tapi dianggap sebagai salah satu teoretisi penting dan paling produktif dari pendekatan ini.
Sebagian kalangan yang bergelut di bidang pemikiran kontemporer di Indonesia menilai bahwa pendekatan ini menawarkan cara pandang baru dalam melihat masalah kebudayaan. Intinya, tak ada yang bisa didikotomikan antara "budaya tinggi"mengacu pada kegiatan seperti opera, balet, dan musik klasikdan "budaya rendah"sesuatu yang popular: musik punk, rock 'n' roll, atau break dance.
Contohnya, ketika Royal Philharmonic Orchestra membawakan lagu-lagu dari grup cadas Metallica, apakah ini merupakan pengangkatan budaya rendah oleh budaya tinggi? Ataukah budaya tinggi yang merendahkan diri dengan mengangkat budaya rendah? Soalnya memang bukan di situ. Sebab, dari sisi cultural production, penonton Metallica setara dengan penggemar Royal Philharmonic Orchestra. Bagaimana perkembangan studi ini di Indonesia?
Selama dua tahun terakhir, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, mengajarkan cultural studies. Di Universitas Indonesia, kuliah sosiologi kebudayaan yang menggunakan metode serupa telah diterapkan sejak 1993. Sementara itu, sekumpulan anak muda Yogyadari kelompok KUNCIbergiat menerjemahkan karya-karya penulis cultural studies.
Coba tanya mahasiswa jurusan komunikasi yang sedang menulis skripsi, metode apa yang paling funky untuk mereka. Jawabannya boleh jadi cultural studies. Mereka leluasa mengkaji videoklip Madonna dari sisi feminisme atau melihat bagaimana Ahmad "Dewa" Dani menginterpretasikan Sukarno.
Ign. Haryanto, wartawan TEMPO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo