Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HAMPIR tiap hari, kata "Islam" diseru, dengan marah atau takut atau khidmat. Pada saat yang sama bom bunuh diri meledak dan menghancurkan, dan sederet leher dipancung di depan kamera televisi, dan gadis-gadis diculik, dan bangunan bersejarah dimusnahkan. Apa arti kata itu sebenarnya?
"Islam bukan sebuah agama perdamaian," tulis Ayaan Hirsi Ali dalam bukunya yang baru terbit, Heretic: Why Islam Needs a Reformation Now.
Kesimpulan itu tentu akan menimbulkan kontroversi, tapi Ayaan Hirsi Ali sudah lama hidup dalam kontroversi. Yang menarik, buku setebal 272 halaman itu menunjukkan sikapnya yang lebih lunak kepada agama yang telah ditinggalkannya. Ia mulai percaya bahwa Islam, seperti agama Kristen dan Yahudi, akan mengalami reformasi.
Dulu ia pernah lebih keras, dengan gayanya sendiri.
Kita ingat, 11 tahun yang lalu ia membuat sebuah film bersama Theo van Gogh. Film 10 menit itu, Submission, bercerita tentang empat perempuan yang dimainkan seorang aktris yang bercadar; tapi di balik chador dengan kain transparan itu tampak tubuh perempuan yang telanjang. Tubuh yang berbekas-bekas pukulan dan siksaan itu juga sebuah kanvas di mana tertera ayat-ayat Quran yang mengatur kehidupan pria dan wanita—yang sebenarnya bisa ditafsirkan baik atau buruk, atau kedua-duanya.
Tapi dalam sebuah pertengkaran yang sengit, tafsir buruk mendesak tafsir baik. Tak lama kemudian, Theo van Gogh dibunuh dengan bengis di sebuah jalan di Amsterdam; pembunuhnya seorang pemuda muslim Belanda. Ayaan Hirsi Ali, yang menerima ancaman, memaklumkan bahwa Islam adalah "musuh" yang harus dikalahkan.
Kita tak tahu bagaimana ia akan mengalahkan Islam; yang kita tahu ia pindah ke Amerika dan jadi warga negara negeri itu dua tahun yang lalu. Ini bukan buat pertama kalinya ia beremigrasi. Ayahnya, seorang tokoh oposisi Somalia, berpindah ke Arab Saudi, lalu Ethiopia, dan kemudian Kenya. Ayaan tak mengikuti ayahnya; ia ke Nederland dan memperoleh suaka politik pada 1992.
Ia bukan seekor burung yang dikurung. Berangsur-angsur, ia meninggalkan agamanya dan jadi seorang atheis. "Islam itu ibarat sebuah kurungan jiwa," tulisnya dalam Infidel. "Mula-mula, ketika kita buka pintunya, burung yang terkurung itu tak mau keluar; ia takut. Ia telah menjadikan keterpasungannya bagian dari dirinya." Tapi kemudian Ayaan menyadari kesalahannya sendiri, dan ia, si burung, pun terbang ke luar.
Dari luar, ia bisa melihat dengan amarah, mungkin dendam, bekas penjaranya.
Tapi amarah—seperti dendam, seperti benci—bisa jadi penjara tersendiri, dan terbang mau tak mau menciptakan jarak pandang. Ayaan memandang Islam dari atas, dari arah kepala, sebagai konsep, bukan pengalaman, seakan-akan Islam tak punya kaki yang tersentuh sejarah. Nama "Islam" itu sendiri berarti "berserah-diri" (submission), katanya dalam Heretic. Maka dengan itu kita menyerahkan diri ke seperangkat penuh keyakinan. Di sana, aturan "bersifat persis dan keras, tegar".
Dengan kata lain, baginya, Islam sepenuhnya (dan selama-lamanya) bersifat legalistik. Tanpa kompromi. Tertutup. Karena itulah apa yang disebut Ayaan sebagai "Muslim Madinah" menguasai percakapan: mereka mendesakkan kepatuhan beragama berdasarkan doktrin Islam dari masa ketika Nabi membangun kekuasaan dan melaksanakannya, ketika orde sedang dikukuhkan dengan hukum, dan pertimbangan politik mendominasi tafsir.
Tapi Ayaan tak sepenuhnya benar. "Berserah-diri" bisa juga berarti menolak jadi angkuh. Submission bisa berarti menyerahkan diri kepada penilaian Hakim Yang Maha-Tahu dan Adil tentang yang benar dan yang salah, yang kafir dan yang beriman.
Tapi tentu saja sebuah agama tak ditentukan coraknya dari kata sebutannya. Sebuah agama menemukan corak dari pengalaman—dari sejarah. Tiap kali, menurut Adorno, sejarah "menerobos masuk ke dalam kata". Kata tak pernah imun dari dunia yang mengelilingi dan melahirkannya. Laku dalam ruang dan waktu, bukan doktrin, itulah yang melahirkan "ngèlmu", pengetahuan dan kearifan hidup.
Pernah saya bertemu dengan Nasr Abu Zayd (almarhum), penelaah dan penafsir ajaran Islam dari Universitas Kairo yang terkenal itu, pemikir yang diancam dibunuh oleh organisasi Jihad Islam Mesir. Kepada saya ia mengatakan ia sedang hendak meneliti kitab-kitab fikih yang tersimpan dalam pelbagai perpustakaan di Asia Tengah.
Kenapa justru kitab fikih, tanya saya.
Jawabnya: Di dalamnya sangat mungkin dapat kita temukan keputusan-keputusan para hakim agama setempat tentang perkara yang dialami umat sehari-hari. Dari sana dapat diketahui, sejauh mana agama hidup, sejauh mana pula ia teks yang beku.
Islam, dengan kata lain, adalah proses. Bagi Ayaan Hirsi Ali, yang dikungkung dan diawasi, agama sebuah sangkar. Bagi Nasr Abu Zayd, sebuah perjalanan.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo