Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

1975: Tahun Teror ...

30 November 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERORISME tak kenal waktu dan ia punya ekor yang panjang. Bom di Paris, Mali, Turki, Suriah, Irak, dan lain-lain pada bulan ini hanya buntut dari teror yang sudah terjadi puluhan bahkan ratusan tahun silam. Terorisme hanyalah buah dendam. Jika tahun ini disebut tahun terorisme, tahun 1975 juga disebut demikian. Majalah Tempo mengulasnya dalam edisi 10 Januari 1976 ketika bom meledak di Lapangan Udara La Guardia di New York, Amerika Serikat.

Peristiwa di La Guardia itu tak diketahui motifnya. Tak diketahui siapa yang melakukannya. Dan beberapa hari saja terjadi setelah pembajakan di Markas Besar OPEC (Tempo, 3 Januari), peristiwa awal pekan lalu itu seakan-akan melengkapi tahun 1975 sebagai "Tahun Teror Internasional".

Tentu saja pembajakan dan pengeboman serta pembantaian terhadap orang-orang yang "tak siap perang" oleh pelbagai grup itu tak cuma terjadi pada 1975. Juga ada alasan bahwa peristiwanya kebanyakan terjadi di negara-negara kaya dan para korban juga bukan rakyat yang melarat. Tapi tahun 1975 agaknya juga ditandai oleh makin menyebarnya teror itu. Pada Agustus 1975, lima anggota "Tentara Merah" Jepang mengambil alih gedung kedutaan Amerika di Kuala Lumpur dan menyandera 51 orang.

Mereka menuntut dibebaskannya tujuh orang rekan mereka yang dipenjarakan di Jepang dan, kalau tidak, gedung akan diledakkan. Tindakan ini agaknya yang kemudian menyebabkan hampir semua kedutaan Amerika—termasuk di Jakarta—dijaga ketat. Bisa dipahami: sejak 1968, saat terbunuhnya Duta Besar John G. Mein oleh para penculik Guatemala, lebih dari 80 diplomat atau pejabat Amerika di luar negeri terkena serangan dan hampir 20 orang tewas akibatnya. Perwakilan Inggris, Kanada, Jepang, Prancis, Jerman Barat, Mesir, dan terakhir Indonesia mengalami nasib yang sama.

Makin tersebar luasnya terorisme ini, betapapun dampaknya belum dirasakan, perlu ditanggulangi secara internasional. Orang Amerika mengeluh bahwa usul Amerika di Komite Hukum Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa pada 1972—yang menghendaki negara anggota mengembalikan pelaku teror untuk diadili di negeri terjadinya perbuatan—ditolak. Yang diterima, dengan suara 76 lawan 34, ialah suatu "penelaahan". Bisa saja diharapkan bahwa setelah teror mengenai juga orang Mesir, Malaysia, dan Indonesia—dan mungkin kelak hampir setiap bangsa—kerja sama internasional melawan terorisme itu akan dilaksanakan.

Selama ini latar belakang nasional tiap negara terkadang menyebabkan kerja sama itu sulit dilakukan. Sementara itu, terorisme dengan mudah menyebar bersama meluasnya penggunaan teknologi baru. Peralatan baru di bidang senjata menyebabkan sebuah grup kecil bisa memiliki kekuatan yang ampuh. Misalnya, sebuah pesawat komersial bisa ditembak dengan peluru kendali pencari panas SA-7 bikinan Soviet, yang bisa dilontarkan dari peluncur ringan yang disangga di bahu. Pemancaran televisi ke seluruh dunia juga bisa menyajikan drama pembajakan dengan memikat, dan sering dianggap hal itu merangsang para calon teroris.

Tentunya bukan cuma teknologi yang menciptakan terorisme. Ketidakpuasan yang tak bisa tersalur secara damai masih cukup meluas. Dunia kini melihat makin banyak pemuda yang, lantaran ledakan penduduk, tak menemukan pintu bagi suatu masa depan yang berarti. Sementara itu, tersebarnya pengertian tentang persamaan hak dan keadilan membangkitkan pelbagai golongan minoritas dari kebisuannya: pemuda hitam di kota-kota Amerika, orang-orang keturunan Prancis di Quebec, bangsa Bask di Spanyol, dan para pengungsi Palestina. Seorang Palestina muda menulis, misalnya, dalam bukunya, Yang tanpa Warisan (1972): "Kubenci dunia dan tata susunan kenyataan di sekelilingku. Kubenci keadaan di mana aku direnggutkan dari suatu bangsa dan suatu identitas. Kubenci diriku menjadi parah, menjadi angka nol. Beri aku pistol, bung, dan akan kuledakkan otakku dan otak seseorang lain".

Barangkali meluasnya teror internasional mencerminkan di satu pihak kesewenang-wenangan internasional, dan di lain pihak semacam fatalisme yang mencengkam banyak orang melihat keadaan dunia kini dan nanti. Itu tidak berarti bahwa teror hanyalah senjata kaum pejuang yang fanatik nekat, putus asa, ataupun yang ingin cita-citanya lebih diacuhkan secara layak. Penyanderaan, dalam bentuk penculikan dengan minta tebusan, bukanlah taktik baru kaum bandit. Kejadian di La Guardia bahkan mungkin diakibatkan oleh sekadar pikiran sinting.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus