Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Dekret Trump, Apa Bahayanya buat Indonesia?

Presiden AS Donald Trump menerbitkan sejumlah dekret yang bisa membahayakan sektor kesehatan, termasuk di Indonesia. 

5 Februari 2025 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: TEMPO/J. Prasongko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Pemerintah AS mengejutkan dunia dengan menyatakan keluar dari WHO.

  • Keputusan keluar dari WHO bukan satu-satunya dekret Trump yang akan berimbas negatif pada kesehatan masyarakat global.

  • Pembekuan dana USAID bisa mempengaruhi Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC-Quick Win) Prabowo.

DI awal kepemimpinnya, Presiden Amerika Serikat ke-47, Donald Trump, membuat sejumlah kebijakan yang mencengangkan dunia. Salah satunya dekret yang menyatakan AS keluar dari organisasi kesehatan dunia, WHO. Keputusan kontroversial ini disesali banyak negara dan dikecam keras oleh ahli kesehatan masyarakat dunia. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebagai salah satu mitra utama WHO, terutama dalam surveilans penyakit menular, keputusan Negeri Abang Sam ini bakal berdampak besar. Terhentinya pendanaan dan penarikan tenaga ahli dapat memicu kemunduran dalam penanggulangan AIDS, malaria, dan tuberkulosis, serta melemahkan pertahanan global terhadap disease X, yang berisiko memicu pandemi baru.   

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di Indonesia, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin berpendapat negara ini tidak akan merasakan dampak langsung dari kebijakan Trump tersebut, mengingat bantuan yang diberikan WHO kepada Indonesia lebih pada bimbingan teknis. Benarkah demikian?

Keputusan keluar dari WHO bukan satu-satunya dekret Trump yang akan berimbas negatif pada status kesehatan masyarakat global. Malah sebenarnya banyak dekret lain yang perlu lebih diwaspadai dampaknya.

Trump membekukan bantuan luar negeri AS selama 90 hari sejak 20 Januari 2025. Hal ini berdampak pada program kesehatan global, terutama distribusi obat HIV, malaria, dan tuberkulosis melalui USAID. Mitra utama USAID, Chemonics, serta klinik HIV di 50 negara yang didanai PEPFAR, sempat dihentikan operasinya.

Delapan hari kemudian, Sekretaris Negara Amerika Serikat Marco Rubio mencabut sebagian larangan ini, mengizinkan kembali distribusi obat esensial, layanan medis, dan bantuan kebutuhan dasar lain. Jika tidak, penghentian ini berisiko meningkatkan penularan HIV serta mempercepat munculnya HIV resistan obat.

Meski pasokan obat HIV Indonesia tidak bergantung pada program ini, dampak pembekuan dana USAID perlu dikaji lebih lanjut, terutama terhadap program penanggulangan tuberkulosis—salah satu Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC-Quick Win) Prabowo Subianto. Termasuk juga inisiatif lain, seperti program eliminasi penyakit tropis terbengkalai (misalnya filariasis, cacingan, schistosomiasis, kusta, dan frambusia), serta program kesehatan ibu-anak. 

Jika pemerintah serius dalam agenda generasi emas bebas stunting, ketidakpastian pendanaan USAID bisa memperlambat pencapaian target tersebut. Per 1 Februari 2025, situs web USAID sudah tidak dapat diakses masyarakat, termasuk situs web Survei Demografi dan Kesehatan (Demographic and Health Survey atau DHS), yang selama ini datanya banyak digunakan peneliti di Indonesia sebagai bahan analisis kebijakan kesehatan.

Kebijakan paling parah adalah perintah kepada badan-badan federal, termasuk Center for Disease Control and Prevention atau CDC, serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (Food and Drug Administration atau FDA), untuk menghentikan semua komunikasi eksternal. Pembekuan ini berlaku untuk media sosial, siaran pers, dan partisipasi dalam acara publik. Badan-badan tersebut selama ini berperan penting dalam memberikan informasi cepat dan terbaru perihal penyebaran penyakit serta efektivitas obat dan produk medis.

Banyak negara dengan sistem regulasi terbatas, seperti Indonesia, yang menyelaraskan persetujuan obat dan regulasi keamanan pangan dengan FDA. Jika FDA membatasi komunikasi, Indonesia dapat menghadapi penundaan persetujuan obat dan vaksin baru, terutama yang bersumber dari perusahaan farmasi AS. 

Selain itu, FDA secara rutin mengevaluasi dan membagikan informasi keamanan obat secara terbuka. Jika larangan ini berlaku panjang, pembaruan informasi mengenai profil obat dan vaksin akan melambat. Bukan tidak mungkin kita juga akan melihat peningkatan arus disinformasi kesehatan serta pertambahan angka kasus penggunaan obat yang tidak efektif akibat misinformasi mengenai efektivitas dan keamanan obat ataupun vaksin.

Terlebih, Trump berencana mengangkat Robert F. Kennedy Jr untuk mengkomandoi Department of Health and Human Services (setara dengan Kementerian Kesehatan). Kennedy dikenal sebagai tokoh antivaksin yang percaya pada teori konspirasi serta gemar menyebarkan disinformasi tentang keamanan dan efikasi vaksin.

Pengangkatan Kennedy dan kemungkinan arah kebijakan yang nanti ia buat akan memupuk bibit baru penyebaran disinformasi serta membuat kesuksesan program imunisasi rutin yang dilakukan pemerintah Indonesia, seperti Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS), terganggu.

Indonesia Harus Waspada

Dekret lain adalah keputusan penghapusan kerangka diversitas, ekuitas, dan inklusivitas (DEI). Dekret ini membuat beberapa situs web milik pemerintah federal yang biasanya dijadikan rujukan kredibel informasi kesehatan menghapus informasi penting perihal kesehatan kelompok minoritas. 

CDC bahkan telah menghapus terminologi transgender, imigran, LGBT, dan orang hamil dari situs web serta data penelitian mereka selama dekade terakhir. Hasil survei CDC tentang perilaku remaja, yang menunjukkan tingginya depresi di antara remaja putri, lesbian, gay, dan biseksual juga ikut dihapus. Hal ini dapat memicu timbulnya misinformasi dan membuat AS menjadi hipokrit yang sesungguhnya tentang akuntabilitas serta transparansi data. 

Dekret ini juga mengakibatkan semua program dengan kerangka DEI ikut dibekukan, padahal konsep ekuitas atau kesetaraan merupakan hal paling inti dalam meningkatkan kesehatan masyarakat. Dalam jangka menengah, keputusan ini juga akan mempengaruhi kewajiban variasi subyek dalam penelitian uji klinis. 

Sebagai inovator utama obat, vaksin, dan alat diagnostik, AS bertanggung jawab memastikan produknya diuji pada populasi beragam untuk menilai efektivitas serta keamanannya sejak awal. Selama ini uji klinis sering melibatkan subyek dari berbagai negara secara simultan. Dengan dihapuskannya kewajiban ini, perekrutan subyek internasional tidak lagi menjadi keharusan, yang pada akhirnya merugikan AS karena produk inovatif mereka tidak tervalidasi untuk populasi global yang lebih luas.

Terakhir, keputusan AS keluar dari Perjanjian Paris, yang akan berdampak langsung pada upaya penanggulangan perubahan iklim dan konsekuensinya terhadap kesehatan masyarakat. Keputusan ini akan disertai dengan berkurangnya peran AS dalam mitigasi perubahan iklim. Dalam jangka panjang, prevalensi penyakit yang berkaitan dengan iklim, seperti zoonosis, gangguan akibat polusi udara, serta masalah kesehatan mental, akan meningkat.

Dampaknya akan makin besar jika negara-negara lain mengikuti langkah AS, yang berpotensi menggagalkan upaya global dalam menghentikan perubahan iklim dan dampak negatifnya.

Dengan demikian, walau belum terlihat langsung imbasnya terhadap kesehatan masyarakat di Indonesia, kebijakan Trump tidak seharusnya membuat Indonesia lengah. Penyesuaian dan rencana kontingensi yang matang harus disiapkan untuk mencegah sistem kesehatan Indonesia kolaps seiring dengan status kesehatan global yang melemah dan makin maraknya disinformasi dan misinformasi kesehatan (infodemik).

Apalagi dengan keterbatasan ruang fiskal saat ini, pemerintah akan makin sulit bermanuver secara strategis untuk menyokong kebutuhan di bidang kesehatan. Situasi ini sebenarnya memberikan peluang bagi Indonesia untuk menjalankan kebijakan luar negeri yang lebih proaktif dalam menekan Trump agar meninjau ulang keputusannya.

Pemerintahan Prabowo mempunyai kesempatan berkontribusi dalam upaya global yang nyata. Terutama dalam upaya mencegah potensi pandemi dan infodemik baru yang dipicu oleh kebijakan eksekutif yang gegabah.

Redaksi menerima artikel opini dengan ketentuan panjang sekitar 7.500 karakter (termasuk spasi) dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Grace Wangge

Grace Wangge

Associate professor Kesehatan Publik di Monash University Indonesia. Monash Data & Democracy Research Hub, Monash University.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus