DI antara keputusan-keputusan penting rapat umum pemegang saham (RUPS) PT Bursa Efek Jakarta (BEJ), ada hal yang mungkin amat penting tapi tak dicatat sebagai keputusan. Ini menyangkut pajak capital gain, yang hanya dibicarakan dan disepakati di antara anggota BEJ. Peserta RUPS sepakat, pengenaan capital gain -- antara lain melalui cara withholding tax di pasar modal -- akan menimbulkan bukan saja kesulitan administratif, tapi juga pengurangan insentif untuk berkembang di pasar modal. Kabarnya, beberapa perusahaan sekuritas telah mendapat kunjungan pegawai pajak yang mulai memeriksa perusahaan-perusahaan tersebut. Di sini kita bicara tentang berbagai tujuan makroekonomi yang tak selalu sinkron. Di satu pihak, pengenaan pajak capital gain di pasar modal sesuai dengan UU Pajak Tahun 1984. Dan dilihat dari segi tujuan makronya, agar APBN semakin bersumber dari penerimaan pajak dan mengurangi ketergantungan dari ekspor minyak bumi dan utang luar negeri, pengenaan pajak capital gain adalah hal yang seluruhnya benar. Tapi, di pihak lain, dari segi implementasinya, terdapat masalah yang menghadang. Aspek administratif di bursa efek mengenai sistem netting dan otomatisasi bursa dengan kliring dan settlement saja telah memusingkan kepala tujuh keliling bagi perusahaan pialang dan sekuritas. Bila pajak capital gain hendak dilaksanakan tahun ini, secara administratif perusahaan pialang dan sekuritas akan mengalami kesukaran yang sulit dipecahkan. Dari segi perhitungan, capital gain haruslah diimbangi dengan capital loss. Cara menghitung kurun waktu dan membedakan antara potential gain dan potential loss sudah merupakan masalah tersendiri. Lebih penting daripada itu, dilihat dari segi persaingan di bursa efek negara-negara berkembang yang disebut emerging market, Indonesia harus hati-hati menerapkan sistem pajak ini. Amat boleh jadi perusahaan-perusahaan patungan antara asing dan dalam negeri di bursa akan menolak pelaksanaan tersebut, dengan cara memindahkan modal mereka ke bursa lain di Asia Timur. Bursa efek di Shensen dan Manila dengan segala senang hati akan bersedia menerima modal dari Jakarta. Jelas, kita berhadapan dengan hal yang amat penting, terutama dalam fase-fase yang begitu kritis, dalam perekonomian kita sekarang. Itulah stabilitas eksternal yang berkaitan dengan pengamanan neraca pembayaran luar negeri. Bila utang luar negeri kita (utang Pemerintah dan yang dijamin Pemerintah, serta utang komersial) dilihat, jumlahnya sudah hampir US$ 100 miliar. Beban utang luar negeri itu tercermin pada RAPBN 1994- 1995 -- 41% anggaran pengeluaran rutin diperuntukkan mencicil utang. Soalnya, utang memang punya arti amat penting dalam neraca pembayaran luar negeri. Adalah para analis yang amat mementingkan defisit pada neraca transaksi berjalan sebagai salah satu indikator beratnya kondisi neraca pembayaran kita. Buat Indonesia, hal tersebut tidak lengkap. Dibandingkan dengan Thailand, memang defisit neraca transaksi berjalan kita relatif lebih kecil. Namun, Thailand tidak punya kewajiban membayar cicilan utang sebesar Indonesia. Karena itu, persoalan terberat bagi Indonesia bukanlah pada upaya mengendalikan defisit neraca transaksi berjalan, melainkan bagaimana mengupayakan sekeras-kerasnya arus pemasukan modal dalam neraca modal, yang besarnya minimal harus sama dengan defisit neraca transaksi berjalan ditambah beban pembayaran cicilan utang luar negeri. Jadi, tak cukup hanya melihat masalah defisit transaksi berjalan, yang diduga akan meningkat pada tahun fiskal 1994- 1995, dari US$ 2,8 miliar menjadi US$ 3,2 miliar. Kita harus juga melihat pembayaran cicilan utang pokok yang mendekati US$ 5 miliar. Maka, tugas pokok stabilitas eksternal adalah mengupayakan pemasukan modal dalam neraca modal, setidaknya di atas US$ 8,2 miliar. Dan ini jelas tak cukup hanya mengandalkan utang luar negeri maupun penanaman modal asing. Beratnya persaingan memperoleh utang luar negeri, baik komersial maupun konsesional, membatasi upaya mencari utang baru. Apalagi credit rating Indonesia yang mencapai tingkat passing grade (triple B-) menurut Standard & Poor, yang membuat posisi Indonesia tak kuat sebagai peminta utang. Sudah diketahui, pemodal asing di Indonesia mulai menghadapi persoalan ekonomi biaya tinggi, dan mulai bergeraknya buruh menuntut haknya. Semua ini amat diperhatikan oleh calon investor asing. Maka, satu-satunya komponen pemasukan modal yang prospektif dalam kondisi tekanan neraca pembayaran yang begitu berat hanyalah pemasukan modal melalui portfolio investasi: pembelian saham Indonesia oleh pihak asing. Bila itu "diganggu" oleh giatnya Direktorat Jenderal Pajak melaksanakan undang-undang pajak "secara murni dan konsekuen", kita tidak perlu gigit jari bila terjadi pelarian modal berupa penjualan saham Indonesia oleh pemodal asing, dan uangnya didolarkan untuk dibawa ke bursa lain di Asia. Dalam suasana "kredit macet" di Bapindo, dan dalam suasana "arus bawah" yang terus bergema di bidang ekonomi dan politik, kita tak bisa membiarkan bursa efek terganggu secara fatal. Kita bisa saja meningkatkan penerimaan pajak dengan sedikit menaikkan transaction fee yang ada, misalnya dari 0,88% menjadi 1% -- selisih yang 0,12% diserahkan untuk negara. Cara itu pasti meningkatkan penerimaan pajak dan tidak mengganggu perusahaan sekuritas dan pialang. Tentunya Pemerintah menyadari, diperlukan trade off, dengan mengutamakan keselamatan neraca pembayaran daripada mementingkan tambahan penerimaan marginal dari pajak di pasar modal. Sebab, tujuan-tujuan makro ekonomi memang terkadang bertubrukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini