Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Putihnya putih sebuah buku

"buku putih" G-30-S/PKI akan terbit lagi. apa bedanya dengan yang terbit 1978? A.H. Nasution mengaku tak pernah dihubungi sebagai narasumber. bagaimana agar buku sejarah objektif?

19 Februari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASIH perlukah ada penjelasan mengenai peristiwa G-30-S/PKI versi Pemerintah? Ternyata, jawabnya -- paling tidak, menurut versi Pemerintah -- perlu. Setidaknya itulah kata Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung. Dialah yang mula pertama melemparkan "Buku Putih", yang rencananya akan disusun Pemerintah, mengenai tragedi nasional 28 tahun lalu itu. Buku ini, menurut Jenderal Feisal dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR dua pekan lalu, diharapkan bisa menghindari persepsi keliru yang berkembang di tengah masyarakat mengenai peristiwa kudeta yang gagal dan menyebabkan gugurnya tujuh jenderal pada malam 30 September 1965 itu. "Ada yang kurang lurus, ya, kita luruskan," kata Jenderal Feisal tanpa merinci soal "yang kurang lurus" itu. "Nanti, kalian baca saja dulu," ujarnya. Tentu saja rencana ini mengundang tanya. Bukankah Pemerintah pernah menerbitkan "buku putih" seperti ini pada tahun 1978? Judulnya Gerakan 30 September, Partai Komunis Indonesia (G.30.S/PKI), dan diterbitkan oleh lembaga Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) -- buku ini kemudian populer dengan sebutan "Buku Putih" pula. Penyusunnya adalah Nugroho Notosusanto, Durmawel Achmad, dan Sunardi D.M. Isi buku yang tebalnya 302 halaman dan terdiri atas delapan bab ini menyimpulkan: PKI sebagai dalang peristiwa Gestapu dalam upaya merebut kekuasaan dengan memperalat unsur ABRI. Dan usaha perebutan kekuasaan itu sudah lama disiapkan. Tujuannya adalah membentuk pemerintahan komunis menuju masyarakat komunis. Lalu apa beda "Buku Putih" yang akan terbit tahun 1994 ini -- rencananya, beredar Mei 1994 -- dengan "Buku Putih" keluaran 1978? "Saya tak bilang meluruskan atau tidak meluruskan. Nanti konotasinya lain. Buku ini menunjukkan rangkaian fakta dan disusun berdasarkan proses verbal," kata Menteri Negara Sekretaris Negara Moerdiono, yang juga ketua tim penyusunan "Buku Putih" tahun 1994 ini. Isi "Buku Putih" yang paling baru itu, seperti yang diuraikan Moerdiono, masih menunjukkan peran PKI sebagai bagian utama dari kejadian pemberontakan G-30-S/PKI -- PKI sebagai bagian dari gerakan komunisme internasional, dan selalu menyelundupkan orang di mana-mana. "Dan orang yang diselundupkan itu acap tak diketahui sebagai orang PKI," katanya. Dan tujuan yang paling penting dari terbitnya "Buku Putih" keluaran 1994 ini, menurut Kepala Pusat Sejarah ABRI Brigjen Slamet Soegiardjo, adalah meng-clear-kan adanya perbedaan interpretasi dalam melihat peristiwa G-30-S/PKI, baik di dalam maupun di luar negeri. "Intinya, Pemerintah ingin menuntaskan polemik sekitar G-30-S/PKI," ujar Brigjen Slamet. Maka, tak mengherankan bila ada yang mengartikan terbitnya "Buku Putih" terbaru ini sebagai "jawaban" Pemerintah atas buku Primadosa yang menghebohkan itu -- sudah dilarang peredarannya oleh Kejaksaan Agung. Buku Primadosa itu, kabarnya, berisi hal-hal yang menurut Pemerintah telah memutarbalikkan fakta sejarah peristiwa G-30-S/PKI. Penulisnya, Wimanjaya Liotohe, antara lain menggunakan referensi asing seperti Cornell Paper. Tak kurang Presiden Soeharto sendiri ikut mengomentari buku Wimanjaya. "Isinya menggugat pemerintah sekarang, menggugat saya bahwa yang menciptakan G-30-S/PKI itu saya. Mereka memutarbalikkannya di situ," kata Pak Harto di depan sekitar 100 perwira TNI AL, bulan lalu, di Tapos. Adakah "Buku Putih" versi 1994 ini merupakan reaksi terhadap buku Primadosa itu? "Tidak. Tidak ada reaksi terhadap siapa pun," kata Menteri Moerdiono. Bahkan, katanya lagi, pembuatan buku ini sebenarnya sudah selesai Oktober 1992 silam. "Cuma, karena ada kesalahan pencetakan, jadi tertunda." Kalau "Buku Putih" kedua ini terbit, bertambahlah perbendaharaan pustaka yang menjelaskan peristiwa G-30-S/PKI -- dengan berbagai versi. Misalnya, The Coup Attempt of the "September 30 Movement" in Indonesia, yang ditulis Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh. Isi dan analisa buku ini hampir serupa dengan "Buku Putih" keluaran 1978 yang dikeluarkan Pemerintah. Dokumen lain yang juga menguraikan keterlibatan PKI dalam peristiwa berdarah pada tahun 1965 itu adalah The Gestapu Affair of 1965 (1971) dan The Rise and Fall of the Communist Party of Indonesia (1969) karya Guy Pauker. Staf ahli Rand Corporation itu menganggap G-30-S sebagai "puncak ofensif revolusioner PKI" yang sudah lama dipersiapkan. Arnold Brackmam juga menulis buku yang menuding keterlibatan PKI dalam The Communist Collapse in Indonesia (1969). Menurut dia, PKI jelas terlibat dan mendalangi peristiwa hitam tahun 1965 dalam sejarah Indonesia itu. Ada juga tulisan yang menuduh Bung Karno sebagai dalang G-30- S. Ini bisa dilihat dalam In the Spirit of the Red Banteng (1973) karya Dr. Anthonie C.A. Dake. Menurut Dake, peristiwa ini dilatarbelakangi sikap Bung Karno yang tak sabar melihat oposisi beberapa perwira tinggi Angkatan Darat atas program revolusinya. Ia kemudian memerintahkan Kolonel Untung agar membereskan para perwira tadi. Untuk menguatkan argumennya, setahun kemudian Dake menerbitkan The Devious Dalang: Soekarno and the So-called Untung Putsch, Eyewitness Report by Bambang S. Widjanarko. Dake tak sendirian. John Hughes, menulis dalam buku The End of Sukarno (1967), juga menyimpulkan bahwa yang mendalangi kup itu adalah Bung Karno. Sementara itu, Cornell Paper -- konon dijadikan salah satu acuan dalam buku Primadosa -- sebenarnya hanya sebutan buat makalah yang judul aslinya A Preliminary Analysis of the September Movement. Ini merupakan studi yang dilakukan pakar Indonesia di Universitas Cornell, seperti Benedict R. Anderson dan Ruth McVey. Tulisan ini dibuat tahun 1966, tak lama setelah pecah peristiwa G-30-S/PKI. Tak mengherankan kalau analisa tulisan itu dianggap terlalu cepat oleh sejumlah kalangan di Indonesia, dan kemudian menimbulkan heboh. Menurut Cornell Paper, peristiwa Gestapu tak lain adalah persoalan intern dalam tubuh Angkatan Darat. Jadi, bukan PKI yang mendalangi peristiwa itu. Hanya, pada saat-saat terakhir, ada upaya memancing agar PKI terlibat. Analisa ini tampaknya tak jauh berbeda dengan isi tulisan Suharto and the Untung Coup -- The Missing Link (1970) karangan W.F. Wertheim. Ia menyimpulkan, justru Angkatan Darat yang melakukan kudeta. Dan Wertheim meragukan keterlibatan komunis karena di saat itu PKI sudah berada di ambang puncak kekuasaan. Jadi, buat apa susah-susah merebut kekuasaan. Namun, analisa model Wertheim dan Cornell Paper ini belakangan mendapat angin dan mudah dipercaya oleh sekelompok orang -- termasuk misalnya Wimanjaya. Dan "Buku Putih" yang dikeluarkan Pemerintah itu tentu dimaksudkan bisa menjawab berbagai simpang-siur dan versi sejarah G-30-S/PKI itu. Namun, menurut seorang sejarawan, di mana pun bila buku sejarah itu disusun oleh pemerintah, tingkat objektivitasnya tak jarang terganggu. Sebab, katanya, versi suatu sejarah sering tak terlepas dari kepentingan penyusunnya -- termasuk kepentingan politik. Apalagi, misalnya, ada tokoh pelaku yang tak digali sebagai narasumber. A.H. Nasution, umpamanya, jenderal yang lolos dari penculikan dalam peristiwa G-30-S/PKI 1965, mengaku tak dilibatkan dalam penyusunan "Buku Putih" pertama maupun yang akan terbit. "Tak pernah ada kontak dengan saya," katanya kepada TEMPO. Maka, sejarawan tadi berpendapat, sebaiknya penyusunan buku sejarah diserahkan saja ke sejarawan yang independen agar bisa melakukan riset mendalam, mewawancarai tokoh yang masih hidup, dan mampu menjaga jarak. Ahmed Kurnia Soeriawidjaja, Bambang Sujatmoko, dan Priyono B. Sumbogo (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum