Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MUSLIHAT Dewan Perwakilan Rakyat merevisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi harus dilihat sebagai orkestrasi besar menjadikan Indonesia negara otoriter. Dengan mempereteli Mahkamah Konstitusi, pemerintah dan DPR bisa leluasa membajak demokrasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat reses, DPR dan pemerintah diam-diam melanjutkan pembahasan rancangan perubahan keempat Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Tanpa dihadiri sebagian besar anggota komisi bidang hukum, DPR sepakat membawa draf revisi undang-undang ini ke sidang paripurna. Sejak di tingkat pertama, pembahasan revisi ini berlangsung tertutup, senyap, dan tergesa-gesa tanpa partisipasi publik berarti.
Tak hanya menabrak prosedur, substansi revisi menyasar urusan masa jabatan dan batas usia hakim konstitusi. Klausul yang berbahaya adalah celah bagi lembaga pengusul hakim, seperti DPR, presiden, dan Mahkamah Agung, mengevaluasi hakim konstitusi yang tidak sejalan dengan kepentingan mereka.
Simak pasal 23A dalam perubahan keempat revisi UU MK yang mengatur masa jabatan hakim konstitusi selama 10 tahun—dari sebelumnya 15 tahun. Setiap lima tahun, hakim konstitusi akan dikembalikan kepada lembaga pengusul untuk menjalani evaluasi.
Pasal 87 aturan peralihan menyebutkan hakim konstitusi yang saat ini sudah menjabat lima hingga kurang dari 10 tahun hanya bisa melanjutkan jabatan setelah memperoleh persetujuan lembaga pengusul. Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Suhartoyo adalah hakim konstitusi yang bakal terkena dampak bila pasal ini berlaku.
Saldi dan Enny—keduanya diusulkan oleh presiden—adalah dua dari tiga hakim konstitusi yang menyatakan pendapat hukum berbeda (dissenting opinion) saat MK menolak gugatan dugaan kecurangan Pemilu 2024. Tak seperti hakim lain, keduanya berpendapat telah terjadi kecurangan dalam pemilu yang merujuk cawe-cawe Presiden Joko Widodo.
Dalih DPR bahwa revisi ini bertujuan memperkuat independensi dan akuntabilitas hakim konstitusi sulit dipercaya. Dengan dua pasal baru tersebut, pemerintah dan DPR bisa mengendalikan hakim konstitusi agar memutus perkara untuk keuntungan mereka. Mahkamah Konstitusi bisa memastikan berbagai produk undang-undang yang dibuat DPR dan pemerintah lolos tanpa hambatan berarti.
Dalam konsep kekuasaan kehakiman, proses evaluasi di tengah masa jabatan bisa mengancam independensi dan imparsialitas Mahkamah Konstitusi. Peluang publik untuk mempersoalkan dan memenangi perkara lewat mekanisme uji materi pun makin sempit. Padahal banyak rancangan undang-undang bermasalah tengah dibahas dan berpotensi disetujui DPR—semisal RUU Penyiaran yang melarang jurnalisme investigasi.
Niat busuk menggembosi Mahkamah Konstitusi bermula dari putusan MK atas uji formil Undang-Undang Cipta Kerja pada 2021. Mahkamah Konstitusi menyatakan UU Cipta Kerja cacat formal dan inkonstitusional bersyarat. Siasat melumpuhkan MK secara sistematis—lewat revisi undang-undang—menguat setelah DPR mencopot Aswanto. Acap menganulir undang-undang yang disahkan DPR, ia digantikan Guntur Hamzah.
Langkah pemerintah dan Dewan merevisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi makin menguatkan gejala legalisme otokratik yang merusak bangunan negara hukum. Dengan segala cara, mereka mengkonsolidasikan kekuasaan yang seolah-olah sah secara hukum padahal mencederai demokrasi dan konstitusi.
Tak hanya melumpuhkan Mahkamah Konstitusi, revisi undang-undang ini juga berdampak hancurnya pemisahan kekuasaan eksekutif dan legislatif. Hilangnya fungsi kontrol dan koreksi terhadap kekuasaan membuat kebijakan eksekutif melenggang di DPR, yang selama ini pun bertindak sebagai tukang stempel belaka. Koalisi besar partai politik mendukung pemerintah menumpulkan fungsi kontrol badan legislatif.
Di sini pentingnya peran Mahkamah Konstitusi menjaga keseimbangan kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif, serta mencegah satu cabang mendominasi cabang lainnya. Pembatasan kekuasaan ini krusial untuk menjamin akuntabilitas dalam demokrasi. Para elite kini merobohkan semua prinsip itu. Matinya Mahkamah Konstitusi merupakan tanda-tanda sebuah negara jatuh menuju kediktatoran. Sebelum terlambat, kita mesti melawan.
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Bahaya Melumpuhkan Mahkamah Konstitusi"