Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BENCANA di Sumatera Barat belakangan ini menunjukkan bagaimana keserakahan pemerintah daerah telah mengorbankan lingkungan dan kehidupan masyarakat. Tanah longsor dan banjir lahar dingin akibat letusan Gunung Marapi itu menewaskan puluhan orang serta menghancurkan ratusan bangunan di Kabupaten Agam dan Tanah Datar sejak April 2024. Kerusakan itu seharusnya menjadi peringatan keras bagi pemerintah dalam menangani kawasan rawan bencana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lembah Anai di lereng Gunung Marapi sebenarnya sudah ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung sejak zaman kolonial Belanda. Topografinya curam dan hampir tidak ada daerah yang datar. Rawan longsor, aliran sungai dan hutan di seluruh lereng seharusnya dipertahankan untuk mencegah bencana yang lebih besar. Namun tampaknya tidak demikian dalam pandangan pemerintah daerah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berada tepat di tepi Jalan Trans Sumatera, Lembah Anai memang punya potensi besar untuk dikembangkan menjadi kawasan wisata. Yang terkenal sejak dulu antara lain wisata air terjun Lembah Anai. Masalahnya, dalam beberapa tahun belakangan, berbagai fasilitas pendukung wisata dibangun secara jorjoran, dari hotel dan restoran hingga tempat pemandian dan permukiman. Bahkan kafe dan beberapa bangunan lain di sekitarnya didirikan dengan menimbun sungai. Wajar saja, ketika banjir bandang datang, puluhan bangunan hilang dalam satu malam.
Berbagai fasilitas pendukung wisata itu rupanya dibangun tanpa analisis mengenai dampak lingkungan atau amdal yang memadai. Sebagian di antaranya bahkan tergolong liar alias tanpa izin sama sekali. Anehnya, pemerintah daerah serta Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Barat terkesan tutup mata atas pelanggaran tersebut.
Kuat dugaan, pembiaran atas pelanggaran aturan lingkungan terjadi karena pemerintah daerah hendak meraup pendapatan tambahan dari kawasan yang selama ini hanya berupa hutan tersebut. Ujungnya, harga yang harus dibayar akibat bencana jauh lebih mahal dari rupiah yang masuk ke kas daerah.
Pemerintah pusat tak boleh berpangku tangan. Harus ada ketegasan untuk menghentikan segala kebijakan daerah yang mengejar pendapatan sesaat tanpa melihat dampak kerusakan lingkungan. Jangan lupa, hampir seluruh wilayah Indonesia berada di kawasan Cincin Api Pasifik. Kita hidup di atas bentukan deretan gunung api yang setiap saat bisa meletus dan memicu gempa. Karena begitu banyak daerah rawan petaka, mitigasi bencana harus menjadi pertimbangan pemerintah setiap kali menelurkan kebijakan.
Mitigasi bencana pada dasarnya adalah cara untuk membuat masyarakat mampu menghadapi bahaya yang berpotensi bencana. Ini menuntut pemerintah menerapkan kebijakan yang mengurangi kerentanan masyarakat, termasuk disiplin dalam penegakan tata ruang dan wilayah serta daerah rawan.
Maka kawasan seperti Lembah Anai harus dijaga ekstraketat, bukan malah dieksploitasi besar-besaran. Bila pemerintah terus mengabaikan pentingnya mitigasi bencana dalam tiap kebijakan pembangunan, kita tinggal menunggu waktu ikut lenyap disapu petaka berikutnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Abai Lagi pada Mitigasi Bencana"