Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KASUS pencucian uang yang menjerat Syahrul Yasin Limpo menjadi contoh betapa kronisnya praktik korupsi di Kementerian Pertanian. Syahrul diduga menggunakan uang yang ia terima untuk membayar cicilan mobil anak dan perawatan kecantikan istrinya. Seperti raja, sang terdakwa meraup “upeti” secara sistematis. Hampir semua pegawai eselon I di kementerian itu ikut menyetor fulus untuk Syahrul.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Surat dakwaan Syahrul Yasin Limpo di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta mengungkap hampir semua direktorat dan unit di Kementerian Pertanian menyetorkan sejumlah uang selama 2020-2023. Nilai totalnya mencapai Rp 44,5 miliar. Pegawai eselon hingga direktur jenderal yang menjadi saksi di pengadilan mengaku uang tersebut berasal dari urunan pegawai dari kas setiap direktorat. Jumlah setorannya Rp 50 juta-4,2 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Semua uang dikumpulkan oleh kaki tangan Syahrul, yakni mantan Sekretaris Jenderal, Kasdi Subagyono, serta bekas Direktur Alat Mesin dan Pertanian, Muhammad Hatta. Jaksa menuduh Syahrul memerintahkan kedua bawahannya itu mengumpulkan uang untuk keperluan macam-macam. Di antaranya menyewa pesawat ke daerah hingga renovasi kamar anak Syahrul. Belakangan, terungkap pula Syahrul mengutip duit bawahan untuk menyawer seorang penyanyi dangdut.
Kasdi dan Hatta memang sudah duduk di kursi terdakwa. Tapi para pegawai eselon I di Kementerian Pertanian masih tak tersentuh. Para direktur jenderal dan petinggi lain yang ikut menyetorkan uang itu sepatutnya diperiksa. Mereka bukan korban pemerasan karena secara sadar menyetorkan upeti kepada menteri. Apalagi uang yang disetor berasal dari anggaran negara yang seharusnya digunakan untuk program masyarakat.
Patut diduga, para pejabat itu menyetor uang demi mengamankan jabatan masing-masing. Itu sebabnya mereka juga mesti bertanggung karena menyelewengkan uang negara. Praktik korupsi antara atasan dan bawahan itu harus diputus dengan cara menghukum mereka agar menjadi pelajaran bagi lembaga pemerintah lain. Jika dibiarkan, kebiasaan menyuap atasan demi jabatan ini menjadi lingkaran setan yang akan terus muncul di masa depan.
Penerapan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang bertujuan menuntaskan korupsi dari hulu hingga hilir. Komisi Pemberantasan Korupsi yang menangani kasus ini sepatutnya ikut menyeret keluarga Syahrul karena kecipratan uang setoran. Putra Syahrul, misalnya, yang terang-terangan ikut meminta uang kepada anak buah bapaknya, mesti dihukum agar menjadi contoh bagi keluarga pejabat lain.
Fakta baru yang terungkap di persidangan juga bisa digunakan KPK untuk mengembangkan penelusuran aliran uang korupsi Syahrul. Salah satunya permintaan uang Rp 12 miliar untuk mendapatkan predikat wajar tanpa pengecualian anggaran Kementerian Keuangan 2022 dari anggota Badan Pemeriksa Keuangan, Haerul Saleh. Meski duit yang diserahkan akhirnya hanya Rp 5 miliar, informasi ini sudah cukup menjadi modal awal untuk menelusuri dan menjerat penerima uang.
Pelaku korupsi tak melakukan kejahatan sendirian. Begitu juga dalam kasus Syahrul. Informasi lain yang perlu ditelusuri penegak hukum adalah aliran uang ke Partai NasDem, partai tempat bernaung Syahrul. Pemimpin Partai NasDem mengaku menerima uang Rp 820 juta dan Rp 40 juta yang ditujukan untuk korban gempa di Cianjur, Jawa Barat. Lewat bukti telak itu, KPK bisa menjadi contoh sebagai lembaga hukum pertama yang berani menghukum partai politik dalam kasus korupsi.
Di edisi cetak, artikel ini terbitdi bawah judul "Upeti Terstruktur Syahrul Yasin Limpo"