PENANAM modal Jepang kini lebih tajam membidik bidang yang hendak digarapnya di Indonesia. Dasawarsa lalu, ketika biaya buruh dan energi menjadi pabrik-pabrik perakitan yang butuh banyak tenaga kera tanpa perlu pengalihan teknologi berat. Kini permohonan investasi Jepang ke BKPM mulai meningkat. Tahun lalu, hanya dua proyek baru dari Jepang bernilai USS 31 juta, yang disetujui BKPM. Sementara itu kuartal pertama tahun ini, menurut catatan Jetro (organisasi perdagangan luar negeri Jepang), sudah beberapa permohonan diajukan ke BKPM. Nitto Seiko, misalnya, yang sudah melihat pasaran sekrup produksinya selama enam tahun berselang lancar, hendak membangun pabrik di Indonesia dengan investasi US$ 700.000. Industri perkapalan yang sedang dikembangkan di Indonesia juga diincar perusahaan pembuat mesin-mesin kapal Yanmar dan Hino. Masing-masing hendak menanamkan modalnya sebesar US$ 14,67 juta dan US$ 4,5 juta. Bisnis pertanian tampaknya tak diincar lagi. "Sogo sosha tak mungkin menjalankan pertanian," kata juru bicara Mitsui, Kichise, pekan lalu di Tokyo. Tahun 1983 memang ada tiga perusahaan raksasa Jepang dicoret sebagai pemilik proyek agribisnis di Lampung. Yakni Mitsui, yang berpatungan dengan Kosgoro dalam Mitsugoro, Mitsubishi yang berpatungan dengan PT Padangratu Agricultural Corp., dan C. Itoh yang berpatungan dengan PT Daya Kalianda. Mitsugoro mengaku rugi USS 12,5 juta, setelah gagal membudidayakan jagung dan singkong, sejak 1971. Industri tekstil pun tampaknya sudah mau ditinggalkan Jepang. Sudah sekitar lima tahun, 20 perusahaan tekstil Jepang berusaha di Indonesia, dengan keuntungan kurang lebih "0". "Mau putuskan hubungan, tak enak. Mau jual sahamnya, tak ada yang mau beli," kata Yoshimura dari Nichimen, yang memiliki saham di PT Primatexco Indonesia. Mereka merasa "terkecoh" oleh ramalan Repelita III bahwa setiap rakyat akan memakai 16 m kain per tahun - nyatanya cuma 14 m -- 15 m. Dalam situasi seperti itu, pengusaha tekstil Jepang tampaknya tak akan ragu-ragu lagi untuk mengindonesianisasikan kepemilikan saham lebih dari 51%, berikut manajemen perusahaan sesuai dengan undang-undang penanaman modal No. 6/t968. Sebaliknya kalangan penanam modal dari Eropa dan AS. Seharusnya, sejak 1978, banyak perusahaan penanaman modal asing (PMA), yang sudah sepuluh tahun berjalan di sini, harus menjual sahamnya kepada partnernya atau ke pasar modal. Tapi, ternyata, kebanyakan perusahaan AS dan Eropa itu belum ikhlas melepaskan saham mayoritasnya, dan entu saja kendali manajemen. PMA pertama yang diizinkan BKPM, misalnya, PT Freeport Indonesia Incorporated, masih mayoritas milik AS. Demikian pula saham pabrik susu PT Friesche Vlag Indonesia dan perusahaan elektronik Philips masih tetap dikuasai masing-masing Swiss dan Belanda. Pemegang saham asing dan pemegang saham nasional tampaknya bermain mata. Toh, kekhawatiran akan diterapkan ketentuan itu secara tegas tetap ada, biasanya bila pihak partner nasional sudah merasa tak senang hidup berdampingan. Jadi, dalam hal ini, segi pannership lebih penting. Tahun 1981, misalnya, All Truba Indah--anak PT Tri Usaha Bhakti yang dulunya milik TNI-AD - mendepak rekannya, Weyerhaeuser, kembali ke AS. Setahun sebelumnya, BKPM juga mencoret Amco Corporation (AS) yang bentrok dengan rekannya, PT Wisma Kartika (anak perusahaan Inkopad), dalam pengelolaan Hotel Kartika Plaza. Memang ada juga perusahaan yang cerai baik-baik. Georgia Pacific International (AS), misalnya, meninggalkan Bob Hasan di perusahaan patungan Santi Murni Plywood, Kalimanis Plywood, dan pabrik kertas di Lhok Seumawe, tahun lalu. Tak semua perusahaan asing yang merugi di Indonesia angkat kaki. Pabrik rokok putih British American Tobacco (BAT) Indonesia misalnya mengakui bahwa pasarannya sudah diguiung rokok kretek, sehingga harus merundingkan kembali ke BKPM agar izin investasi perluasan ditinjau kembali. Max Wangkar Laporan Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini