BARAT selalu membikin kita risau."Barat": hampir tiap orang di Dunia Ketiga merasa, atau tahu, ada sebuah wilayah yang tak berbatas jelas, ada sebuah bangsa yang pernah menjajah kita, ada sebuah kekuatan yang meletakkan kita dulu di duli kakinya, meremehkan kita - dan sekarang tetap jadi tempat kita becermin. Di depannya kita mematut-matut diri: adakah kita lebih kecil, lebih besar? Lebih besar, kata Sanusi Pane setenah abad yang lampau. Arjuna lebih lengkap ketimbang Faust. Kita tubuh dan juga rohani. Mereka - orang Barat, dilambangkan oleh manusia dalam ciptaan Goethe - adalah Faust. Untuk ilmu dan teknik mereka bersekutu, bila perlu, dengan setan. Bagi kita, sukma dan Tuhan tidak mati. Bagi mereka .... Sanusi Pane hanyalah satu dari sederet suara. Di India ada Tagore. Di Pakistan Muhammad Iqbal. Di Mesir Qutub, di Iran Ali Syari'ati, dan lain-lain. Di Jepang ada Kita Ikki dan perhimpunannya, Yusonsha. Di Afrika Franz Fannon. Bahkan di Barat sendiri perkara ini juga telah jadi klise. Empat puluh tahun sebelum The Beatles berangkat megsru ke India, tokoh A.D. dalam novel Andre Malraux yang unik berangkat ke Timur, seperti sang pengarang sendlrn Dalam pucuk suratnya yang terakhir ia mengucapkan semacam kata selamat tinggal kepada Eropa, "Kubur besar tempat tertidur para penakluk yang mati." "Kau tinggalkan aku hanya dengan sebuah cakrawala telanjang dan cermin majikan tua kesendirian yang bernama putus asa." Malraux menamakan novelnya yang terdiri dari surat-menyurat dua tokoh itu La Tentation de l'Occident. Kata pertamanya, yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai temptation, berarti "godaan" dan juga "cobaan". Di Timur memang orang tergoda oleh Barat. Di Barat sendiri, mereka dicoba. "Drama besar yang penuh risau yang baru mulai ini, Sahabatku," demikian tulis A.D. kepada Ling, "adalah salah satu cobaan Barat" . Dan proses itu belum juga selesai. Mungkin tak akan pernah selesai. Kita boleh saja secara periodik mengadakan "pekan kebencian", seperti dalam novel Orwell 1984: "Barat" kita tampilkan sebagai momok tiap kali, buat dimaki. Atau kita tak acuh. Kita pesan es krim Swanson dan F-16A yang supersonik, kita bestel sepasang desain Gucci dan/atau seperangkat high-tech. Dalam kedua tindakan itu, yang satu sama lain berjauhan, kita sebenarnya tak tahu di mana kita harus mulai dan di mana kita harus berhenti bila kita bicara soal "Barat". Bisakah kita memberi garis batas yang jelas antara Barat yang menghasilkan komputer dan luga novel, yang melahirkan striptease dan 1uga Bunda Theresa, senjata nukh dan juga cerita humor? Di pihak lain, bisakah kita bicara tentang Barat yang satu, sementara Abad Tengah telah lama diganti zaman pasca industri,dan tahun 1960an yang resah diganti oleh tahun 1980-an yang berhati-hati?Yang berubah tentu saja bukan hanya Eropa. Barangkali Barat memang cermin yang secara tak terelakkan memergoki kita. Bagaimana kita melihat ke arahnya sebagian tergantung dari keadaan cermin itu sendiri, sebagian lagi tergantung dari keadaan kita. Dalam Muqadimmah-nya yang termasyhur Ibnu Khaldun dari abad ke-14 berbicara tentang "Negeri Franka", wilayah "Roma" yang terletak di utara Laut Tengah, yang diperintah oleh Raja "Sanluwis bin Luwis". Ia memuji negeri itu, terutama dalam semangat keilmuannya, khususnya "ilmu filsafat". Tampaknya Ibnu Khaldun tak tahu banyak tentang Barat. Baginya, Barat belum penting. Tapi justru dalam keadaan ItU, Ibnu Khaldun tidak seperti kita kini. Ia tak merasa minder, tak merasa gentar, lalu berteriak. Ia memuji sepintas dengan tenang. Pada zaman itu cobaan Barat itu memang belum lagi mulai. Ketika drama itu terjadi tak seorang pun dapat mengelak. Dan di Duma Ketlga klta pun menyurat, seperti tokoh Ling dalam novel Malraux. Ia menulis kepada temannya, seorang Barat: "Cher Monsieur. Bagaimana saya dapat menemukan diri saya sendiri, kecuali dalam suatu pengamatan, tentang bangsa tuan?" Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini