DENGAN tiga batang lilin, Menteri P&K Nugroho Notosusanto menyulut , sebuah blencong bersumbu tiga,kemudian menancapkan gunungan dibatang pisang yang tersedia di panggung mulai sekarang, Proyek Pengkajian dan Pengembangan Budaya Bali saya resmikan,'' ujar Nugroho. Lalu bergemalah gamelan gender Bali yang dimainkan para mahasiswa ASTI Denpasar. Proyek yang diresmikan Senin sore lalu di Werdi Budaya, Abean Kapas, Denpasar, itu lebih sering disebut Proyek Balinologi. Ini proyek pengkajian kebudayaan daerah kedua setelah Proyek Javanologi yang diresmikan dua tahun lalu di Yogyakarta. Mengapa Bali? Menurut Prof. Dr. Harsya Bachtiar, Kepala Proyek Pengkajian dan Pengembangan Kebudayaan Nasional Departemen P & K, Bali dipilih karena memenuhi beberapa persyaratan. Antara lain: memiliki aksara sendiri serta memungkinkan para ahli meneliti dan mengembangkannya. Selain itu, dihargai pengkajian serius yang dilakukan para sastrawan Bah terhadap kebudayaannya. "Yang ketiga adalah banyak nya tenaga ahli yang dimiliki. Dan keempat, perhatian dan dukungan pemerintah daerah Bali sendiri," kata Harsya. Menurut Harsya, semua kebudayaan daerah sebetulnya ingin dikaji dan dikembangkan, tapi terbatasnya anggaran menyebabkan timbulnya prioritas. Setelah Jawa dan Bali, pekan ini di Bandung diresmikan Proyek Sundanologi. Untuk ketiga proyek itu, tahun ini disediakan anggaran Rp 400juta. Menteri Nugroho mengungkapkan, tiga kebudayaan yang kini mulai diperhatikan: Melayu, Minangkabau, dan Bugis. Menurut dia, studi kebudayaan daerah amat penting. "Sekarang anak muda lebih cenderung memperhatikan kebudayaan asing. Padahal, kebudayaan daerah perlu dipelajari. Suatu bangsa yang tidak mempelajari kebudayaan daerahnya akan kehilangan kepribadiannya," kata Nugroho. Semua studi kebudayaan daerah, kata Nugroho, akhirnya akan terkumpul dan berpayung pada Indonesianologi. Dari studi itu nanti akan tergali puncak-puncak kebudayaan masing-maslng. Penehtlan yang dllakukan universitas hingga kini masih kurang dan tidak begitu mendalam, hingga kebudayaan tradisional tidak tergali. Didirikannya lembaga studi di jantung-jantung daerah, menurut Nuroho, dimaksudkan agar semua ahli kebudayaan - dan tidak hanya sarana - bisa Ikut serta. Sejauh ini sasaran itu tampaknya tercapai. Proyek Javanologi, misalnya, telah melibatkan para ahli kebudayaan, termasuk dalang dan ahli keris. Proyek Balinologi juga akan menempuh cara yang sama. "Kami juga akan melibatkan para undagi (arsitek tradisional), balean (dukun), dan ahli pengobatan tradisional. Mereka akan diajak berbicara mengenai bidang masing-masing secara ilmiah dan lebih konsepsional. Lalu kami ajak mereka untuk mengembangkannya, dan kalau perlu dibawa pada pendidikan formal. Dengan cara itu, bukan hanya konsepnya yang dibicarakan, tapi juga filsafatnya," kata Prof. I. Gusti Ngurah Bagus, guru besar antropologi Universitas Udayana yang ditunjuk sebagai pimpinan Proyek. Langkah pertama proyek Balinologi, menurut Ngurah Bagus, 51, adalah menginventarisasikan permasalahan, hingga bisa diketahui mana yang paling mendesak. "Sekarang, 'selamat pagi' secara Bali saja belum ada. Yang begini ini nanti kami bicarakan juga, hingga tidak lagi dipakai 'selamat datang'," katanya. Dalam bidang pendidikan penyebaran buku berbahasa daerah untuk tingkat SLP/SLA perlu diperbanyak. "Dengan adanya Balinologi itu, kebudayaan daerah tidak dipelajari secara segmentasi, tapi secara terintegrasi," kata Ngurah Bagus. Lahirnya berbagai proyek ini agaknya akan mendorong berbagai daerah dan suku untuk "menuntut" dibentuknya lembaga serupa di daerahnya. Harapan itu mungkin tidak segera dapat terlaksana. Selain karena telah ditentukannya prioritas, menurut Harsya Bachtiar, yang diutamakan adalah daerah yang mempunyai kebudayaan tertulis. "Itu berarti mereka mempunyai falsafah, kesusastraan, dan babad-babad," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini