Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UNGKAPAN ”tak ada makan siang gratis” tampaknya berlaku dalam kasus Ahmadiyah. Menyadari kelompok minoritas itu tak membawa manfaat apa-apa secara politik, saat ini boleh dikata tak satu pun lembaga negara membela penganut ajaran Mirza Ghulam Ahmad tersebut. Tidak Presiden, tidak juga DPR atau partai politik. Bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, membela Ahmadiyah dipercaya bisa memelorotkan popularitasnya. Bagi partai politik, melindungi Ahmadiyah dianggap bakal menurunkan suara pemilih Islam dalam pemilihan umum mendatang.
Maka, setelah anggota Jemaat Ahmadiyah dianiaya dalam insiden berdarah di Cikeusik, Pandeglang, Banten, kini mereka dilarang di Jawa Timur dan Jawa Barat. Mereka memang tak dibubarkan, tapi tak diizinkan mengekspresikan diri. Mereka tak diperbolehkan menyebarkan ajaran, baik secara lisan, tertulis, maupun melalui media elektronik. Mereka juga dilarang memasang papan nama organisasi dan menggunakan segala jenis atribut. Di kedua daerah itu akan ada aparat yang mengawasi aktivitas Ahmadiyah.
Dasar peraturan daerah yang memberangus aktivitas kelompok minoritas itu adalah Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri. SKB itu merujuk pada Undang-Undang Nomor 1 PNPS/1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan, dan Penodaan Agama. Undang-Undang PNPS pernah digugat oleh sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang lantas mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi, tapi permohonan pembatalan peraturan itu ditolak majelis hakim pada April tahun lalu.
Di tengah impitan itu, Presiden Yudhoyono tidak memberikan solusi yang berarti. SBY hanya ”mengancam” akan membubarkan organisasi garis keras yang menganiaya Ahmadiyah, tapi tak sungguh-sungguh menindaklanjuti ancaman itu. Setelah cerita Ahmadiyah sepi di media massa, persoalan ini hilang dari buku agenda Presiden.
Tak selayaknya Ahmadiyah disia-siakan hanya karena kelompok ini tak punya ”modal politik”. Presiden seharusnya menyadari bahwa membela hak berkeyakinan warga adalah amanah konstitusi. Yudhoyono perlu menengok Presiden Barack Obama, yang membela pembangunan masjid di Ground Zero, New York, Amerika Serikat, meski pada awal rencana mayoritas warga menolaknya. Pembelaan terhadap konstitusi bukan semata soal naik-turunnya popularitas, melainkan soal kewajiban moral dan konstitusional kepala negara. Dalam hal masjid di bekas lokasi pengeboman gedung World Trade Center Amerika Serikat itu, sikap tegas Obama terbukti memberi inspirasi bahwa tak ada yang perlu ditakutkan dari sebuah masjid.
Kepala daerah tak perlu ikut-ikutan menjalankan ungkapan ”tak ada makan siang gratis” tersebut. Alih-alih takut kehilangan pamor, mereka semestinya menjelaskan kepada warganya kewajiban menghargai keyakinan orang lain—betapapun mereka tak setuju dengan ajaran tersebut. Menggunakan argumen keamanan dan ketertiban dalam memberangus Ahmadiyah juga terkesan naif dan dibuat-buat. Tak ada jaminan Jemaat Ahmadiyah tak diserang setelah pelarangan itu. Di Pakistan, pembunuhan massal terhadap warga Ahmadiyah tetap terjadi meski ajaran itu dinyatakan keluar dari Islam.
Pemerintah sudah semestinya mengambil langkah tegas. Presiden bisa menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) untuk menganulir Undang-Undang Nomor 1 PNPS/1965. Kita tahu undang-undang itu tak lagi cocok dengan semangat zaman, karena dibuat dalam kondisi darurat setelah tragedi G-30-S.
Ahmadiyah memang bukan partai politik yang punya banyak konstituen. Mereka juga bukan cukong besar, yang di negeri ini punya posisi tawar tinggi sehingga ramai-ramai dibela pejabat. Tapi, atas nama konstitusi, Ahmadiyah harus diselamatkan. Kecuali jika Presiden, DPR, atau partai politik itu rela disebut pengkhianat Undang-Undang Dasar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo