Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBELUM mengajak rakyat melawan korupsi, ada baiknya Partai Demokrat membersihkan dulu halaman rumah sendiri. Pesan ini perlu disampaikan mengingat partai itu menjadikan pemberantasan korupsi sebagai ”jualan” di panggung kampanye. Strategi yang terkesan heroik ini harus diakui berhasil. Demokrat memenangi dua pemilu terakhir. Maka, ketika Januari lalu polisi menangkap politikus Partai Demokrat, Daniel Sinambela, lantaran urusan penipuan yang di baliknya ada soal rasuah, kita layak mempertanyakan janji pemberantasan korupsi partai yang didirikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu.
”Nyanyian” Daniel di depan polisi, kalau ternyata benar, sangat memprihatinkan. Dia bercerita soal tingkah polah koleganya sesama politikus Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin. Agustus tahun lalu, keduanya berkongsi untuk mendapatkan proyek pengadaan batu bara di Perusahaan Listrik Negara. Membawa bendera PT Matahari Anugrah Perkasa, keduanya lalu ikut tender bernilai miliaran rupiah di PLN dan Indonesia Power.
Mendekati tenggat penentuan tender, jurus gertak mulai dimainkan. Dengan membawa nama partai, mereka kabarnya terang-terangan meminta perlakuan khusus dari badan usaha milik negara itu. Dalam sebuah pertemuan di Hotel Ambhara, Jakarta Selatan, misalnya, Nazaruddin dan Daniel mengajak anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Demokrat, Sutan Bhatoegana, menemui Direktur PLN Nur Pamudji. Kepada Tempo, Daniel bercerita bagaimana mereka ”menekan” Nur Pamudji agar memenangkan perusahaannya.
Terungkapnya ”gerilya” model begini jelas bukan kabar baik bagi usaha menciptakan pemerintahan yang bersih. Mungkin praktek macam ini benar ditujukan untuk menggalang dana partai. Tapi tak gampang secara telak membuktikan adanya garis komando partai. Setiap partai mungkin sudah punya ”mekanisme mengelak” bila operasi begini terbongkar.
Selama ini banyak beredar kabar soal perilaku bendahara partai yang main injak sana-sini untuk menggemukkan kas partainya. Mereka bermain dari parlemen, mengincar pos tertentu di anggaran negara, lalu mengawalnya sampai menjadi program kementerian. Ketika itu, sudah menunggu perusahaan rekanan, yang direstui partai, untuk menjalankan program. Imbalannya: sekian persen profit wajib disumbangkan kepada partai.
Kebiasaan ini makin menjadi-jadi karena di kalangan dalam partai seakan ada aturan tak tertulis: bendahara bertugas memburu fulus, apa pun caranya. Selama tidak ada yang meributkan, tentu petinggi partai tutup mata saja.
Kebiasaan menggalang dengan cara ”gelap” ini semestinya tak lagi dilakukan. Dalam kasus ini, tentu masih harus dibuktikan sejauh mana elite Partai Demokrat mengetahui sepak terjang Nazaruddin. Adalah tanggung jawab para pengurus pusat partai itu untuk menjelaskan kepada publik tentang perkara yang menjerat bendahara umumnya. Penyelidikan internal perlu dijalankan partai yang menang dalam dua kali pemilu terakhir itu.
Sesungguhnya ini bukan soal Partai Demokrat semata. Perkara itu menunjukkan kacau-balaunya akuntabilitas pengelolaan dana partai politik di negeri ini. Sudah terlalu lama urusan pencarian isi dompet partai itu dibiarkan menjadi wilayah abu-abu, tanpa rambu-rambu yang tegas.
Menurut Undang-Undang Nomor 2/2008 tentang Partai Politik, keuangan partai seharusnya hanya bersumber dari bantuan pemerintah, iuran anggota, dan sumbangan. Peraturan itu juga melarang partai memiliki saham atau punya badan usaha sendiri. Setiap tahun partai diwajibkan membuat laporan keuangan yang terbuka untuk khalayak.
Anehnya, Undang-Undang Partai Politik ini sama sekali tidak menyinggung soal standar laporan keuangan partai. Tak ada kewajiban membuat pengelolaan dana partai akuntabel dan transparan. Tanpa standar, jelas auditor sulit memeriksa laporan dana partai. Lebih buruk lagi, banyak partai yang tidak melakukan audit. Kewajiban pemeriksaan laporan keuangan partai juga hanya dicantumkan samar-samar. Partai cuma dituntut melaporkan dana bantuan pemerintah kepada Badan Pemeriksa Keuangan. Selebihnya seakan ”suka-suka” partai saja.
Sanksi pun dibuat seringan mungkin. Pengurus partai yang melanggar batas sumbangan hanya dihukum paling lama satu tahun penjara. Partainya sendiri lolos dari ancaman pembekuan atau pembubaran. Lumrah saja bila aturan lembek ini menjadi semacam ”insentif” bagi partai untuk melakukan pelanggaran.
Dalam kasus Nazaruddin, ”bola” kini ada di tangan polisi. Nyanyian Daniel Sinambela adalah pintu masuk untuk membongkar skandal ini lebih jauh. Aparat penegak hukum diharapkan bekerja keras mengungkap di mana ujung aliran dana ini. Posisi Partai Demokrat sebagai partai penguasa hendaknya tak membuat polisi jeri.
Kendati terdengar seperti ”berangan-angan”, kita tak boleh kehilangan harapan membersihkan partai politik dari praktek penggalangan dana yang tercela.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo