Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Belajar dari sejarah

Semesta sejarah ri tak bisa dijawab oleh pikiran dari satu zaman. tak seorangpun yang mutlak besar pikirannya hingga besar pula kesalahannya. merelatifkan kesalahan & kebenarannya akan memperkaya jiwa.

31 Desember 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJARAH bisa saja dimulai dengan salah sangka. 15 Juli 1945, para pendiri Republik Indonesia berdiskusi tentang suatu konstitusi yang akan rnereka jadikan dasar bagi negara yang tengah mereka siaPkan. Pembicaraan pun menyangkut soal "hak-hak warganegara" --Yang kini bisa disebut sebagai "hak-hak asasi". Ada dua pendapat yang saling berhadapan. Di satu pihak, Bung Karno yang menolak. Baginya hak-hak asasi ini mewakili paham individualisme, dan bertentangan dengan paham kekeluargaan yang mendasari konstitusi yang sedang dirancang. Di pihak lain, Bung Hatta setuju. Baginya hakhak itu perlu dicantumkan untuk menjaga agar negara jangan jadi negara "penindas." Orang kini bisa mengatakan bahwa Bung Hatta ternyata benar, dan Bung Karno salah. Namun kesalahan dapat juga direlatifkan. Dibicarakan 32 tahun yang lalu diskusi itu memang terasa akademis. Patriot mana Yang waktu itu bisa percaya-apalagi Bung Karno -- bahwa bangsanya sendiri bisa juga menindas. Pada saat berkuasa? Nasionalis mana yang tak melihat dirinya sebagai bagian dari satuan manusia yang unik, yang bisa menghindarkan kesalahan penjajah di masa silam? Bung Karno waktu itu tentunya hanya melihat manis dan rukunnya bangsa Indonesia, dan pengabdian para pemimpinnya. Ia mengira bahwa yang harus dijaga hanyalah keharmonisan masyarakat, dalam menghadapi individualisme. Ia belum melihat, bahwa ternyata juga perlu dilindungi nasib orang seorang, dari cengkelaman kekuasaan, yang tak jarang memakai nama "rakyat" atau "masyarakat". 32 tahun yang silam belum terdengarkan tangis seorang ayah, Yang digusur begitu saja dari nasib baik, oleh bangsanya sendiri, dan tak berdaya. Dalam hal seperti itu generasi sekarang lebih "beruntung". Kita lebih banyak bahan. (,enerasi sekarang lebih banyak bisa mempelajari hasil penelitian tentang masyarakatnya sendiri, yang di zaman dulu belum pernah dilakukan. Generasi kini juga dapat melihat apa yang dulu tak terlihat. Dulu siapa bicara soal polusi, kehidupan Yang konsumtif, kemungkinan habisnya minyak bumi dan bahaya ledakan penduduk? Dulu siapa yang menyimak "Revoiusi Kebudayaan" RRT, buruknya pengalaman pembangunan Brazil, dan seramnya pemerintahan Kamboja? Dulu siapa melihat kegagalan Pakistan, tragisnya para pengungsi Vietnam, dan meluasnya korupsi di Indonesia? Pemimpin dan pemikir besar belajar banyak, taPi sebuah bangsa belajar lebih banyak lagi. Kita semua kini terdiri dari sejarah yang lebih lanjut. Kita semua terdiri dari bermacam aliran pikiran, latar belakang sosial-kulturil, dan berbagai kepentingan, yang -- jika didengarkan semua secara seksama dan bebas -- akan memperkaya batin kita. Pemikir-pemikir yang lahir di waktu lampau bisa memperkaya batin kita, jika kita memandang mereka dengan sikap seorang murid. Tapi bukan pribadi mereka yang jadi guru, melainkan pengalaman mereka -- termasuk pengalaman mereka dalam kesalahan dan keterbatasan. Mereka juga bisa memperkaya jiwa kita, jika kita tak menganggap bahwa yang satu harus menghilangkan yang lain -- bahwa antara paham yang berbentrokan dulu tak akan bisa ada rekonsiliasi. Semesta sejarah republik betapa pun tak bisa dijawab hanya oleh satu pikiran dari satu zaman. Satu orang tak ada yang mutlak besar pikirannya hingga terlalu besar pula kesalahannya. Kita akan jadi miskin hati kalau kita tidak mau merelatifkan kesalahan dan kebenarannya. Dengan sikap itu, kita lihat bagaimana zaman ini menyediakan kesempatan untUK bertukar pikiran dengan lebih rendah hati karena di hadapan kita masalah-masalah demikian hebatnya. Zaman ini juga mendesakkan pentingnya buah pikiran yang lahir dari pengalaman, dan tukar pikiran itu, karena te!ah terlalu banyak terdengar ruah pikiran yang sebenarnya hana berdasar keinginan melulu. Entah jauh di dalam mana, Indonesia mengolah pemikir-pemikir baru.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus